Cherreads

Chapter 2 - Chapter -2: Midnight

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Udara menusuk tulang, dingin khas Underground yang seolah merayap masuk melalui pori-pori pakaian tipis.

Licht duduk diam di teras sempit depan panti asuhan. Papan kayu di bawahnya berderit pelan tiap kali angin bertiup. Matanya memandang ke langit, menembus celah awan yang sesekali membuka tabir dan menampakkan cahaya bulan pucat. Meski cuaca dingin, ia belum beranjak. Ia menunggu—menunggu adik seperjuangannya, Kael, yang belum juga pulang.

Pintu panti terbuka perlahan, mengeluarkan bunyi gesekan kayu yang khas.

“Licht…” panggil sebuah suara lembut dari dalam. Lisshie keluar sambil menyelubungi tubuhnya dengan syal abu-abu tipis. Ia menghampiri Licht dan duduk di sampingnya, membiarkan keheningan sejenak mengisi udara.

“Ada apa?” tanya Licht, melirik ke arah gadis itu yang kini duduk bersebelahan dengannya.

“Kemana Kael pergi…? Jika dia pulang terlalu larut, Ibu akan khawatir dan gelisah,” ujar Lisshie, suaranya tenang tapi sarat kekhawatiran.

Licht hendak menjawab, namun suara dari kejauhan memotong percakapan mereka.

“Licht! Lisshie!”

Keduanya menoleh bersamaan.

Dari gang sempit yang remang, muncul seorang remaja lelaki dengan rambut oranye acak-acakan. Ia mengenakan kaos abu-abu terang dengan tali serut di bagian dada, mirip dengan yang dikenakan Licht. Tangan kirinya memegang kantong kertas berwarna coklat.

Itu Kael—dengan senyum ceria dan napas sedikit tersengal.

“Itu dia…” gumam Licht lega, menatap pemuda itu yang kini mulai mendekat.

Namun sebelum Kael sempat membuka mulut, Lisshie sudah berdiri dan menatapnya dengan sorot tajam.

“Dari mana saja kamu?! Kau terlambat satu jam!” gerutunya, nada suaranya tajam tapi tak menyembunyikan kekhawatiran di baliknya.

Kael hanya terkekeh dan mengangkat tangannya. “Maaf, maaf! Aku minta maaf,” katanya santai, mencoba meredakan situasi.

Lisshie menyilangkan tangan, matanya masih memandangi kantong kertas di tangan Kael. “Hmph…”

“Ada apa Kael? Kenapa pulangnya bisa selama itu?” tanya Licht, kini lebih tenang tapi matanya penuh rasa ingin tahu.

Kael pun duduk di sisi kiri Licht, tepat berhadapan dengan Lisshie yang masih menatapnya penuh tanya.

“Aku… mendaftar ke militer pemerintahan dunia,” jawab Kael pelan, namun nada suaranya penuh semangat. “Dan kau tahu? Aku diterima! Memang baru magang, tapi ini awal yang bagus. Ini bisa memperbaiki ekonomi kita, ‘kan?”

Matanya berbinar saat mengangkat tinjunya ke langit, seakan menyambut masa depan yang lebih baik.

“Sepertinya aku sedikit maju menuju cita-citaku!” lanjutnya bangga.

Licht tersenyum lebar dan menepuk pundaknya. “Selamat, Kael!”

“Selamat ya!” sambung Lisshie, kini wajahnya melunak, tersenyum meski masih ada sedikit bekas kesal.

“Oh, dan… aku bawa hadiah buat kalian!” Kael membuka kantong kertas yang sedari tadi ia pegang. Di dalamnya, terdapat sebuah kue kecil, bulat, tidak terlalu mewah, tapi terlihat sangat lezat di mata mereka yang terbiasa makan makanan sederhana.

“Heh, ini dari gaji pertamaku. Dua Drell!” ucap Kael bangga.

“Benarkah?!” Lisshie menatap kue itu, terkejut sekaligus tersentuh. Kael mengangguk penuh semangat.

“Ayo masuk,” ajak Licht sambil berdiri dan menyentuh lengan Lisshie dan Kael. “Angin malam makin menggigit. Aku bisa merasakan kakiku mulai kaku.”

Keduanya mengangguk dan mengikuti Licht masuk ke dalam panti. Di tengah dunia yang dingin dan keras ini, momen kecil seperti ini terasa hangat—dan sangat berharga.

Di dalam panti asuhan yang hangat, di ruang aktivitas meja bundar pendek, terlihat ibu marie yang duduk di lantai beralas karpet tengah mengajari little ruvein dan minea.

“Aku pulang!” Sapa Kael membawa kantong kertas berisi kue yang ia beli.

“Kael, dari mana saja?” Tanya Ibu marie menyelidiki namun penuh perhatian.

Kael duduk di karpet yang penuh jahitan di ikuti licht dan lisshie. Kemudian ia menjawab.”Aku lolos seleksi pendaftaran militer, tapi aku menjadi anak magang.” Jawabnya tersenyum. Lalu ia menambahkan.”Aku membawa sesuatu untuk kalian.” Ia menaruh kantong kertas berisi kue yang tidak terlalu besar itu ke meja bundar yang tua.

“Kue!!” Ruvein melirik kue yang sudah lama ia tidak makan.

Kael terkekeh.”Aku membelinya dengan gajiku!” Ungkapnya bangga.

“Berarti kael akan menjadi militer?” Tanya Ruvein, mata nya berbinar.

Kael mengangguk dan tertawa.”Aku semakin dekat dengan cita citaku!” Ucapnya sambil menyilangkan tangan di dada.

“Baguslah selamat kael, Ibu senang mendengarnya, ayo kita rayakan keberhasilan kael!” Ibu marie tersenyum dan bangun dari duduknya beranjak menuju dapur untukbmembuat teh dan mengambil piring untuk kue tersebut, lisshie mengikutinya.

Beberapa saat kemudian, mereka kembali membawa teh dan piring kemudian meletakan kue tersebut di piring dan membagi rata.

“Aku penasaran kenapa kau bisa lolos?” Tanya licht penasaran sambil memakan sepotong kue kecil.

Kael berpikir sesaat dan berkata.”Aku sebetulnya diajak oleh temanku.” Jawabnya.

“Teman? siapa?” Tanya lisshie mengangkat alisnya.

“Y-ya..Temanku..Teman baruku, dia juga pekerja baru di toko koran tempat aku bekerja. Dia sudah bekerja selama 1 minggu” Jelas kael, nada bicaranya sedikit gugup.

“Benarkah?...Siapa dia?” Tanya Ibu marie sambil tersenyum penasaran. Kael berkata "Azen…” Jawabnya.

“Gadis?” Tanya lisshie. Kael mengangguk.

"Ternyata ada gadis yang bisa berteman denganmu!” Ungkap Licht terkekeh

“K-kurang ajar! walaupun begini aku ini populer di tempat kami bekerja!” Kael menyilangkan tangannya di dada dengan bangga

Mereka tertawa menikmati kue dan teh bersama.

Di tengah malam, pukul satu, di panti asuhan.

Bangunan kecil itu sunyi, hanya sesekali terdengar derit kayu dari atap tua atau hembusan angin yang menyelinap dari celah jendela. Para penghuni panti asuhan tertidur lelap di balik sekat-sekat kayu tipis yang memisahkan ruang tidur mereka. Hangatnya api yang tersisa di perapian membantu mengusir hawa dingin yang menggigit malam.

Licht terbangun dari tidurnya—bukan di tempat tidur, melainkan di sofa ruang tengah. Ia sengaja tidur di sana, karena membagi ranjang tingkatnya dengan Ruvein yang tidur di bagian bawah, sementara Kael berada di ranjang atas. Daripada berdesakan, Licht memilih tidur terpisah. Selimut tipis yang sebelumnya diselimurkan oleh Lisshie kini terjatuh ke lantai.

Ia menyeka wajahnya yang sedikit berkeringat, lalu duduk perlahan sambil menyesuaikan penglihatannya dalam temaram ruangan.

Namun, sebuah suara lirih menusuk keheningan. Rintihan halus… suara seorang gadis dari arah kamar mandi.

“Siapa yang menangis…?” gumam Licht. Suaranya pelan, nyaris tidak terdengar. Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti sumber suara itu, menyusuri lorong kayu sempit yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang belakang.

Sampai di depan pintu kamar mandi, ia bisa mendengar lebih jelas suara lirih itu. Lalu, nama itu terucap tanpa sadar. “Minea…?”

Ada keganjilan yang mengendap dalam udara malam itu. Hawa yang seharusnya dingin kini berubah menjadi suram… menusuk bukan di kulit, melainkan di dada.

“Perasaan apa ini…?” pikir Licht. “Ini… menakutkan.”

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka perlahan. Di baliknya, muncul sesosok gadis. Rambut cokelat lurusnya sedikit berantakan, wajahnya pucat, dan ia tampak memegangi perutnya. Tatapannya bertemu dengan Licht, dan terlihat keterkejutan dalam ekspresi lelahnya.

“Minea, kau sakit apa?” tanya Licht, langkahnya maju setengah, sorot matanya penuh kekhawatiran.

Minea mengucek matanya perlahan—kali ini tanpa kacamata, matanya terlihat lebih besar dan sayu. “L-Licht…?” ucapnya pelan, lalu cepat-cepat menggelengkan kepala. “T-Tidak… bukan apa-apa.”

Licht menghela napas panjang. “Kalau kau sakit, besok sementara jangan pergi bekerja dan sekolah gereja. Aku akan minta izin ke gereja tempatmu belajar.” Nada suaranya tegas tapi lembut, kakak yang bertanggung jawab.

Sekolah tempat Minea belajar adalah bagian dari Gereja Goddess of Mist yang ada di perbatasan wilayah underground dan kota vilvath barat. Jadwalnya padat: bekerja pagi hari mengumpulkan kayu bakar dan hasil kebun, lalu sekolah dari siang sampai sore. Tapi malam ini… wajahnya tidak sanggup menyembunyikan bahwa ada yang salah.

Minea menunduk, seolah ragu untuk menolak, lalu berkata pelan, “B-baiklah… Terima kasih, Licht…”

Ia melangkah pelan melewati Licht, menuju ruang tidur. Namun, saat tubuhnya melewati sang kakak, Licht merasakan sesuatu.

Hembusan angin

Angin yang kencang, tajam, seperti menerjang tubuhnya. Tapi itu mustahil—tidak ada jendela terbuka. Tidak ada pintu yang menganga.

“Angin…?” Licht menoleh cepat. Matanya menyapu sekeliling ruangan. “Tidak mungkin. Kalau benar itu angin, semua barang di sini pasti sudah jatuh…”

Pandangan Licht berhenti pada deretan panci dan peralatan dapur. Semuanya diam di tempatnya. Tidak ada yang bergerak sedikit pun.

Ia kembali menoleh ke arah Minea yang berjalan menjauh. Saat itu… sekilas, ia melihat sesuatu.

Sebuah bekas gigitan kecil di bahu Minea. Terhalang sebagian oleh rambutnya, tapi cukup jelas untuk mengguncang nalar Licht.

Licht menatapnya dengan mata membelalak, namun buru-buru menggelengkan kepala dan mengetuk dahinya dengan pelan.

“Aku pasti berhalusinasi…”

Ia berbalik, berjalan kembali ke ruang tengah, membenamkan diri di sofa. Selimut tipis ditarik hingga ke dagu, tapi rasa dingin itu tidak kunjung hilang. Bukan dari udara, tapi dari kegelisahan yang mulai tumbuh dalam benaknya.

...

Pagi hari. Pukul 6 pagi. Di hari kamis

Udara masih dingin saat kabut tipis menggantung di sekitar panti asuhan. Suara burung kecil mulai terdengar dari kejauhan, bercampur dengan gesekan pintu kayu yang dibuka perlahan. Licht, yang sudah bangun lebih awal, menggendong tiga tumpuk kayu bakar dan meletakkannya di tempat biasa dekat dapur belakang.

“Kau harus ikut dengan kami! Kemarin kau membiarkan Ruvein dan Minea bekerja terlalu keras…” ujar Lisshie santai tapi dengan nada peringatan, berdiri di belakangnya sambil memegang keranjang sayuran.

Kael berdiri di ambang pintu, menggaruk kepalanya yang masih acak-acakan. “Tapi aku harus menghadiri pelatihan hari ini…”

“Pergilah…” Licht menyela sambil tersenyum, menoleh ke Kael.

Kael terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Licht erat. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah. “Terima kasih, Licht! Kau memang yang terbaik!!”

Nada suaranya penuh sarkasme, dan sesekali ia melirik Lisshie yang menyilangkan tangan di dada, memandang tajam dengan ekspresi kita-belum-selesai.

Licht tertawa kecil. “Jangan buang-buang waktumu. Pergilah selagi ada kesempatan!”

Kael mengangguk cepat. “Akan kulakukan!” katanya, lalu berlari keluar panti asuhan, melambai ke arah mereka dan menghilang di belokan gang kecil yang menuju jalan utama.

Lisshie menatap punggung Kael yang makin jauh sambil menghela napas panjang. “Jangan terlalu memanjakannya, Licht…”

Licht berjalan di sampingnya, ikut memanggul keranjang. “Aku tidak memanjakannya. Tapi itu kesempatan dia untuk menggapai apa yang dia mau.”

Lisshie tersipu dan berpaling ke arah lain. “A-aku juga berpikir begitu…” gumamnya pelan, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, kamu bilang dulu ingin menjadi uskup, bukan?”

Licht mengangguk. “Iya.”

Lisshie melirik Licht dari sudut mata. “Tapi kenapa kamu tidak menetap di gereja aja?”

Licht menghela napas ringan, lalu terkekeh. “Aku tidak bisa berpisah dari rumah kita…”

...

Di kota Vilvath Barat.

Kael kini berjalan di antara kerumunan warga. Masih mengenakan kaos abu-abu terang Lace-Up yang sama seperti sebelumnya, dengan celana lusuh dan sepatu yang sudah mulai usang. Beberapa warga memandangnya dengan jijik dan penuh curiga. Ia menarik napas panjang, mencoba mengabaikan ejekan dan tatapan tajam itu.

Setelah keluar dari kerumunan, langkah Kael terhenti saat selembar koran terbawa angin dan jatuh tepat di depannya. Ia menunduk dan mengambilnya.

“Selamat pagi, kita bertemu lagi Kael!” terdengar suara lembut gadis yang tidak asing baginya.

Kael mendongak, dan di sana berdiri seorang gadis dengan rambut hitam lurus dan lembut berponi. Matanya merah mempesona. Ia berdiri dengan tubuh sedikit condong ke depan, satu tangan menahan lutut dan tangan lainnya menyibak rambut sambil tersenyum.

Wajah Kael langsung memerah. Ia buru-buru berdiri dan menyerahkan koran tersebut. “Selamat pagi, Azen!” sapanya gugup.

Azen mengenakan pakaian pengantar koran sederhana, namun tetap terlihat anggun di tubuhnya. Ia mengangguk kecil. “Kamu ingin menuju pelatihan?” tanyanya, matanya menatap Kael penuh perhatian.

Kael terbata-bata. “Y-iya… Aku—”

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Azen menggenggam tangannya erat dan matanya berbinar. “Aku juga akan pergi ke sana! Ayo kita pergi bersama!”

Kael tertegun beberapa detik, wajahnya makin memerah. “B-baiklah, ayo…” jawabnya pelan.

“Ayo kemari, tunggu aku di sini. Aku berganti pakaian dulu!” seru Azen ceria sambil menarik Kael ke depan toko koran tempat mereka bekerja. Jadwal bekerja kael bukan hari ini melainkan besok lusa saat hari sabtu.

More Chapters