Cherreads

Chapter 56 - Pertarungan Di Tepi Kematian

"FIIIIUUUUUIIIITTTT!!"

Siulan Solor menggema di udara, merayap ke sela-sela pepohonan dan menyusup ke jurang yang dalam. Angin seakan membawa panggilan itu ke segala penjuru, membangkitkan sesuatu yang mengerikan.

Dari kegelapan, buaya-buaya putih raksasa yang sebelumnya diam mulai bergerak. Mata mereka menyala, tubuh besar mereka merayap dengan kecepatan yang tak wajar. Dari balik semak, dari dalam sungai di bawah jurang, dari celah-celah bebatuan—mereka bangkit, satu per satu, puluhan jumlahnya.

Agniran, Handoko, dan Joko berdiri terpaku di tepi jurang, wajah mereka memucat saat melihat pemandangan mengerikan itu.

"Ya Dewata..." Joko bergumam, suaranya tercekat. "Mereka lebih banyak dari yang kita duga."

Agniran mengepalkan tangan, pikirannya bekerja cepat. "Tidak ada waktu untuk takut. Kita harus menyelamatkan Wus-wus!"

Di bawah mereka, Wus-wus masih terjebak di dinding jurang, meronta dalam kepanikan. Kudanya ketakutan, kakinya yang gemetar berusaha bertahan di akar-akar yang menahannya. Tapi bahaya yang lebih besar sudah menanti—sungai di bawahnya kini penuh dengan buaya putih raksasa yang merayap naik, berebutan mendekat untuk memangsa kuda itu.

Handoko mengusap wajahnya, lalu menatap sungai di bawah. "Kalau kita terlambat, Wus-wus akan jatuh... dan itu akhirnya."

"Aku akan turun!" Joko tiba-tiba berlari ke arah akar yang menjorok ke jurang.

"Joko, tunggu!" Agniran berteriak, tapi pemuda itu sudah meluncur turun dengan cepat, memanfaatkan akar dan batuan yang menonjol sebagai pegangan.

Joko turun dengan cekatan, tapi saat ia hampir sampai ke Wus-wus, salah satu buaya yang mendaki dinding jurang menyadarinya.

"Joko! Kananmu!" Handoko memperingatkan.

Seekor buaya raksasa membuka rahangnya lebar-lebar, bersiap menerkam Joko dari bawah!

Joko meraih goloknya dan menebas akar di dekatnya. Akar itu putus, dan ia meluncur turun lebih cepat, tepat sebelum rahang buaya itu menutup di tempat ia berdiri.

"Wus-wus! Aku di sini!" Joko berhasil meraih tali kekang kuda itu dan berusaha menenangkan hewan yang ketakutan itu.

Tapi di atas, bahaya lain mengintai.

"Mereka datang!" Handoko berteriak.

Tiga ekor buaya putih raksasa merayap menuju mereka di tepi jurang. Mata mereka menyala ganas, mulut besar mereka terbuka, meneteskan air liur.

Agniran langsung menarik pedangnya. "Handoko, lindungi Joko! Aku akan menahan mereka!"

"Tidak, kita hadapi bersama!" Handoko menancapkan tombaknya ke tanah, siap bertarung.

Buaya pertama menerjang dengan kecepatan luar biasa. Agniran melompat ke samping, mengayunkan pedangnya ke mata makhluk itu. Pedangnya berhasil melukai salah satu matanya, membuat buaya itu mengaum marah.

Handoko menghantamkan ujung tombaknya ke kepala buaya kedua, memaksanya mundur sejenak. Tapi yang ketiga lebih ganas—makhluk itu mengibaskan ekornya dengan kekuatan luar biasa!

"AWAS!"

Agniran dan Handoko terhempas ke tanah akibat pukulan ekor itu.

Joko yang masih di bawah menoleh panik. "Aku butuh lebih banyak waktu! Tahan mereka!"

Agniran bangkit dengan susah payah. Pandangannya beralih ke Joko yang masih berusaha menarik Wus-wus ke atas. Lalu ke buaya-buaya yang semakin ganas.

Lalu, ia mengambil keputusan nekat.

"Handoko, bantu Joko. Aku akan mengalihkan mereka!"

Handoko menatapnya kaget. "Jangan gila!"

Tapi Agniran sudah berlari ke arah semak-semak, menghunus pedangnya dan—

"BRUAKKSSHHH!!"

Agniran baru saja berlari ke sisi yang lebih jauh, pedangnya siap di tangan. Ia mengira dirinya bisa menarik perhatian buaya-buaya itu, mengalihkan bahaya dari Handoko dan Joko yang tengah menyelamatkan Wus-wus. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.

"UGH—!!"

Rasa nyeri mendadak menusuk punggungnya. Sesuatu yang dingin dan tajam menembus kulitnya, menyayat dagingnya dalam satu hentakan brutal. Agniran tersentak, napasnya tercekat. Tubuhnya limbung ke depan, lututnya hampir jatuh.

"Agniran!"

Handoko melihat itu dari kejauhan, mata lebarnya dipenuhi kepanikan. Namun, sebelum ia bisa bergerak, sesuatu yang lebih besar—lebih mengerikan—muncul dari kegelapan.

Seekor buaya putih raksasa, jauh lebih besar dari yang lain, dengan sisik kasar yang tampak seperti lapisan batu, merayap dengan cepat. Ia menabrak pohon dan semak belukar tanpa peduli, matanya tajam dan lapar.

Handoko berusaha menerjang, tapi monster itu lebih cepat.

"ARGHH!!"

Sebuah rahang raksasa terbuka, dan dalam satu hentakan, Agniran terhimpit di antara gigi-gigi tajam makhluk mengerikan itu. Gigi-gigi melengkung siap merobeknya, dan dari sudut matanya, Agniran bisa melihat kilauan air liur yang menetes dari moncong makhluk itu.

Waktu seolah melambat.

Handoko melesat, tombaknya terangkat tinggi, tapi ia tahu ia tak akan cukup cepat. Joko, yang baru saja berhasil menarik Wus-wus ke atas, berbalik dengan wajah ngeri, namun tak mampu berbuat apa-apa.

Gigi tajam itu semakin dekat ke wajah Agniran…

Lalu, tiba-tiba—

"FIIIIUUUUUIIIIIITTTTT!!!"

Siulan itu bergema lagi.

Lebih tajam. Lebih kuat.

Lebih jauh.

Suara itu seperti panggilan gaib yang tak terbantahkan. Rahang buaya raksasa itu berhenti tepat sebelum giginya menyentuh kulit Agniran. Matanya yang kejam berkedip, pupilnya yang semula liar kini membesar seolah tersihir.

Dan bukan hanya dia.

Seluruh buaya di sekitar mereka, termasuk yang di jurang dan yang merayap di batuan, berhenti dalam gerakan mereka. Sekejap, hutan yang dipenuhi suara erangan dan geraman itu menjadi sunyi.

Lalu, dalam satu gerakan serentak…

Mereka berbalik.

Tanpa ragu, buaya-buaya itu bergegas menuju arah siulan. Mereka merayap, berlari, bahkan menerjang satu sama lain demi menjadi yang pertama sampai ke sumber suara itu.

Tubuh Agniran terhempas ke tanah begitu saja, buaya yang tadi hampir mencabiknya bergerak meninggalkannya tanpa memedulikan keberadaannya.

Handoko segera melompat dan menarik Agniran ke pelukannya. "Agniran! Bertahanlah!"

Joko berlari mendekat, wajahnya pucat. "Astaga… astaga, kau hampir—"

Agniran terengah-engah, darah mengalir dari punggungnya, tetapi matanya masih terbuka. "T-tuan… itu suara tuan Solor… dia yang membuat mereka pergi…"

Joko menelan ludah. "Kalau begitu… kita harus segera menemukannya. Sebelum suara itu berhenti."

Handoko mengangguk, wajahnya keras. "Ayo! Kita harus menyelesaikan ini!"

Dengan sisa tenaga, mereka bertiga berdiri. Di kejauhan, suara siulan masih menggema, memanggil mereka ke arah yang tak mereka ketahui… ke arah takdir mereka yang sebenarnya.

More Chapters