Cherreads

Chapter 51 - Jembatan Tertutup Lumut

Pagi tiba dengan selubung kabut yang lebih pekat dari malam sebelumnya. Seakan alam enggan membuka jalannya, membiarkan dunia tetap tersembunyi di balik tirai putih yang berkelindan. Solor berdiri diam, membiarkan udara dingin menyusup ke kulitnya yang lelah. Nafasnya bergabung dengan embusan kabut, menghilang begitu saja dalam kehampaan pagi.

Lampu ublik kecil di samping pelana Wus Wus masih menyala redup, tetapi cahayanya tak mampu menembus kabut yang menggulung. Jarak pandangnya hanya tiga langkah ke depan—tidak lebih. Jalur Lumut yang semalam menjadi penyelamatnya kini nyaris tak terlihat, hanya tersirat samar di antara lautan belukar yang basah dan meneteskan sisa embun malam.

Dengan hati-hati, ia mulai menuntun Wus Wus, membiarkan instingnya bekerja mengikuti jalur yang masih bisa dikenali. Pegunungan Lumut semakin meninggi, tanah berganti menjadi batuan yang kasar, dan pohon-pohon raksasa melenggok seperti bonsai kuno yang menyimpan rahasia ribuan tahun. Daun-daunnya bergerak ringan, berdesir oleh angin yang nyaris tak terdengar, seolah mengawasi langkah Solor dari atas sana.

Di hadapannya, kabut perlahan menyingkap sesuatu—sebuah puingjembatan batu putih tua yang menghubungkan dua sisi tebing. Namun, jembatan itu nyaris tidak terlihat. Lumut telah menutupinya sepenuhnya, membuatnya tampak seperti lantai datar yang tak berujung. Tapi Solor tahu lebih baik—di bawah sana, tersembunyi jurang yang menganga dalam, menanti siapa pun yang ceroboh menginjakkan kaki.

Wus Wus mengendus-endus udara, mengais tanah dengan kukunya, ragu-ragu. Solor mengencangkan genggamannya pada tali kekang, jantungnya berdebar kencang. Jika ia menyeberang, ada risiko tergelincir dan jatuh ke dalam kehampaan. Namun, jika ia tidak melanjutkan, Jalur Lumut akan tetap menjadi penjara kabut yang tidak berujung.

Angin berdesir lebih kencang. Lalu, tanpa aba-aba, Wus Wus melangkah maju. Satu kaki menekan lumut yang tebal. Solor hendak menariknya kembali, tetapi sesuatu dalam dirinya menahannya. Dalam keheningan, ia menyadari—batu-batu paving ini bukan sekadar batu. Mereka dibuat oleh tangan-tangan yang percaya pada masa depan. Mereka dibuat untuk menghubungkan dunia. Mereka tidak akan runtuh begitu saja.

Solor menarik napas dalam. Ini bukan hanya tentang jembatan, bukan hanya tentang Jalur Lumut. Ini tentang keyakinannya—tentang apakah ia bersedia percaya bahwa jalannya selalu ada, meskipun tersembunyi.

Dengan tekad yang semakin menguat, ia mengambil langkah pertamanya. Batu di bawah kakinya terasa kokoh meskipun diselimuti lumut licin. Satu langkah lagi. Kemudian satu langkah lagi. Napasnya tertahan, tetapi ia terus berjalan, mengikuti langkah Wus Wus yang bergerak dengan hati-hati.

Lalu, sesuatu terjadi.

Cahaya pertama dari matahari menembus kabut. Mula-mula samar, lalu semakin terang, menyibak gumpalan putih yang menutupi Jalur Lumut. Seakan jalur itu memang selalu ada—hanya menunggu saat yang tepat untuk diperlihatkan.

Solor menoleh ke belakang. Jembatan batu yang nyaris tak terlihat kini tampak lebih nyata. Ia telah menyeberanginya. Ia telah percaya.

Langkahnya terasa lebih ringan saat ia melanjutkan perjalanan. Jalur Lumut memang sulit, berbahaya, dan penuh tantangan. Tapi jika ia terus berjalan, jika ia terus percaya—maka jalannya akan selalu ada.

More Chapters