Cherreads

Chapter 22 - Kenangan Masa Lalu

Tatapannya kembali pada papan pengumuman di luar — kata-kata tentang Ngalam Suro masih terbayang di benaknya:

"Siapapun yang berani menempuh perjalanan melatih diri dan jiwanya selama tahun ini diyakini akan dianugerahi kekuatan yang membawa mereka pada kemenangan di Sayembara Tujuh Tahunan nanti."

Ia menghela napas panjang.

"Kemenangan…"

Kata itu terasa begitu hampa kini. Dahulu, ia memandang pengumuman serupa dengan dada membuncah semangat. Ia ingat, bertahun-tahun lalu, ia berdiri dengan bangga di tengah lapangan Wulansana, menyandang gelar Pengembara Bulan Sabit. Rambutnya yang terkuncir kuncung kala itu masih hitam legam, dan sorak sorai rakyat memekakkan telinga. Semua memandangnya sebagai pahlawan masa depan.

Tapi masa depan itu tak pernah datang.

Wajah orang-orang di lapangan saat itu perlahan berganti di benaknya, menjadi tatapan kosong dan kecewa. Kegagalannya memurnikan Batin Pangikrar menjadi luka yang ia bawa bertahun-tahun. Dua penerus setelahnya pun gagal. Kini, ia hanyalah bayang-bayang yang duduk di sudut warung, nyaris tak dikenali.

Ia mengusap wajah, lalu tersenyum pahit.

"Apa perjalanan kali ini akan sama saja?" gumamnya pelan.

Di tengah lamunannya, samar-samar ia teringat sosok keponakannya — wanita muda yang dulu menatapnya dengan kekaguman. Suaranya menggema di benaknya:

"Lek Solor, kalau lek Lor menyerah... siapa lagi yang akan membuka jalan? Aku percaya lek Lor masih bisa. Aku percaya!"

Sorot matanya yang dulu penuh harapan terasa jauh, tapi kini suara itu terasa mendekat kembali.

BRUKK!

Suara dentuman keras memecah pikirannya. Solor tersentak, refleks menoleh ke arah sumber suara.

Di sudut lain warung, tak jauh dari tempat duduknya, seorang pemuda bertubuh tegap dengan rambut acak-acakan tampak menjatuhkan piring. Nasi dan lauk berserakan di lantai. Pemuda itu buru-buru membungkuk, tangannya gemetar saat mengumpulkan sisa makanan dengan canggung.

Dua pemuda lain di mejanya tertawa kecil, salah satunya menepuk punggung si pemuda sambil terkekeh.

"Wah, makan sama lantainya sekalian, ya?" canda salah satunya, membuat tawa mereka makin keras.

Si pemuda hanya menunduk, wajahnya memerah menahan malu. ia tak sengaja menyenggol pengunjung lain dengan sikunya membuat piring di tangannya terlepas.

Suasana warung sempat melambat sejenak, beberapa pengunjung melirik ke arah mereka, lalu kembali ke urusan masing-masing. Gamelan di panggung kecil tetap berdenting pelan, seakan mengisi ruang yang sempat hening sesaat.

Solor menatap pemuda itu lebih lama dari yang seharusnya. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa ganjil — entah dari caranya bergerak, atau sorot matanya yang sekilas tertangkap saat ia mendongak. Bukan sekadar rasa malu... ada sesuatu yang lain di sana..

Solor memperhatikan mereka dari antara keramaian pengunjung. Meski tampak urakan, ada sorot keberanian di mata mereka bertiga. Seperti dirinya dulu, saat pertama kali datang ke warung serupa, penuh harapan dan mimpi besar.

Ia tak sadar bibirnya sedikit tersenyum.

Dari arah dapur, seorang pelayan gemuk datang dan mengomel pada pemuda yang menjatuhkan piring. Tapi pemuda itu malah nyengir lebar, lalu menggaruk kepalanya. Salah satu dari dua temannya, yang berambut lebih panjang dan bersorban kain udeng tipis miring, menahan tawa sambil melirik Solor sekilas.

Entah kenapa, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Berisik sekali," gumam Solor pelan. Tapi ada nada aneh dalam gumaman itu. Seperti perasaan asing yang ia lupakan — rasa ingin tahu.

Ia memperhatikan lagi. Satu pemuda bertubuh kekar dengan golok di punggung, yang lain lebih ramping dengan tombak pendek bersandar di bangku mejanya. Yang terakhir, yang menjatuhkan piring tadi, membawa pedang di sabuknya.

Tiga pemuda.

Agniran, Handoko, dan Joko.

Tanpa sadar, Solor mendengar jantungnya berdebar pelan.

Mungkin, perjalanannya kali ini... akan berbeda..

Percik Api di Meja Warung

Solor menyandarkan punggung di bangku kayu, tangannya mengetuk pelan meja bundar di depannya. Belum ada menu yang datang, hanya udara pengap bercampur aroma masakan yang terus menguar dari dapur belakang. Pandangannya tertuju pada tiga pemuda di sudut warung yang tengah bersitegang, saling lempar argumen dengan nada tertahan. Wajah mereka tampak lelah, tapi sorot mata masih menyala. Salah satu dari mereka menghela napas berat, sementara yang lain bersikeras, mencondongkan tubuh ke depan, jari telunjuknya mengetuk meja dengan ritme tak sabar, sesekali tertawa kecil di antara obrolan mereka yang samar-samar terdengar di tengah keramaian.

Mereka tampak terlibat perdebatan kecil.

"Aku bilang, kita ambil jalur barat lewat Pegunungan Lumut," ucap pemuda bertubuh kekar dengan golok di punggung. Suaranya berat dan tegas. "Lebih cepat sampai ke Wulansana!"

"Cepat, tapi rawan penyergapan perampok!" sahut pemuda berambut lebih panjang dengan tombak di samping mejanya. Nada suaranya lebih tenang tapi menusuk.

"Ah, Handoko, kamu terlalu penakut!" pemuda yang menjatuhkan piring tadi menyela sambil nyengir. "Aku pilih jalur sungai. Aman, sejuk, dan bisa sambil mancing!"

"Joko, mancing apanya? Kita mau ikut Sayembara, bukan liburan!" kata Agniran, pemuda bertubuh kekar menepuk meja dengan keras. "Kalau kita telat sampai, kita bakal ditertawakan!"

"Lebih baik ditertawakan karena telat daripada mati konyol di tangan perampok!" Handoko membalas, suaranya mulai meninggi.

Suasana di meja mereka mulai memanas. Suara yang semula hanya gumaman pelan kini naik setingkat, cukup untuk menarik perhatian beberapa pengunjung di meja terdekat. Beberapa orang melirik sekilas, sebagian berbisik pelan, penasaran dengan apa yang tengah mereka perdebatkan. Namun, hiruk-pikuk warung membuat suasana tegang itu hanya seperti riak kecil di tengah keramaian yang lebih besar.

Solor menghela napas panjang.

Anak-anak ini… seperti aku dulu.

Tanpa sadar, Solor bangkit dari kursinya. Kakinya melangkah pelan, seakan ditarik oleh rasa penasaran yang tak terbendung. Langkahnya berat, tapi tatapannya mantap, tak lepas dari ketiga pemuda di sudut itu.

Saat ia tiba di dekat meja, Joko yang duduk membelakangi — tampak gelisah lebih dulu. Seolah merasakan kehadiran Solor, ia menoleh perlahan. Matanya sempat menyipit, lalu mendongak dengan raut terkejut bercampur penasaran.

"Eh, tuan mau gabung di sini?" tanyanya polos, senyumnya lebar, secerah sinar mentari yang mengintip dari celah jendela warung.

Solor mengerjap, sedikit terkejut. Ia tak menyangka pemuda itu akan menyapanya langsung.

"Bukan mau gabung," jawab Solor pelan, tapi suaranya tetap tegas. "Aku cuma penasaran… Jalur sungai, jalur barat, atau jalur mana pun yang kalian ributkan tadi — kalian bertiga ini mau pergi ke mana sebenarnya?"

Ketiga pemuda itu saling berpandangan.

Agniran, pemuda yang tampak paling percaya diri, menjawab lebih dulu. Suaranya mantap, seolah ia pemimpin yang tak terbantahkan di antara mereka.

"Kami mau ke Wulansana. Ikut Sayembara Tujuh Tahunan."

Solor menatapnya lebih lama kali ini. Ada bara di mata pemuda itu — bara yang dulu pernah ia kenali dalam dirinya sendiri, bertahun-tahun lalu, saat pertama kali melangkah ke arena Sayembara.

"Kenapa?" tanya Solor, suaranya lebih dalam, seakan hendak menggali jawaban yang lebih dari sekadar ambisi.

Agniran sedikit mengangkat dagu. "Aku mau jadi Pengembara Bulan Sabit."

Kali ini, Solor benar-benar terdiam.

"Banyak yang mau jadi Pengembara Bulan Sabit," ujarnya akhirnya, suara berat dan nyaris bernada peringatan. "Kalian pikir, cuma modal senjata dan nyali kalian bisa menang?"

Handoko, pemuda bertubuh tinggi yang sedari tadi diam, angkat bicara. Nadanya tajam. "Kalau cuma nyali, kami nggak akan sejauh ini. Kami bukan cuma mau menang. Kami mau mengubah nasib."

Solor mengernyit. "Mengubah nasib?"

Joko yang terlihat suka bercanda dari tadi, tiba-tiba bersuara, kali ini lebih serius.

"Kami bukan siapa-siapa, tuan," ucapnya lirih. "Di desa kami, cuma pemenang Sayembara yang dihargai. Kalau kami pulang tanpa kemenangan, kami cuma jadi bahan ejekan. Aku... aku nggak mau lagi dianggap anak tolol yang cuma bisa bercanda."

Kata-kata itu menusuk Solor lebih dalam dari yang ia duga. Ada kejujuran polos di balik suara Joko, kejujuran yang mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu — seorang pemuda yang juga dulu bermimpi mengubah takdirnya.

Sejenak, warung terasa lebih sunyi. Beberapa pengunjung perlahan beranjak, melanjutkan perjalanan. Hanya alunan gamelan dari kejauhan yang terdengar samar, beradu dengan semilir angin sore.

Solor menarik napas pelan. Lalu ia duduk, kali ini di meja mereka bertiga.

"Kalau begitu," katanya, suaranya lebih hangat, "mungkin kalian butuh lebih dari sekadar nyali dan senjata."

"Lalu butuh apa?" tanya Agniran, alisnya terangkat.

Solor menatap mereka satu per satu, memastikan tiap kata yang ia ucapkan benar-benar mereka cerna.

"Jalan pulang."

Ketiganya saling berpandangan, jelas kebingungan.

"Jalan pulang?" ulang Joko, ragu-ragu.

"Perjalanan panjang bukan cuma soal berangkat dan menang," ujar Solor pelan, tapi nadanya penuh keyakinan. "Tapi soal memastikan kalian bisa pulang — hidup. Kalau kalian cuma memikirkan kemenangan, kalian bisa mati di tengah jalan. Tapi kalau kalian punya alasan buat pulang, kalian akan bertahan, apa pun yang terjadi."

Agniran tampak ingin membantah, tapi Solor memotong lebih cepat.

"Aku tahu, karena aku pernah jadi Pengembara Bulan Sabit."

Ketiganya terdiam. Mata Agniran membesar. Handoko menegang. Joko melongo.

"P-Paman... mantan pemenang Sayembara?" suara Joko terdengar hampir bergetar.

Solor tersenyum tipis, ada getir yang tak terlihat di balik senyum itu.

"Ya. Solor Jayusman. Mantan Pengembara Bulan Sabit dari Nawijem."

Keheningan menyelimuti meja mereka. Tapi kali ini, bukan karena keterkejutan semata. Ada kekaguman. Ada ketegangan. Dan entah kenapa, ada harapan baru yang menyala di mata ketiga pemuda itu.

Di luar warung, matahari mulai merunduk di balik Pegunungan Lumut. Bayang-bayang panjang jatuh di jendela, melukis siluet senja seolah menandai awal perjalanan baru.

Solor menatap mereka sekali lagi, sorot matanya tajam tapi hangat.

"Mau kuberitahu jalur yang lebih baik dari jalur barat dan jalur sungai?"

Tiga pemuda itu menelan ludah bersamaan. Tidak ada lagi yang berani bercanda.

"Jalur mana, Paman?" tanya Agniran akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Solor tersenyum tipis, matanya menerawang sejenak ke langit jingga di kejauhan melalui jendela bundar.

"Jalur yang tidak pernah dipilih oleh mereka yang cuma mengejar kemenangan."

Suasana sunyi.

"Jalur yang ditempuh oleh mereka yang ingin pulang sebagai manusia... bukan sebagai legenda."

More Chapters