Cherreads

Chapter 62 - Mimpi Solor

Malam merayap diam-diam di Pegunungan Lumut. Kabut menggumpal, melilit jalur-jalur tua yang nyaris tak terlihat, seperti napas gaib yang menyelimuti dunia. Di bawah pohon trembesi yang menjulang muram.

Embun yang menggantung di daun trembesi jatuh perlahan menghantam dahi Solor terlelap kelelahan. Tapi bukan kesejukan yang membangunkannya, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih tua dari waktu. Seolah embun itu adalah tetes kunci yang membuka pintu ke lorong tersembunyi dalam kesadarannya.

Dalam mimpinya, Solor berdiri seorang diri di tengah savana Lataran Wijo, hamparan hijau luas yang dikenal sebagai tempat tinggalnya Warung dan Pondok Kecot. Awalnya, segalanya tampak tenteram. Angin berembus lembut, langit membiru samar, dan rerumputan bergoyang pelan seolah mengayun kenangan.

Namun kedamaian itu tak bertahan lama.

Langit perlahan menghitam, awan kelabu menggulung berat di atas cakrawala. Suasana berubah drastis, udara menjadi dingin menusuk, lalu terdengar gemuruh yang membelah langit seperti teriakan dari dunia lain. Angin menggila, berubah menjadi badai yang melesat liar dan tanpa arah menyayat tubuh Solor hingga ia merasa kulit-kulitnya terkelupas satu per satu. Rasa perih menjalar, bukan hanya di tubuhnya, tetapi juga menembus ke relung jiwanya, terasa amat nyata, menyakitkan, dan tak tertahankan.

Dari balik lekukan Pegunungan Lumut, bangkitlah sebuah bayangan hitam raksasa, seperti roh purba yang lama terkubur dan kini terlahir kembali. Siluetnya perlahan terangkat dari balik kabut pegunungan, menjulang melampaui langit yang telah lebih dulu muram. Ia melangkah di atas puncak-puncak gunung, seakan bumi hanyalah lantai kecil bagi kakinya. Langit kian kelam, dan tanah bergemuruh setiap kali makhluk itu bergerak.

Bayangan hitam itu melangkah perlahan menuju Solor, yang berdiri terpaku di tengah savana Lataran Wijo yang kini berubah menjadi panggung kehancuran. Angin badai terus menggila, menyayat tubuh Solor tanpa ampun. Kulitnya terkelupas oleh amukan angin, rasa sakitnya seperti merobek hingga ke sumsum. Tapi matanya, meski buram oleh perih, tak bisa berpaling dari sosok raksasa yang kian mendekat.

Semakin berjalan dekat, sosok itu mengecil. Bayangannya menyusut perlahan-lahan menghampiri… hingga akhirnya berdiri dalam wujud manusia. Seseorang yang Solor kenal, atau baru mulai ia kenali.

"Itu... Agniran?" bisiknya dengan kehabisan suara.

Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena sakit, tapi oleh rasa takut yang tak ia pahami. Sosok itu kini berdiri tepat di hadapannya. Tatapannya dalam, sunyi, menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Dan dari balik badai, terdengar suaranya yang menggema menembus cakrawala.

"Aku ada di sini untukmu."

Ia mengulurkan kedua tangannya, perlahan, seperti harapan yang merambat di tengah kehancuran. Solor berdiri tak bergerak, tubuhnya dipaku oleh rasa perih dan takut yang menggerogoti dari dalam. Jemari itu, samar dan berpendar lembut, menyentuh tangan Solor yang compang-camping, berlumur luka dan darah.

Sekejap kemudian, dunia runtuh dalam keheningan.

Badai berhenti. Angin menguap. Langit yang hitam mengelupas, menyingkap rona biru yang asing namun hangat. Dan luka-luka di tubuh Solor... menghilang satu per satu, seperti debu yang ditiup cahaya.

Lalu, tanpa kata, sosok itu merebah ke tubuh Solor dalam pelukan.

Sebuah pelukan yang tak hanya menyembuhkan daging, tapi juga menenangkan jiwa. Ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan, seperti bertemu kembali dengan sesuatu yang pernah hilang jauh di masa silam. Dalam pelukan itu, Solor merasa rapuh, namun juga utuh. Ia tenggelam dalam diam yang indah, diam yang menghapus batas antara rasa sakit dan harapan.

Di balik matanya yang terpejam, cahaya mengembang perlahan. Lembut. Hangat. Menghapus segalanya.

Dan ketika Solor membuka mata, ia telah terbangun.

Napasnya memburu. Dadanya naik-turun. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia mengedarkan pandang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya telah berlalu.

"Hanya mimpi…" gumamnya.

Namun, mimpi itu terasa terlalu nyata… terlalu dekat. Dan entah kenapa, hatinya bergetar oleh firasat—bahwa mimpi itu adalah peringatan.

More Chapters