Pagi itu di dorm terasa lebih ramai dari biasanya. Para member bergerak cepat, menyiapkan pakaian bersih dan perlengkapan untuk Jungwon yang baru pulang dari rumah sakit. Manajer mereka datang, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Heeseung, bagaimana kondisinya?" tanya sang manajer.
Heeseung, yang sedang melipat pakaian Jungwon, menghela napas berat. "Dia sudah sadar, hyung. Tapi... hatinya masih rapuh. Sedikit saja tekanan, dia bisa jatuh lagi."
Sunghoon ikut menambahkan, "Dia bahkan belum bisa tersenyum seperti biasanya."
Manajer mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca melihat betapa berbeda suasana dorm yang biasanya ceria ini.
Di ruang tengah, Jungwon duduk di sofa, terlihat lemah. Niki dengan sabar menyuapkan bubur ke mulutnya sambil mengajak Jungwon bercanda kecil, berusaha mengembalikan semangatnya.
Namun, kebahagiaan sesaat itu tiba-tiba hancur.
Pintu dorm terbuka keras. Semua orang menoleh. Gabriel berdiri di sana dengan wajah marah dan langkah berat mendekati Jungwon.
Tanpa aba-aba, PLAKK!
Tangan Gabriel melayang keras ke pipi Jungwon. Bunyi tamparan itu menggema di seluruh ruangan.
Jungwon terdiam. Sendok kecil di tangannya jatuh ke lantai. Matanya membulat, tubuhnya bergetar. Air matanya langsung jatuh tanpa suara.
"Dasar memalukan! Kau pikir aku masih mau kembali padamu?!" teriak Gabriel kasar.
Para member yang lain membeku dalam keterkejutan. Namun sebelum Heeseung atau Sunghoon bisa bereaksi, sosok yang biasanya paling pendiam, Sunoo, melangkah maju dengan sorot mata penuh amarah.
Tanpa berpikir panjang, Sunoo mencengkram kerah Gabriel dan mendorongnya ke dinding, tangannya mencekik leher Gabriel dengan kuat.
"Apa kau sudah gila, hah?!" Sunoo berteriak, suaranya serak karena emosi. "Kau berani menyentuh Jungwon lagi?!"
Gabriel berusaha melepaskan cengkeraman Sunoo, wajahnya berubah pucat. Para member lainnya dengan cepat menarik Sunoo, berusaha menenangkan amarahnya.
"Sunoo! Lepaskan, jangan kotorin tanganmu karena dia!" teriak Jay sambil menarik Sunoo mundur.
Gabriel terbatuk keras, mencoba mengatur napas. Tapi tatapan tajam Sunoo dan member lainnya membuatnya ketakutan.
Jungwon, di sisi lain, hanya bisa menangis diam-diam, tubuhnya gemetar hebat, sambil memegang pipinya yang memerah.
Heeseung segera berlari ke Jungwon, memeluknya erat dan membisikkan, "Kami di sini. Kami semua di sini untukmu."
Gabriel, dengan tatapan penuh amarah dan ego, akhirnya memilih pergi meninggalkan dorm, membanting pintu keras-keras di belakangnya.
Di dalam dorm, suasana kembali hening — hanya isakan pelan Jungwon yang terdengar, membuat hati semua orang yang ada di sana terasa hancur.
Tangisan Jungwon pecah di tengah pelukan erat para member.
Sunghoon, Jay, Niki, Sunoo, Heeseung, dan Jake, semuanya mengelilinginya, memeluknya erat, seakan-akan membangun benteng perlindungan untuk hatinya yang sudah terlalu hancur.
"Kau tidak sendiri, Jungwon," bisik Sunghoon lembut di telinganya.
Jay menepuk punggung Jungwon pelan, "Mulai sekarang, kami semua akan melindungimu. Tak akan ada yang menyakitimu lagi."
"Apa pun yang terjadi, kami di sini," tambah Niki, suaranya bergetar menahan tangis.
Malam itu, di tengah isakan yang perlahan mereda, ikatan di antara mereka semakin kuat. Mereka berjanji dalam hati masing-masing — apapun yang terjadi, Jungwon harus kembali tersenyum.
—
Beberapa minggu berlalu.
Berkat cinta, perhatian, dan dukungan tanpa henti dari para member dan manajer, Jungwon perlahan mulai pulih.
Meski hatinya belum sepenuhnya sembuh, setidaknya kini ia bisa tersenyum kecil lagi, meski kadang matanya masih memancarkan sedikit kesedihan.
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Jungwon kembali ke kantor HYBE. Ia mengenakan hoodie abu-abu sederhana, masker menutupi sebagian wajahnya. Matanya sedikit gugup tapi penuh tekad.
"Aku harus bangkit... Aku harus kuat," gumamnya di dalam hati sambil berjalan menuju ruang latihan.
Sesampainya di lobby, ia masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai 6 — tempat ruang latihan berada.
Namun saat pintu lift hampir menutup, seseorang berlari kecil menahan pintu.
Seorang gadis dengan rambut sebahu, mengenakan kaus putih polos dan celana jeans longgar, tampak terengah-engah.
"Ah, maaf, maaf!" katanya buru-buru sambil masuk ke dalam lift.
Jungwon yang berdiri di sudut lift menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang. Tapi saat lift mulai bergerak, tanpa sengaja, karena getaran lift, gadis itu tersandung ringan dan... Braak! menabrak bahu Jungwon.
"Aduh! Maaf banget!" seru gadis itu panik.
Jungwon, yang sedikit terkejut, langsung mengangkat tangan kecilnya, memberi isyarat tidak apa-apa.
"Tidak apa-apa," jawabnya pelan.
Gadis itu kemudian tersenyum malu, menggaruk belakang kepalanya.
"Nama aku Fani," ucapnya ceria. "Aku trainee baru di HYBE. Hari ini aku mau ketemu pelatih dance."
Jungwon tersenyum tipis di balik maskernya, merasa sedikit nyaman dengan energi cerah gadis ini.
"Aku Jungwon," jawabnya, memperkenalkan diri. "Aku... dari ENHYPEN."
Mata Fani membulat. "Serius?! Aku fans kalian! Tapi aku gak terlalu berani bilang... karena malu."
Jungwon sedikit tertawa kecil — tawa kecil pertama yang tulus sejak sekian lama.
Entah kenapa, aura Fani terasa berbeda. Hangat, sederhana, tanpa tekanan.
Lift berbunyi ting! saat sampai di lantai 6. Mereka keluar bersama, berjalan berdampingan menuju ruang latihan masing-masing.
Saat berpisah di koridor, Fani sempat menoleh dan berkata dengan senyum cerah:
"Semangat latihannya, Jungwon-ssi!"
Jungwon hanya membalas dengan anggukan kecil, tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang terasa... sedikit lebih ringan.
Mungkin... hari ini benar-benar awal dari lembaran baru untuknya.
Sore itu, di ruang latihan HYBE, Jungwon sedang fokus berlatih gerakan koreografi baru.
Keringat menetes di pelipisnya, kaos putihnya sudah mulai basah di punggung.
Musik keras menggema, dan Jungwon tenggelam dalam ritme — berusaha menyalurkan semua rasa sakit dan beban lewat gerakan.
Tiba-tiba, pintu ruang latihan diketuk cepat. Seorang staff masuk sambil membawa clipboard.
"Jungwon-ssi, Heeseung-ssi, Jay-ssi, tolong ke studio lantai 5 sekarang. Ada arahan baru dari manajer," katanya cepat.
Mereka bertiga saling pandang sejenak, sebelum akhirnya mematikan musik dan mengambil handuk kecil masing-masing.
Setelah berjalan menuruni tangga, mereka tiba di lantai 5. Pintu studio sudah sedikit terbuka, dan dari dalam terdengar suara riuh kecil.
Saat Jungwon melangkah masuk...
matanya langsung membelalak.
Di depan ruangan, berdiri berjejer beberapa trainee perempuan yang sepertinya baru akan debut dalam grup girl baru HYBE.
Dan di tengah-tengah mereka — ada sosok yang sangat dikenalnya.
Fani.
Rambut sebahunya diikat rapi, ia mengenakan seragam latihan berwarna hitam dengan logo HYBE di dada kirinya.
Saat mata mereka bertemu, Fani buru-buru menundukkan kepala, wajahnya memerah malu.
Jungwon sempat terdiam. Ada sesuatu di dadanya, perasaan hangat aneh yang belum pernah ia rasakan lagi sejak lama.
Tanpa sadar, sudut bibirnya sedikit terangkat.
Heeseung yang berdiri di sebelah Jungwon memperhatikan adeknya itu dengan seksama.
Melihat perubahan kecil dalam ekspresi Jungwon — sesuatu yang sudah lama tak ia lihat — membuat Heeseung merasa sedikit lega.
Ia menarik Jay pelan ke sudut ruangan, berbisik pelan agar tidak terdengar oleh staff atau member lain.
"Jay... lihat Jungwon," bisik Heeseung.
Jay mengikuti arah pandangannya — melihat bagaimana Jungwon, walau masih canggung, mencoba bertahan berdiri santai di hadapan para trainee perempuan, terutama Fani.
"Dia... bisa berinteraksi lagi sama cewek," lanjut Heeseung, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku rasa... cewek itu, Fani... bawa dampak baik ke Jungwon."
Jay diam sesaat, memperhatikan lebih dalam.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jay melihat mata Jungwon tidak dipenuhi kesedihan — ada percikan kecil rasa ingin tahu di dalamnya.
Jay mengangguk pelan, mengerti maksud Heeseung.
"Benar," jawabnya akhirnya. "Kalau begitu, kita harus jaga anak itu baik-baik. Jangan sampai dia disakiti lagi."
Heeseung mengepalkan tangan kecil di samping tubuhnya, bertekad lebih kuat.
Apa pun yang terjadi, mereka akan melindungi Jungwon dan kebahagiaannya yang perlahan mulai tumbuh kembali — bahkan dari jauh.
Sementara itu, di tengah ruangan, Jungwon mengalihkan pandangan dari Fani, berusaha kembali fokus mendengarkan briefing dari manajer.
Tapi tanpa ia sadari, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Dan mungkin — hanya mungkin — luka lama itu perlahan-lahan mulai bisa disembuhkan.