Cherreads

Chapter 78 - Sidang Langit Yang Retak & Pengembara Bulan Sabit - SIDANG BERAKHIR

Di saat ketegangan menggantung pekat di ruang pertemuan, senja menyelinap lewat celah-celah kubah, melukis dinding batu dengan semburat keemasan yang seolah menyampaikan pesan terakhir alam kepada manusia. Udara terasa berat, seperti seluruh ruangan menahan napas menanti takdir.

"Maaf... saya telat..." Suara serak itu memecah keheningan, menggema di antara lengkung-lengkung kubah, menghentikan seketika bisik-bisik yang memenuhi ruangan. Semua kepala menoleh. Seorang pria tua perlahan muncul dari balik bayang, sosoknya tinggi namun rapuh, tulang-belulang menonjol di balik kulit yang menua dan mengeriput, mengenakan beskap hitam yang tampak longgar, seolah pakaian itu pernah dirancang untuk tubuh yang jauh lebih gagah.

Ia tertatih, langkahnya seperti ditarik waktu, ditopang oleh dua pengawal di sisi kanan dan kiri, sementara dua lainnya berjalan di belakangnya, menjaga seolah membawa sesuatu yang lebih dari sekadar tubuh renta, mereka menjaga warisan, menjaga kehormatan.

Wajahnya pucat, nyaris sepucat abu, namun dari mata yang cekung itu, masih memancar cahaya yang sulit dilupakan, cahaya seorang legenda. Seorang pahlawan yang pernah berdiri paling depan di medan harapan. Meskipun tubuhnya tampak tinggal bayang, sorot matanya tetap membawa gema masa lalu, seolah mengingatkan semua yang hadir bahwa di hadapan mereka bukan hanya seorang tua, melainkan seseorang yang pernah menantang nasib demi Sanajayan.

"Siapa itu…?" bisik salah satu hadirin, suaranya nyaris tak terdengar di antara detakan waktu yang seolah melambat.

Beberapa menahan napas, sebagian lainnya tercekat di tempat. Seperti disambar petir dalam diam, mereka mengenali sosok itu, Dharuman Abdi Sunarso. Pengembara Bulan Sabit paling tua. Legenda hidup. Tapi kini, tubuh yang mereka lihat nyaris tak menyisakan kemegahan masa lalu. Hanya bayangan samar dari kejayaan yang dulu menjulang.

"Yang Mulia Ratu Wulansana… mohon maaf atas keterlambatan saya," ujar Dharuman. Suaranya lirih, seperti daun tua yang rontok dari ranting, namun dalam getarnya masih terpatri karisma yang tak bisa dipadamkan waktu.

Ia menatap Ratu Wulansana, bukan seperti rakyat memandang pemimpinnya, melainkan seperti seorang kesatria yang tahu: ini adalah salam terakhir, pesan terakhir… sebelum semuanya lenyap.

"Tuan Dharuman… Anda tak seharusnya memaksakan diri!" seru Ratu Wulansana, berdiri dengan wajah yang tak lagi mampu menyembunyikan gemuruh hatinya. Tapi Dharuman hanya mengangkat tangannya perlahan. Gerakan yang sederhana, tapi penuh wibawa. Dunia seakan membeku.

"Tidak... biarkan saya bicara. Ini... penting. Saya... tak punya banyak waktu."

Langkahnya terseret menuju pusat ruangan. Suara langkahnya menggema seperti isyarat dari alam, menghapus semua suara, mengikat semua mata. Tak ada yang sanggup berpaling.

"Yang Mulia… Hadirin sekalian…"

Napasnya berat, dadanya naik turun penuh perjuangan.

"Kita… kita tidak sedang melawan manusia. Ataupun makhluk fana. Kita berhadapan dengan Batin Pangikrar... Ia bukan sekadar kutukan... tapi penjara. Penjara bagi kehendak kegelapan yang tak mengenal usia, tak mengenal ampun. Dan saya... saya telah merasakannya... menembus darah, membungkam jiwa, menghapus cahaya..."

Batuk keras mengguncangnya. Ratu mendekat, namun Dharuman menahan lagi.

"Sudah… bertahun-tahun saya menunggu… untuk melakukan ini."

Dharuman menatap Ratu dengan sorot mata yang dalam, lalu perlahan mengalihkan pandangannya kepada seluruh hadirin. Dengan langkah tertatih, ia maju ke tengah ruangan. "Sudah bertahun-tahun... saya menunggu saat ini," gumamnya lirih namun terdengar jelas di tengah keheningan yang mencekam.

Ia mulai menggores lantai batu dengan tongkatnya, mengukir sebuah lingkaran besar yang mengelilingi dirinya. Setiap goresan memancarkan suara gesekan yang membuat bulu kuduk berdiri. Semua mata tertuju padanya, diam terpaku, penuh rasa penasaran yang menegang.

"Untuk... melakukan ini," lanjutnya dengan napas berat. Tangannya yang gemetar berusaha menggambar lingkaran kedua, lebih kecil, di dalam lingkaran pertama. Usahanya lambat, tapi penuh tekad.

"Apakah dia... sedang menggambar simbol itu?" bisik seseorang di kerumunan.

Desas-desus membuncah, hingga saat pola bulan sabit akhirnya tergambar utuh di lantai. Tiba-tiba, sebuah teriakan mengguncang dari salah satu sudut ruangan.

"DIA MELAKUKANNYA!!!"

Suara itu menggema keras seperti pecahan kaca, dan dalam sekejap, lingkaran di lantai mulai memancarkan cahaya. Pendar putih keemasan menyembur membentuk pusaran yang membungkus tubuh Dharuman, membutakan mata, membuat semua orang terpaksa menutup wajah. Lantai bergetar hebat, dan udara berubah menjadi badai cahaya yang melingkar gila-gilaan di sekelilingnya.

Kepanikan meledak. Tamu-tamu penting berlarian tak tentu arah, penjaga berteriak memanggil bala bantuan, dan suara langkah kaki berpadu dengan gemuruh bangunan yang seolah hendak runtuh. Para pengawal Dharuman berdiri melindunginya, menahan pasukan penjaga Graha Penyangga Langit yang mencoba menerobos masuk ke tengah pusaran. Beberapa bahkan terlibat pertarungan sengit di sela badai cahaya yang menyilaukan.

Dharuman, di tengah kekacauan itu, menyelesaikan goresan terakhir: garis yang membentuk arah mata angin, berpusat tepat di jantung lingkaran. Lalu, dengan sisa tenaga terakhir, ia menjatuhkan tongkatnya di tengah pola, di pusat Batin Pangikrar yang kini telah bangkit.

Seketika, ledakan energi terpancar. Gelombang angin menghantam sekelilingnya seperti palu tak kasat mata. Bendera-bendera kerajaan tercabik dari tiangnya, tubuh-tubuh terhempas ke segala arah, dan jeritan memenuhi ruangan. Di antara kekacauan itu, Dharuman tampak seperti sosok tua yang diangkat oleh kekuatan langit dan bumi.

Saat perjanjian batin dimulai, angin pusaran berdesing lebih kencang, dan suara gaib yang hanya bisa didengar oleh Dharuman seolah berbisik langsung ke dalam jiwanya. Tubuh-tubuh yang berusaha mendekat terlempar mundur, termasuk beberapa orang yang mencoba menariknya, termasuk satu sosok yang berhasil mendorong Dharuman agar keluar dari pusat pola.

Lalu...

DRAAGGHHHHHHHHH!!!

Suara Ledakan meledak dari titik tengah, menghancurkan seluruh lantai batu hingga retak membentuk luka menganga. Asap putih mengepul dari dalamnya, menyisakan siluet Dharuman yang terkapar, tubuhnya terjepit di antara celah batu retak, di bawah pelukan sosok yang mendorong sebelumnya—Wandarimo.

Segalanya luluh lantak. Lantai batu yang dahulu dibangun dari batu putih pilihan cemerlang akan ketangguhannya, kini terbelah, retak menganga seperti luka raksasa yang mengoyak dada bumi. Di tengahnya, bekas pola Batin Pangikrar masih menyisakan jejak yang menyeramkan, mengepulkan asap putih tebal yang menjalar perlahan, seolah napas dari dunia gaib yang bangkit.

Keheningan menyeruak di antara sisa kekacauan. Hanya beberapa sosok yang masih tersisa, mereka tampak lemas, wajah mereka pucat terpaku ke arah pusat ruangan, tak sanggup berkata apa-apa. Sebagian mematung, seperti patung-patung hidup yang kehilangan jiwa, sementara yang lain tergeletak tak berdaya di lantai yang kini berlumur debu, pecahan batu, dan sisa gemuruh yang belum sepenuhnya menghilang.

"Akhirnya... aku telah melakukannya... dan... permintaanku..." gumam Dharuman dengan napas yang berat, tubuhnya terjepit di antara rekahan batu yang menganga.

Kata-katanya seketika menghentikan seluruh napas di ruangan. Hening yang mendadak itu nyaris terasa seperti guntur yang dibekukan. Udara menegang, penuh dengan ketidakpercayaan.

"APA?!" seru Wandarimo, matanya membelalak, suaranya menggemuruh antara keterkejutan dan kesedihan yang menyesak. "Anda mempertaruhkan hidup Anda… untuk ini?!"

Dharuman menoleh perlahan, wajahnya berdebu dan penuh gores, namun senyumnya menguar damai yang lemah, tapi bersinar dengan kepastian.

"Aku... menginginkan satu hal—benda... yang dapat memurnikan Batin Pangikrar..."

Suaranya lirih, namun tiap kata menggetarkan dada.

"Aku tahu... jika bukan aku... siapa lagi? Aku sudah tua. Hidupku tinggal hitungan hari. Dan aku... tak mau mati dalam kesia-siaan."

Ia menarik napas panjang yang terdengar seperti helaan terakhir seorang pejuang.

"Kita semua tahu... pusaka... hukum... bahkan kekuatan Aliansi... tidak cukup untuk menahan kehancuran ini. Aku melakukannya... bukan demi diriku. Tapi untuk kalian semua. Untuk... Sanajayan."

Suaranya kian menipis, seperti senja yang ditelan malam, seperti tubuhnya yang nyaris terhimpit seluruh bobot sejarah yang ia pikul. Lalu ia terdiam. Hanya matanya yang masih terbuka, menatap kosong ke langit-langit yang berdebu cahaya.

Ratu Wulansana jatuh berlutut di hadapan tubuh tua itu, gaunnya yang megah kini ternoda debu dan pecahan batu. Air matanya tak terbendung lagi, mengalir seperti anak sungai yang pecah dari bendungan.

"Oh, Tuan Dharuman..." suaranya parau, nyaris seperti doa yang retak, "mengapa Anda melakukannya...? Ini... terlalu berat..."

Di sisi lain ruangan, Samiranah, yang sebelumnya terhempas hingga dahinya berdarah terkena pecahan kolam air mancur yang kini terguling porak-poranda, terhuyung bangkit. Dengan langkah gontai, ia mendekat dan langsung menjatuhkan diri, memeluk tubuh Dharuman erat seolah ingin menahan jiwa yang hendak melayang.

Wandarimo, yang masih memegangi tangan Dharuman sejak tadi, kini menunduk penuh takzim. Genggamannya gemetar, namun hangat, seakan menyampaikan bahwa Dharuman tidak pernah sendiri.

Dari kejauhan, Solor terduduk lemas. Matanya tak berkedip, menatap tubuh tua itu dengan campuran rasa hormat, kehilangan, dan duka yang menekan dadanya seperti gunung. Dia tidak bergerak, seakan tahu, jika ia menjauhkan mata sekejap saja, momen ini akan menghilang seperti mimpi.

Shidi Sukro, yang biasanya berdiri tegak laksana batu penjaga, kini tersentak bangkit dari puing-puing. Tubuhnya berdebu, jubahnya terkoyak. Ia melangkah perlahan, lalu menepuk punggung Dharuman dengan lembut, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, karena kadang, kesedihan hanya bisa diungkapkan dalam diam.

Ruangan yang sebelumnya dipenuhi ketegangan dan pertanyaan kini berubah menjadi lautan emosi yang tak terbendung. Debu masih menggantung di udara, namun tak satu pun yang memedulikannya. Para tamu tampak berceceran, ada yang duduk terpaku seperti patung kehilangan jiwa, ada yang menutup wajah dengan tangan, menangis tanpa suara, dan sebagian lagi membiarkan air mata jatuh begitu saja tanpa pernah diseka. Suasana seakan membeku dalam kesedihan yang kolektif.

Di tengah kehancuran itu, sebelum siapa pun sempat berbicara atau bergerak, Dharuman perlahan jatuh ke dalam pelukan orang-orang yang mengelilinginya. Tubuhnya yang rapuh bersandar seperti dedaunan tua yang menyerah pada angin terakhirnya.

Matanya mulai meredup, nyaris padam, namun di sudut bibirnya mengembang senyuman kecil yang lemah, tetapi sarat kedamaian. Senyuman seorang lelaki yang tahu bahwa ia telah menunaikan tugasnya... bahwa pengorbanannya tak sia-sia.

"Selamatkan... dunia ini..."

Bisik itu mengalir perlahan, seakan diucapkan bukan hanya kepada yang hadir, tapi kepada masa depan itu sendiri.

Lalu, senyap.

Hening menelan ruangan seperti kabut tebal, tidak ada suara, tidak ada gerakan, hanya detik yang mematung dalam keabadian kehilangan.

Ruangan yang tadinya penuh tegang, kini menjadi altar kesedihan, Hanya suara tangisan lirih terdengar, sementara senja di luar semakin memudar menjadi malam. Di tengah keheningan itu, sebuah suara lirih namun tegas memecah suasana:

"Kita harus… menemukan Pengembara Bulan Sabit sejati… sebelum semuanya terlambat," ujar Wandarimo, menatap seluruh ruangan, menyapu pandang ke arah setiap wajah yang pernah menyandang gelar itu.

More Chapters