Setelah kebenaran tentang yayasan Tiara terbongkar, media sosial dan portal berita mulai ramai membicarakan kemenangan kecil Rina. Sekolah Rengganis dianggap berhasil bertahan dari upaya "pengambilalihan halus".
Namun, saat satu pintu tertutup. Tiara membuka pintu lain. Lebih kelam. Lebih personal.
Pagi itu saat Rina hendak masuk kelas, seseorang menyodorkan sebuah amplop. Isinya:
"Perempuan seperti kamu tidak layak jadi panutan. Bagaimana mungkin seorang mantan istri yang pernah dibuang, yang pernah hidup dari menjual makanan sisa, kini ingin memimpin generasi masa depan? Kami akan bongkar semuanya."
Di hari yang sama, akun anonim mulai menyebarkan foto-foto lama Rina:
— Saat ia masih kurus, dekil, menggendong bayi di pasar
— Ketika ia ditampar oleh mertuanya di depan rumah
— Bahkan kliping berita lokal kecil tentang perceraian yang menyebutnya "istri yang gagal memenuhi kewajiban"
Beberapa orang tua mulai cemas. "Bagaimana bisa pemimpin sekolah kita punya masa lalu seburuk itu?" bisik mereka. Beberapa guru kembali goyah. Bahkan Lina yang sudah minta maaf mulai ragu lagi.
Dan ketika Rina hendak memberi pidato pembukaan kelas seni, seorang ibu murid berdiri dan bertanya langsung:
"Ibu Rina, benarkah semua cerita tentang masa lalu Ibu? Bahwa Ibu pernah tinggal di kandang sapi dan tidur di lantai tanah?"
Seluruh aula hening. Murid-murid menunduk. Beberapa menatap penuh tanya.
Rina menatap ibu itu dengan tenang, lalu mengambil mikrofon.
"Iya. Semuanya benar. Saya pernah diceraikan tanpa rumah, tidur beralas tikar bekas di lantai dapur orang tua saya. Saya pernah jual sisa makanan dari hajatan, dan anak saya pernah tidur kelaparan. Tapi justru karena itulah saya di sini hari ini.Karena saya tahu, pendidikan bukan tentang sempurna. tapi tentang kesempatan kedua."
Tepuk tangan meledak. Satu per satu murid berdiri. Beberapa guru menangis. Bahkan ibu yang bertanya—meneteskan air mata dan memeluk Rina.
Tapi Tiara Tidak Selesai
Malam itu, Rangga menerima email ancaman.
"Kalau kau terus berpihak pada Rina, aku akan buka data rahasiamu juga. Tentang proyek gagalmu di Medan, dan... hubungan terlarang yang pernah kau simpan rapat."
—T.M.
Rangga menatap layar. Ia menoleh ke Rina yang tertidur lelah di sofa kantor, dengan selimut menutupi kakinya.
Ia tahu: memilih berdiri bersama Rina berarti siap
kehilangan reputasi dan segalanya.
Dan ia memilih tetap berdiri.
Sementara Rangga dan Arsya sibuk menyusun tim hukum untuk melawan gugatan Tiara, Rina menghadapi ujian yang lebih mengerikan masa lalunya mengetuk pintu, kali ini dalam wujud manusia yang pernah menghancurkannya.
Pagi itu, saat ia mengantar anak-anak pulang dari kegiatan kebun, seorang pria bertubuh tinggi dengan jaket kulit lusuh berdiri di ujung jalan sekolah.
Damar.
Mantan suaminya. Lelaki yang pernah menamparnya di depan orang tua, yang meninggalkannya tanpa sepeser pun, dan yang menganggapnya tidak lebih dari "beban tak berguna Rina," ucapnya datar, matanya tajam menusuk.
Rina membeku. Dunia seolah berhenti. Tangannya gemetar. Nafasnya tercekat.
"Aku dengar kau sekarang pahlawan rakyat? Hebat, ya. Dari kandang sapi ke sekolah internasional. Tapi jangan lupakan satu hal anak itu darah dagingku."
Rina mundur satu langkah. "Kamu tidak pernah menafkahi dia. Bahkan tak pernah mencarinya."
Damar tersenyum miring. "Tapi namaku tetap ada di akta lahirnya. Dan hukum negara ini bisa kubuat berpihak padaku."
Hari itu juga, Damar resmi mengajukan permohonan hak asuh anak, dibantu oleh kuasa hukum bayaran yang didanai oleh Tiara.
Motifnya jelas: menjatuhkan Rina dari dalam. Membuatnya goyah sebagai ibu, agar ia tampak tidak layak sebagai pemimpin.
Saat Rina menerima surat pengadilan, tubuhnya lemas. Air matanya mengalir tanpa suara. Bahkan darah dagingnya dijadikan alat untuk menghancurkannya.
Arsya yang baru tiba dari Jakarta mendapati Rina menangis dalam diam.
Ia duduk di sampingnya, tak bicara. Lalu perlahan menggenggam tangan Rina.
"Aku tak akan biarkan mereka ambil anakmu. Biar semua yang kau lawan datang sekaligus aku akan tetap berdiri di sampingmu."
Tak lama, Rangga masuk. Membawa segepok dokumen.
"Damar punya jejak kekerasan domestik. Kita kumpulkan saksi. Dan aku sudah hubungi Lembaga Perlindungan Anak."
Rina menatap dua lelaki itu. Yang satu mantan lawan, kini menjadi pelindung. Yang satu cinta sejatinya—yang tak pernah goyah.
Sementara Itu, Di Balik Layar...
Tiara menonton semuanya dari apartemen mewahnya. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh bara.
"Kamu pikir bisa bertahan selamanya, Rina? Bahkan cinta pun tak akan selamat dari pertarungan ini."
Ia tersenyum licik
. "Tunggu saja. bab selanjutnya adalah kehancuran totalmu."
Gedung Pengadilan Negeri dipenuhi wartawan dan warga yang penasaran. Kasus hak asuh antara Rina Lestari dan Damar Raharja bukan sekadar soal anak ini sudah menjadi pertempuran moral, simbol perjuangan perempuan tertindas melawan kekuasaan dan manipulasi.
Rina duduk di kursi tergugat, wajahnya pucat namun tegas. Di sampingnya, Rangga dan Arsya saling memberi isyarat siap. Di seberang, Damar duduk dengan angkuh, didampingi pengacara mahal.
Persidangan dibuka. Kuasa hukum Damar langsung menyerang:
"Ibu Rina adalah perempuan dengan riwayat ekonomi tak stabil, pernah depresi pasca-cerai, dan tinggal di lingkungan tidak layak. Kami mempertanyakan kapasitasnya sebagai wali yang sehat secara mental dan finansial." Ucap Kuasa Hukum Damar.
Luka-luka lama dikuliti satu-satu. Rina dipaksa mendengar kembali catatan medis tentang kelaparan, tekanan psikis, bahkan laporan tetangga yang dulu merendahkannya.
Namun ketika giliran pembela datang, Rangga melangkah maju:
"Semua hal buruk yang disebutkan terjadi karena satu hal: Damar meninggalkannya. Tapi walau ditinggal tanpa uang, tanpa rumah, tanpa dukungan Rina membangun sekolah, mengubah hidup anak-anak desa, dan membesarkan anaknya tanpa meminta sepeser pun dari ayah biologisnya."
Ruangan terdiam.
Saksi Tak Terduga
Ketika hakim meminta saksi terakhir, terdengar suara lembut dari arah pintu:
"Saya ingin bicara, Yang Mulia."
Semua kepala menoleh. Dinda, anak Rina yang baru berumur 11 tahun, melangkah masuk dengan seragam sekolah yang sedikit lusuh, tapi mata yang penuh keberanian.
Rina terhenyak. "Dinda…?"
Hakim mengangguk. "Silakan."
Gadis kecil itu melangkah ke mimbar. Lalu, dengan suara yang nyaris pecah tapi jelas, ia berkata:
"Papa bukan orang jahat. Tapi papa tidak tahu bagaimana rasanya tidur lapar. Mama tahu. Mama yang temani aku sakit, belajar, menanam, membaca kalau mereka paksa aku pilih, aku akan tetap pilih mama. Karena aku hidup karena dia, bukan karena nama di akta lahirku."
Suara isak terdengar dari sudut-sudut ruangan. Termasuk dari juri, bahkan staf pengadilan.
Putusan Sementara
Hakim akhirnya berkata dengan tenang:
"Melihat situasi dan pernyataan saksi utama, pengadilan memutuskan hak asuh tetap berada di tangan Rina Lestari. Sidang selanjutnya akan menentukan pembatasan interaksi ayah kandung berdasarkan kebutuhan anak, bukan kehendak pribadi."
Rina tak mampu bicara. Ia hanya memeluk Dinda erat. Sementara Damar menatap kosong, kalah telak… bukan oleh pengacara, tapi oleh anaknya sendiri.
Tapi Badai Belum Usai.
Di luar ruang sidang, wartawan menyerbu. Rina, Rangga, dan Arsya menghindar lewat pintu samping. Tapi seseorang sudah menunggu di sana.
Tiara Maheswari. Dengan senyum dingin.
"Aku kalah di pengadilan kecil ini, Rina. Tapi kamu lupa aku punya pengadi
lan yang lebih besar: publik, bisnis dan politik. Dan aku belum selesai."
Setelah kekalahan telak di sidang hak asuh, Tiara Maheswari tak tinggal diam. Kali ini, ia tak menyerang pribadi Rina ia mengincar akar perjuangannya: Sekolah Rengganis.
Pagi itu, kepala desa mengetuk kantor Sekolah Rengganis dengan raut gelisah. Di tangannya ada surat resmi dari Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten:
"Demi pembangunan kawasan industri baru, lahan yang digunakan oleh Sekolah Rengganis dinyatakan akan dialihfungsikan dan harus dikosongkan dalam waktu 30 hari."
Semua guru panik. Orang tua murid mulai gelisah. Petisi pun muncul, tapi pemerintah desa tak berani melawan. Pasalnya, pemodal utama proyek industri itu adalah perusahaan milik keluarga Maheswari.
Rina terdiam. Dunia seperti runtuh di atas pundaknya lagi.
Rangga tidak tinggal diam. Ia segera menghubungi seorang sahabatnya, Raya Astari, seorang jurnalis terkenal dari TV nasional.
Raya tiba dua hari kemudian, membawa kru dan kamera.
"Kita akan buat cerita ini jadi berita utama. Tentang perempuan desa yang melawan kekuasaan, tentang sekolah kecil yang hendak dihancurkan oleh para elite yang rakus."
Mereka mulai merekam:
— Suasana belajar anak-anak di bawah pohon karena gedung lama tak cukup
— Kisah Rina dari awal
— Kesaksian guru-guru dan orang tua
Dan akhirnya wawancara emosional dengan Dinda, yang membuat seluruh kru menangis saat ia berkata:
"Tempat ini bukan cuma sekolah. Ini rumah pertama kami yang punya harapan."
Video dokumenter itu tayang di prime time. Viral dalam waktu 48 jam. Hashtag #SaveRengganis merajai media sosial. Tokoh-tokoh publik ikut bersuara. Beberapa aktivis HAM dan pendidikan turun langsung ke desa.
Rakyat mulai melihat siapa Tiara sebenarnya.
Tiara mendapat panggilan dari gubernur yang kecewa. Investor menarik diri karena citra perusahaan anjlok. Ia murka melempar ponsel ke dinding, dan memerintahkan orang kepercayaannya:
"Kalau mereka tidak menyerah hancurkan dari dalam. Cari celah. Fitnah. Apa saja. Aku tidak akan kalah dari perempuan kampung itu!"
Sementara Itu.
Rina duduk di depan sekolah yang sudah mulai sepi. Ia tahu kemenangan belum datang. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama ia tidak takut lagi.
Rangga duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.
"Bersiaplah, Rina. Badai besar sedang menuju kita. Tapi kali ini, kita tidak sendiri."
Bab berikutnya: Tiara menyebarkan rekaman palsu yang menuduh Rina korupsi dana sumbangan. Kepercayaan masyarakat goyah. Tapi Dinda menemukan sesuatu yang akan membalikkan semuanya rahasia gelap masa lalu Tiara yang bisa menghancurkan kariernya selamanya.