Cherreads

Chapter 13 - Longsor di Kaki Gunung 

Kabut tipis berbaur dengan bau tanah basah, menyelimuti lereng gunung yang hancur. Langit muram, kelabu seperti abu, seolah turut berduka.

Di kejauhan, lereng gunung yang tampak menganga, seolah rahang raksasa yang melahap separuh desa. Asap tipis masih mengepul dari reruntuhan, menyatu dengan udara yang berat dan pengap.

Solor menuntun Wus Wus perlahan, tapak kudanya bergema pelan di jalan berbatu yang retak. Udara terasa berat, lembap, seakan menekan dadanya. Di kejauhan, asap tipis masih melilit langit dari sisa-sisa tanah longsor. Bau kayu terbakar samar-samar menusuk hidung.

Angin berdesir pelan, membawa suara gemerisik dari hutan yang tersisa. Tapi hutan itu pun seperti mati — tak ada suara burung, tak ada suara jangkrik. Hanya keheningan yang terasa salah.

Saat melewati tikungan, pandangan Solor membeku.

Di tepi jalan, sebuah keluarga duduk di bawah pohon yang nyaris tumbang. Ayah, ibu, dan dua anak kecil. Tubuh mereka lusuh, wajah mereka berdebu, mata mereka kosong seperti cangkang tanpa jiwa. Di belakang mereka, hanya tersisa puing-puing rumah yang terkubur tanah dan batu.

Solor mendekat perlahan. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, "Kisanak... apa yang terjadi di sini?"

Si ayah menoleh lambat, suaranya serak dan parau. "Longsor... datang tiba-tiba. Setengah desa terkubur. Kalau bukan karena pemuda itu... kami pasti sudah ikut mati."

Solor mengerutkan kening. "Pemuda?"

Sang ayah menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Jari gemetarnya menunjuk ke arah desa di kejauhan. Di langit di atas desa, menjulang samar cahaya putih keperakan, berpendar halus seperti aurora.

Sakadian.

Tanda penggunaan pusaka.

"Dia menahan longsor... dengan pusaka," bisik si ayah. "Tapi... hukum tetap hukum."

Solor menatap keluarga itu lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu di mata mereka — bukan sekadar duka atau kelelahan, tapi semacam kehampaan yang sulit dijelaskan, seolah jiwa mereka ikut terkubur bersama rumah yang hancur. Angin berhembus pelan, membawa bau debu dan kayu hangus. Anak-anak mereka hanya diam, memeluk lutut, tatapan kosong menatap ke arah reruntuhan. Solor merasakan sesuatu mencengkeram dadanya, perasaan asing yang entah marah, sedih, atau iba. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa lagi, sang ayah mengalihkan pandangan ke arah desa yang tampak di kejauhan — suaranya lirih, hampir tenggelam oleh angin.

"Kalau bukan karena pemuda itu... kami sudah mati bersama rumah kami."

More Chapters