Hujan masih mengguyur Ksatria Ombak saat fajar menyelinap di cakrawala, membawa cahaya kelabu yang meresap ke celah-celah kayu kapal. Aruna berdiri di dek, tangannya mencengkeram pagar basah, menatap laut yang kini tenang seolah tak pernah dilanda badai semalam. Namun, di kepalanya, gambar peti besi dengan cahaya hijau dan mata kuning Naga Laut terus berputar, seperti lagu yang tak bisa dilupakan. Dia tahu dia harus kembali ke Teluk Karang, tapi firasat buruk menggerogoti perutnya, sesuatu yang lebih dari sekadar takut pada makhluk laut.
"Kau terlihat seperti orang yang akan melompat ke neraka demi sepotong logam," kata Kasim, muncul di sisinya dengan cangkir timah berisi kopi laut, minuman pahit yang diseduh dari rumput laut kering.
Janggut abu-abunya basah, dan matanya yang cerdas menatap Aruna dengan campuran khawatir dan bangga.
"Bukan logam, Kasim," balas Aruna, suaranya pelan tapi tegas.
"Kau dengar apa yang Dren katakan. Tanah Fajar. Jika itu nyata, kita bisa mengubah segalanya. Tidak ada lagi pulau terapung yang bocor, tidak ada lagi anak-anak yang mati kelaparan." Kasim mendengus, tapi tidak membantah.
Dia tahu Aruna bukan tipe yang bermimpi kosong. Di dunia ini, mimpi adalah kemewahan, dan Aruna selalu punya alasan untuk setiap langkahnya.
"Baiklah, Nak. Tapi kau tidak akan menyelam sendirian lagi. Aku akan menyiapkan tali pengaman dan meriam tombak. Dan jika Naga Laut itu muncul, kita akan menusuknya sampai dia menyesal lahir." Aruna tersenyum tipis, tapi senyumnya memudar saat dia melihat Dren di ujung dek, bersandar pada tiang layar.
Mantan bajak laut itu sedang mengasah pisau dengan gerakan lambat, mata hitamnya menatap laut seolah bisa melihat sesuatu yang tak terlihat oleh yang lain. Ada sesuatu pada Dren yang selalu membuat Aruna waspada, bukan karena masa lalunya, tapi karena diamnya. Orang yang terlalu pendiam biasanya menyimpan rahasia.
"Kau percaya dia?" tanya Aruna, suaranya hampir tenggelam oleh deru angin.
Kasim mengikuti pandangannya.
"Dren? Dia menyelamatkan hidupku tiga tahun lalu, saat bajak laut menyerang pulau kita. Tapi percaya sepenuhnya?" Dia menggeleng.
"Di laut, kau hanya percaya pada dirimu sendiri dan kapalmu." Sebelum Aruna bisa menjawab, Mira muncul dari tangga kabin, rambut hitamnya yang dikepang basah menempel di bahu.
Navigator muda itu membawa gulungan kulit ikan pari, peta yang sama yang membawa mereka ke Teluk Karang. Matanya bersinar dengan semangat yang Aruna kenali: campuran rasa ingin tahu dan obsesi.
"Aku memeriksa peta semalam," kata Mira, membentangkan kulit itu di atas peti kayu di dek.
"Titik merah di Teluk Karang bukan satu-satunya. Ada tanda lain, di sini." Jarinya menunjuk sebuah simbol kecil di sudut peta, lingkaran dengan garis miring, persis seperti ukiran di peti besi.
"Ini bukan sekadar peta relik, Aruna. Ini seperti... petunjuk. Rute."
"Rute ke mana?" tanya Kasim, alisnya terangkat.
Mira menatap Aruna, senyumnya penuh rahasia.
"Ke Tanah Fajar." Kata-kata itu kembali menggantung, seperti petir yang menunggu menyambar.
Aruna merasakan darahnya berdesir. Peta itu, peti besi, Naga Laut, semuanya terhubung. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, teriakan dari menara pengintai memecah pagi.
"Kapal di cakrawala! Layar hitam!" Dek langsung berubah menjadi sarang lebah.
Kasim berlari ke roda kemudi, berteriak memerintahkan kru untuk menaikkan layar. Mira menggulung peta dengan cepat, sementara Dren, tanpa sepatah kata, menghilang ke bawah dek, kembali dengan tombak panjang yang ujungnya berkilau tajam. Aruna meraih teropong dari sabuknya dan memanjat tali ke menara pengintai, jantungnya berdetak kencang.
Di kejauhan, sebuah kapal mendekat dengan cepat, layarnya hitam seperti malam tanpa bintang. Itu bukan kapal dagang atau penyelam relik. Layar hitam berarti satu hal: bajak laut. Tapi ada yang aneh. Kapal itu terlalu cepat, terlalu ramping, dan lambungnya berkilau seperti dilapisi logam, sesuatu yang belum pernah Aruna lihat di laut yang dikuasai kayu dan karat.
"Bajak laut?" tanya Aruna pada pengintai, seorang anak muda bernama Tiro yang wajahnya pucat.
"Bukan bajak laut biasa," gumam Tiro, tangannya gemetar memegang teropong.
"Lihat lambang di layarnya." Aruna menyipitkan mata.
Di tengah layar hitam, ada simbol yang terlalu familiar, lingkaran dengan garis miring. Jantungnya terhenti sejenak. Simbol yang sama dengan peti besi. Simbol yang sama dengan peta.
"Mereka tahu," bisik Aruna, lebih pada dirinya sendiri.
"Mereka tahu tentang peti besi." Dia meluncur turun dari menara, kakinya mendarat di dek dengan bunyi keras.
"Kasim! Putar kapal! Kita harus menjauh dari mereka!"
"Tapi kita bisa melawan!" protes Tiro, yang kini berdiri di sampingnya, memegang busur tua.
"Bukan melawan kapal seperti itu," sahut Dren, muncul dari bayang-bayang, tombaknya disandarkan di bahu.
"Itu bukan bajak laut biasa. Itu Pemburu Bayang." Kata-kata Dren seperti pisau yang menusuk udara.
Pemburu Bayang adalah legenda di kalangan pelaut, sekelompok pemburu relik yang tidak bekerja untuk emas atau kekuasaan, tapi untuk sesuatu yang lebih gelap. Mereka dikatakan mengejar relik tertentu, relik yang bisa mengubah dunia atau menghancurkannya. Tidak ada yang tahu siapa mereka sebenarnya, tapi kapal dengan layar hitam selalu meninggalkan cerita tentang darah dan kehancuran.
"Bagaimana mereka tahu kita di sini?" tanya Mira, suaranya tegang tapi tidak panik.
"Kita baru menemukan peti besi semalam." Aruna menatap Dren, firasat buruknya kembali mengemuka.
"Kau tahu sesuatu, bukan?" Dren tidak menjawab segera.
Dia hanya menatap laut, wajahnya seperti topeng.
"Kita tidak punya waktu untuk bertanya-tanya. Mereka akan menabrak kita dalam sepuluh menit jika kita tidak bergerak." Kasim, yang sudah berada di roda kemudi, menggeram.
"Ke Teluk Karang atau menjauh? Putuskan sekarang, Aruna!" Aruna merasa dunia menyempit.
Menjauh berarti aman, tapi juga berarti meninggalkan peti besi, dan mungkin rahasia Tanah Fajar. Kembali ke Teluk Karang berarti menghadapi Naga Laut lagi, dan sekarang, Pemburu Bayang. Tapi dia bukan penyelam relik yang mundur dari tantangan. Dia tidak akan membiarkan orang lain mengambil apa yang dia temukan.
"Ke Teluk Karang," katanya, suaranya keras, memotong keraguan.
"Kita ambil peti besi itu sebelum mereka." Kru bergerak cepat. Layar utama dinaikkan, angin mendorong Ksatria Ombak meluncur di atas ombak.
Aruna kembali ke kabinnya, mengenakan pakaian selam dengan gerakan cepat. Dia memeriksa tabung oksigen, alat pemotong plasma, dan tombak kecil yang kini dia bawa sebagai cadangan. Di sudut pikirannya, dia tahu ini bukan hanya soal peti besi lagi. Ini soal sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang membuat Pemburu Bayang mengejar mereka.
Saat dia kembali ke dek, kapal layar hitam itu sudah lebih dekat, kini hanya beberapa ratus meter di belakang. Aruna bisa melihat sosok-sosok di deknya, mengenakan jubah gelap yang berkibar tertiup angin. Salah satu dari mereka, yang berdiri di haluan, memegang sesuatu yang berkilau, senjata, tapi bukan tombak atau busur. Cahayanya aneh, seperti kilat yang terperangkap dalam logam.
"Mereka akan menembak!" teriak Tiro dari menara.
Sebelum Aruna bisa bereaksi, sinar terang melesat dari kapal hitam. Bukan peluru, bukan panah, tapi sinar yang membakar udara, menghantam tiang layar Ksatria Ombak. Kayu itu terbelah dengan suara seperti petir, api kecil menyala di ujungnya. Kru berteriak, berlarian mencari air untuk memadamkan api. Aruna terpaku, matanya terpaku pada senjata itu. Teknologi seperti itu seharusnya sudah punah, terkubur di reruntuhan dunia lama.
"Aruna, menyelam sekarang!" teriak Kasim, berjuang menjaga kapal tetap stabil.
"Kami akan menahan mereka!" Dia tidak punya waktu untuk berdebat.
Aruna berlari ke sisi kapal, memeriksa tali pengaman yang kini diikatkan ke pinggangnya. Dia melirik Dren, yang kini berdiri di dekat meriam tombak, wajahnya tanpa ekspresi.
"Jika kau tahu sesuatu, Dren, katakan sekarang." Dren menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu di matanya, penyesalan, atau mungkin ketakutan.
"Ambil peti besi itu, Aruna. Tapi jangan buka. Tidak di sini." Sebelum Aruna bisa menuntut penjelasan, sinar kedua menghantam dek, kali ini menghancurkan peti kayu di dekatnya.
Dia tidak menunggu lagi. Dengan napas dalam, dia melompat ke laut, air dingin menelannya utuh.Di bawah permukaan, dunia menjadi hening. Suara tembakan dan teriakan kru lenyap, digantikan oleh dengung laut yang familiar. Aruna menyalakan lentera di helmnya, cahaya menerangi reruntuhan Teluk Karang yang kini terasa lebih menyeramkan. Dia meluncur cepat menuju dasar, mengikuti ingatannya tentang lokasi peti besi. Tali pengaman di pinggangnya terasa berat, tapi memberi sedikit rasa aman, Kasim akan menariknya kembali jika sesuatu salah.
Dasar laut muncul di depannya, pasir dan karang masih terganggu dari penyelaman semalam. Peti besi itu masih ada, setengah terkubur, cahaya hijau samar membocor dari celah-celahnya. Aruna mendekat, jantungnya berdetak kencang. Dia memeriksa sekitar, mencari tanda-tanda Naga Laut. Tidak ada. Hanya kegelapan dan keheningan.
Dia mulai bekerja, alat pemotong plasma menyala, memotong engsel terakhir. Setiap detik terasa seperti jam, pikirannya terbelah antara peti besi dan kapal di atas yang sedang bertarung. Apa senjata itu? Mengapa Pemburu Bayang menginginkan peti besi ini? Dan apa yang Dren sembunyikan? Engsel terakhir putus. Peti besi terbuka perlahan, cahaya hijau membuncah keluar, lebih terang dari sebelumnya. Di dalamnya, bukan chip atau mesin seperti yang Aruna harapkan, tapi sebuah papan logam kecil, terukir dengan pola lingkaran dan garis yang berputar seperti galaksi. Di tengahnya, ada kristal hijau yang berdenyut seperti jantung. Aruna merasa dadanya sesak. Ini bukan relik biasa. Ini... hidup.
Tiba-tiba, air bergolak. Aruna menoleh, lentera menangkap kilau sisik di kegelapan. Naga Laut. Matanya kuning menyala, tubuhnya meliuk mendekat, tapi kali ini tidak menyerang. Ia berhenti, kepalanya miring, seolah mempelajari kristal di tangan Aruna. Lalu, dengan suara yang mengguncang tulang, ia mengeluarkan raungan rendah yang terasa seperti peringatan.
Aruna tidak menunggu. Dia menggenggam papan logam itu, menyelipkannya ke sabuknya, dan menendang kuat ke atas, tali pengaman menegang saat Kasim mulai menariknya. Tapi saat dia melirik ke bawah, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Bukan hanya Naga Laut. Ada bayang-bayang lain, lebih kecil, lebih cepat, penyelam dengan pakaian aneh, berenang menuju peti besi. Pemburu Bayang.
Di atas, Ksatria Ombak masih bertarung, asap mengepul dari dek. Aruna muncul di permukaan, tangan Kasim menariknya ke kapal.
"Kau dapatkan?" tanyanya, suaranya serak.
Aruna mengangguk, menunjukkan papan logam itu. Tapi sebelum dia bisa menjelaskan, Dren muncul di sisinya, matanya tertuju pada kristal.
"Kau tidak seharusnya mengambilnya," katanya, suaranya dingin.
"Apa maksudmu?" tanya Aruna, tapi kata-katanya terputus oleh ledakan lain.
Kapal hitam kini sangat dekat, sinar senjata mereka menghantam air di sekitar Ksatria Ombak. Dan di kejauhan, sesuatu muncul dari laut, bukan kapal, bukan makhluk, tapi struktur logam raksasa, mengambang seperti pulau buatan, dengan simbol lingkaran dan garis di sisinya.
Aruna menatap Dren, kemarahan membakar dadanya.
"Kau tahu apa ini, bukan? Ceritakan sekarang, atau aku
..." Dren memotongnya, suaranya tajam.
"Itu bukan relik, Aruna. Itu kunci. Dan kau baru saja membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci." Laut bergemuruh, struktur logam itu mulai bergerak, dan di dek, node logam itu berdenyut lebih cepat, seolah memanggil sesuatu dari kedalaman.
Aruna merasa dunia bergoyang, bukan karena ombak, tapi karena kenyataan yang mulai terkuak.
petualangan ini baru saja menjadi jauh lebih besar, dan jauh lebih berbahaya, daripada yang dia bayangkan.