Solor memacu Wus Wus, kudanya yang pendek dan setia, menuruni lereng Pegunungan Lumut. Derap kakinya menggema di antara kabut pagi yang perlahan terangkat dari dedaunan basah. Di kejauhan, tugu gerbang Jalur Lumut yang telah ia lewati tampak semakin mengecil, tertinggal jauh di belakang seperti kenangan yang tak sempat disapa.
Kini arah laju mengarah ke barat, menembus lembah hijau yang terbentang di kaki pegunungan. Hamparan padang rumput dan pepohonan tinggi menghiasi jalannya, sementara angin pagi membawa aroma tanah yang masih menyimpan embun. Wus Wus, meski tak setangkai kuda perang, tetap berlari sekuat jantungnya, seolah mengerti pentingnya perjalanan ini.
Langit cerah kian mengembang, menyibak awan tipis yang menggantung di ufuk timur. Bayang-bayang kota Wulansana mulai terlihat—megah dan memikat, seputih cahaya pagi yang menyentuhnya dari kejauhan. Bangunan-bangunan tinggi seperti menjulang dari mimpi, bertahta di tengah bentangan alam yang luas.
Tepat sebelum mentari menyengat, Solor dan kudanya tiba di dataran luas yang membentang sejauh mata memandang. Di depan mereka, sebuah danau jernih berkilau memantulkan cahaya langit, tenang seperti kaca yang membaringkan bayang. Di seberang danau itulah Wulansana berdiri—kota agung yang seolah disunggi oleh air, bak permata yang dijaga lembut oleh telapak dunia.