Aku lihat segerombolan orang tiba-tiba mengerubungi mobilku. Mereka meminta kami untuk keluar. Dari wajahnya, mereka nampak bukan orang biasa. Tampang-tampang mereka seperti preman. Jumlah mereka ada 5 orang. Semuanya nampak bertampang kasar dengan tubuh penuh tato.
"Untung aja aku tidak di dalam mobil itu, kalau tidak, aku sudah mati jatuh ke dalam jurang!" Kata seorang dengan tubuh paling tambun diantara orang-orang itu.
"Iya boss, bunuh aja ini orang!" Kata preman lain.
Yang mereka maksud untuk dibunuh itu tentu saja aku, dan mungkin juga Widya.
"Tolong jangan," Kataku. "Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku bisa ganti rugi." Kataku mencoba berdiplomasi.
Tapi seketika itu, Bukkkkk!! Sebuah tinju melayang tepat ke ulu hatiku.
Sakit sekali rasanya, aku sampai ambruk dan mataku berkunang-kunang.
"Aku benci orang-orang berduit kayak mereka. Dikira semua bisa dibeli sama uang." Kata orang tambun yang disebut bos oleh preman lain itu.
Seorang preman membisiki si bos, dan ia tersenyum sambil melirik ke arah istriku. Istriku sendiri sudah dipegangi oleh dua orang preman. Wajahnya tampak ketakutan tapi ia tak bisa melawan.
"Ayo, bawa mereka. Ndak usah melawan, kalau kalian masih tetap mau hidup!" Kata si bos itu.
Mereka membawaku dan istriku ke sebuah mobil kijang tua. Aku duduk di belakang, ditemani oleh seorang preman. Sedangkan istriku duduk di tengah, diapit oleh si bos yang sekarang aku tahu bernama Parjo. Dan satu lagi preman bernama Kusni.
Tangan dan kakiku diikat, sementara mulutku disumpal oleh kain. Tapi aku liat istriku sama sekali tidak diikat. Ia hanya diam duduk tertunduk diapit oleh dua preman yang bernama Parjo dan Kusni. Mungkin ia sangat ketakutan dengan preman-preman ini.
Mobil ini melaju dalam kegelapan malam, entah apa yang akan mereka lakukan pada kami. Ulu hatiku masih terasa sakit sekali. Preman di depanku bahkan memain-mainkan pisau untuk mencukur jenggotnya. Ia bahkan sempat memukul lagi perutku ketika aku coba melihat keadaan istriku dengan gagang pisau. Rasanya sakit sekali dan aku ingin muntah.
Preman yang nantinya aku tahu bernama Kunto itu juga sempat membisikiku, "kalau sampai kau tereak atau melawan, istrimu bisa aku lempar ke jurang!" Ancamnya.
Jujur saja, aku sangat ketakutan. Aku belum pernah berada dalam situasi semacam ini. Apalagi mereka sepertinya tidak main-main dengan ancaman itu.
Aku perhatikan, istriku masih duduk dengan kepala tertunduk di kursi tengah. Parjo sepertinya membisikan sesuatu kepada istriku dan ia menganggung-angguk dengan anggukan orang yang panik ketakutan. Aku tak tahu apa yang ia bisikan. Tapi setelah itu, kepala istriku sempat beberapa kali tertengadah, seperti menahan sesuatu. Tubuhnya juga nampak lebih tegang dari sebelumnya.
Aku tahu, sesuatu sedang tejadi kepada istriku di kursi itu. Tapi aku tidak tahu apa itu. Aku hanya berharap, ia bisa melewati semua ini.
Perjalanan terasa sangat panjang, apalagi jalan di pegunungan ini naik turun dan berkelok-kelok. Suasana di luar nampak gelap sekali, aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa.
Aku lihat, kepala Widya semakin tertunduk, bahkan aku sempat mendengar suara aneh. Seperti suara becek air, aku tak tahu suara apa itu. Penasaran, aku coba mendongak ke depan. Tapi tiba-tiba Kunto menampar kepalaku.
Plaakkk!!
Pandanganku kembali berkunang-kunang dan darah keluar dari hidungku. Tidak berhenti di sana, ia juga kembali menghajar perutku. Bahkan tak segan memukul kemaluanku dengan gagang pisaunya.
"Argggh ampun!" Jeritku.
Sakit sekali rasanya dihajar Kunto. Aku sampai jatuh di atas lantai mobil dan mengerang menahan sakit.
"Sudah aku bilang, kamu diam saja. Nurut sama kami kalau mau nyawa selamat." Kata Kunto dengan santainya kepadaku.
Rasanya sakit bukan main, terutama di area kemaluanku. Tapi Widya sama sekali tidak menoleh ke belakang. Seolah ia sedang disibukan oleh hal lainnya.
Pluukkk!
Ada sebuah kain yang jatuh tidak jauh dari wajahku. Kain itu berwarna putih, dan nampak sedikit basah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas bentuk kain itu. Karena mobil ini sedang melaju di jalanan yang sangat gelap. Hanya saja, bau dari kain itu begitu menyengat dan aku jadi ingat akan satu benda.
Kunto mengambil kain itu dan menghirup baunya, "Wangi!" Kata dia.
Beberapa kali Kunto menciumi kain itu seolah kain itu adalah barang yang berharga buat dirinya. Kunto lalu menyimpan kain itu ke dalam saku rompi jeans yang ia kenakan.
Ah apa kain itu sebenarnya? Dari warna, bau, dan bentuknya, aku hanya bisa berfikir satu hal. Tapi aku benar-benar tak mau memikirkannya saat itu. Hanya saja, kemungkinan besar kain itu adalah satu benda, benda yang dipakai istriku Widya kemanapun ia pergi.
Kain itu adalah celana dalam Widya