Pagi menyambut dengan cahaya matahari sintetis yang menembus tirai otomatis. Ezora terbangun dari tidurnya, dan mendapati dirinya masih di kamar yang asing. Bukan kamar kecilnya yang dulu, tapi ruang dengan desain modern futuristik, dinding bersih berwarna abu logam, dan layar-layar status biometrik menyala redup di samping ranjangnya.
Ia menatap ke sekeliling, lalu ke kursi di sudut ruangan—seragam tergantung rapi di sana.
"Ini... seragam sekolahku?" gumam Ezora.
Seragam itu tak seperti yang dia kenal. Bukan kain biasa berwarna biru atau putih seperti sekolah lamanya. Ini abu-abu dengan aksen garis putih di pundak dan logo kecil berbentuk perisai di dada. Jahitannya kaku, seperti pakaian tempur ringan.
Pintu terbuka otomatis. Light masuk sambil membawa dua cangkir teh dan roti bakar.
"Kau terbangun lebih awal dari biasanya," katanya datar.
Ezora menatapnya, lalu menatap Light dari ujung kepala sampai kaki. Seragam militer resmi lengkap dengan sabuk elektronik, sarung tangan, dan lambang Kekaisaran di lengan.
"Kakak... pakai baju militer?"
Light mengangguk pelan sambil duduk. "Ini seragam standar untuk personel Departemen Pertahanan."
"Kakak... kerja di sana?"
Light menyuap roti kecil ke mulutnya. "LOST tidak hanya sembunyi di balik bayangan. Beberapa dari kami menyusup ke dalam sistem. Termasuk aku."
Ezora mengerutkan kening. "Bukannya LOST dianggap musuh negara?"
"Itu sebabnya kami tidak bisa ketahuan." Ia menyeruput tehnya. "Kau harus hati-hati di akademi. Dunia ini bisa tersenyum manis sambil menggenggam belati di punggungmu."
Ezora menarik napas panjang, lalu mengambil seragamnya. "Gimana... memakainya?"
"Kamu pakai dulu seragamnya, Kakak akan bantu memasangkan atributnya" kata Light sebelum meninggalkan kamar Ezora
Setelah seragam terpasang rapi, Ezora berdiri di depan cermin. Refleksinya tampak asing. Rambut panjangnya dikuncir setengah, dan matanya tajam menatap sosok "baru" itu.
Bel pintu berbunyi. Asharu muncul dengan energi khasnya. "Ezoraaaa! Siap Militer?"
Ia mengenakan jaket panjang dengan celana tempur seragam. Seragam akademi-nya terlihat jauh lebih santai.
"Ayo, sebelum shuttle-nya penuh."
Mereka berjalan keluar, udara pagi kota terasa dingin meski matahari bersinar cerah. Saat mereka berjalan berdua di sepanjang trotoar otomatis, Asharu melirik Ezora.
"Ngomong-ngomong," katanya pelan, "boleh aku lihat tengkukmu sebentar?"
"Hah? Buat apa?" tanya Ezora curiga.
"Ada simbol aneh tadi kulihat waktu kamu jalan di depan."
Sebelum Ezora sempat menjawab, Asharu menyingkap rambut panjangnya.
"Eh, tunggu—" seru Ezora, tapi terlambat.
Asharu menatap kulit di tengkuk Ezora. Di sana, ada pola berkilau samar, semacam simbol aneh berputar dalam lingkaran. Terlihat hanya dalam cahaya tertentu.
"Ini... simbol apa?" tanya Asharu, alisnya berkerut.
Ezora menunduk, pipinya memerah. "Asharu..."
"Hm?"
"Jangan pegang rambutku, aku... geli."
Asharu buru-buru menarik tangannya dan mengalihkan pandangan. "Maaf, maaf! Nggak sengaja." Asharu salah tingkah.
Ezora tersenyum malu. Untuk sesaat, keanehan dunia ini terlupakan.
***
Victoria Academy menjulang di tengah distrik pendidikan seperti istana logam dari masa depan. Gedung-gedung tinggi dengan jembatan kaca, drone pengawas berputar-putar di udara, dan patung holografik berdiri gagah di pintu masuk.
Ezora menatap bangunan itu lekat-lekat. "Ini... bukan sekolahku."
"Apa masih ada Zeneva ya," gumamnya, lirih.
Suara keras menerjang telinganya. "EZORAAA!!!"
Seseorang berlari ke arahnya, memeluknya dengan penuh semangat.
"Z-Zeneva?"
Zeneva tampak seperti dulu—rambut pirang keemasan, mata bersinar penuh semangat, dan senyum lebar yang bisa menerangi ruang gelap. Tapi ia mengenakan seragam tempur yang sama seperti dirinya.
"Kukira kamu akan absen hingga bulan depan!" serunya sambil menepuk bahu Ezora. "Eh, kamu kurusan ya?"
Ezora mengangguk kikuk.
Asharu memberi isyarat dengan dagunya. "Zora, ayo masuk."
Zeneva menarik lengan Ezora. "Kamu duduk di sampingku ya! Aku udah simpen tempat!"
**
Kelas tampak seperti ruang komando. Meja-meja berisi layar interaktif, papan tulis holografik, dan guru yang mengenakan armor ringan berdiri di depan.
Ezora duduk perlahan di kursinya. Zeneva menoleh dan berbisik, "Kamu sehat beneran kan?"
Ezora tersenyum tipis. "Masih agak linglung, tapi nggak parah."
"Untung kamu balik. Kita butuh kamu buat kelas strategi militer nanti."
"Strategi… militer?"
"Ya iyalah! Ujian akhir tahun ini simulasi perang skala kota! Aduh, jangan bilang kamu lupa!"
Ezora hanya tertawa pelan. "Hehe, nggak kok." bohong
Tapi jantungnya berdetak lebih cepat.
Pelajaran dimulai. Guru mereka—Letnan Rui—muncul di depan dengan proyeksi data.
"Topik hari ini: Analisis Pergerakan Erura dan Proyeksi Serangan Regional."
Ezora mencoba mencatat, tapi istilah-istilah asing menyerangnya bertubi-tubi. Ia hanya bisa berpura-pura paham.
Zeneva mencondongkan tubuh dan berbisik, "Kalau kamu bingung, tinggal tanya aku."
Ezora tersenyum lagi. Tapi dalam hatinya, ia bergulat. Dunia ini terus menunjukkan bahwa dia memang pernah ada di sini—tapi tanpa ingatan.
Di luar jendela, drone militer melintas di atas langit kota.
Dan di dalam hatinya, suara itu kembali berbisik.
"Kau telah kembali, Putri Kegelapan. Kini permainan sesungguhnya dimulai."