Cherreads

Sesajen Terakhir (iconplay)

iconplay77
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
439
Views
Synopsis
Di sebuah desa terpencil di lereng Gunung Merapi, warga setiap tahun menggelar ruwatan untuk menenangkan “penunggu” yang pernah menewaskan seluruh keluarga kepala desa. Ketika seorang mahasiswa antropologi bernama Arga mencoba mendokumentasikan ritual tersebut, ia tanpa sengaja melanggar aturan sakral: menyentuh sesajen terakhir. Sejak itu, suara gamelan terdengar setiap malam meski tidak ada yang bermain... dan satu per satu orang mulai kerasukan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Sesajen Terakhir

Bab 1 – Undangan dari Lereng

Bau dupa masih melekat di udara meski acara sudah lama usai. Langit Magelang mulai menguning ketika Arga memasukkan kamera dan buku catatannya ke dalam ransel. Di hadapannya, pendopo kecil mulai sepi setelah ritual ruwatan massal yang ia dokumentasikan untuk tugas akhirnya.

"Mas Arga, matur nuwun sampun rawuh."Pak Harto, kepala adat desa itu, menyalaminya dengan kedua tangan. Kulitnya legam, dan sorot matanya tajam, tapi hangat.

Arga membalas dengan sopan. "Saya yang berterima kasih, Pak. Jarang sekali bisa melihat upacara seperti tadi."

Pak Harto mengangguk pelan, lalu merogoh kantong bajunya. Ia mengeluarkan sebuah gulungan kain kecil, semacam lontar berusia tua.

"Kalau Mas Arga benar-benar ingin tahu ruwatan yang sejati," katanya pelan, "datanglah ke Desa Giripurno. Di lereng Merapi. Sabtu Wage bulan depan. Tapi ingat... jangan pernah sentuh sesajen terakhir."

Arga mengerutkan alis. "Maksudnya, Pak?"

Pak Harto tidak menjawab. Ia hanya menepuk bahu Arga, lalu berjalan pergi, meninggalkannya dengan rasa penasaran yang membara.

Beberapa minggu kemudian...

Desa Giripurno tak tercantum di Google Maps. Arga harus bertanya pada warga sekitar dan melewati jalan setapak yang sempit, diapit hutan bambu dan pohon pinus yang menjulang seperti penjaga diam.

Desanya sepi. Rumah-rumah kayu berjajar rapi, dengan kain hitam-putih tergantung di pintu-pintu. Seorang perempuan tua, mengenakan kemben dan selendang, menyambutnya di gerbang desa.

"Sampeyan dari kota?" tanyanya curiga.

"Saya Arga. Sudah diundang oleh Pak Harto dari Magelang. Katanya ada ruwatan—"

Sebelum ia selesai, perempuan itu langsung menyuruhnya diam dan menunjuk ke arah rumah panggung besar di ujung desa. "Kalian dari kota... selalu ingin tahu. Tapi tidak semua tahu pantas untuk dibuka."

Malam itu, angin Merapi membawa bau anyir. Di tengah alun-alun kecil, warga desa berdiri melingkar. Arga merekam dari kejauhan. Di depan mereka, terdapat lima sesajen: bunga tujuh rupa, kepala kambing hitam, kendi air, tumpeng, dan yang terakhir: bubur merah putih dengan tusuk janur melingkar.

Semua berjalan tenang… sampai seekor burung gagak jatuh mati dari langit dan langsung membusuk di tengah lingkaran sesajen.

Para tetua sontak mundur. Seorang perempuan muda di kerumunan mulai menangis, lalu tubuhnya menegang. Matanya membelalak, dan dari mulutnya keluar suara parau:

"Seseorang telah melanggar... tangan kota telah menyentuh persembahan... sesajen terakhir telah ternoda!"

Semua mata menoleh ke arah Arga.

Ia menatap kedua tangannya.

Ia ingat. Tadi ia memindahkan satu wadah bubur merah-putih untuk mengambil gambar lebih jelas.

Ia telah menyentuh sesajen terakhir.