Cherreads

One Justice

CatLov
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
2.2k
Views
Synopsis
Licht adalah remaja biasa yang tumbuh di sebuah panti asuhan kecil bersama teman-teman masa kecilnya. Tapi dunia tempat ia hidup bukan dunia yang sederhana—sihir, aturan ketat, dan kekuatan tersembunyi membentuk kehidupan setiap orang. Saat kenyataan mulai berubah dan konflik antar kelompok sihir mencuat ke permukaan, Licht dihadapkan pada pilihan yang akan mengubah jalannya hidup. One Justice adalah kisah tentang pencarian makna keadilan di dunia yang tidak selalu hitam dan putih. Dengan latar dunia yang gelap dan sistem yang tidak sempurna, Licht perlahan menyadari bahwa tidak semua kebaikan dihargai, dan tidak semua keburukan terlihat jelas.
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter -1 : Prolog

Di dunia ini, uang, status sosial, nafsu, dan kebohongan bertumpuk dan tersembunyi seperti mayat dalam peti berkarat. Dan di balik semuanya, berdiri satu Organisasi yang tak tergoyahkan—Pemerintahan Dunia. Sebuah organisasi yang lebih dari sekadar struktur birokrasi. Mereka adalah tangan tak terlihat yang mencengkeram tiap aspek kehidupan, dari istana yang berkilau hingga gang-gang kumuh di wilayah terlupakan.

Di batas barat Kerajaan Valdoria, di wilayah yang dikenal sebagai Vilvath, terdapat satu bagian yang tidak akan pernah tercantum dalam buku sejarah—Underground. Begitu para bangsawan menyebutnya, dengan nada jijik bercampur ketakutan. Sebuah tempat yang menjadi kuburan mimpi dan panggung keputusasaan, di mana geng dan organisasi liar tumbuh seperti jamur di dinding lembab.

Di balik rimbunnya hutan dan luasnya padang rumput yang mulai dilahap pembangunan, seorang pemuda berambut hitam acak-acakan duduk diam di bawah pohon tua yang rindang. Matanya biru seperti langit musim dingin, menatap kosong ke arah kejauhan, melewati bayangan pepohonan yang ditebang dan rumput yang merunduk tertiup angin.

Licht Audrey. Seorang anak panti asuhan, bukan siapa-siapa, hanyalah bagian kecil dari dunia yang tak mengenal belas kasih.

“Hei Licht, kamu tidak dengar?” Sebuah suara lembut namun tegas memecah lamunannya. Suara itu sudah begitu dikenalnya, hampir seperti denyut nadi kedua.

Licht mengedip pelan, tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah suara itu dan mendapati sosok gadis dengan rambut ungu sebahu dan mata coklat yang hangat menatapnya. Gaun abu-abu panjang yang ia kenakan tampak sederhana, ditutupi oleh cardigan biru pucat yang sedikit lusuh—pakaian yang mencerminkan kehidupannya di Underground.

“Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu,” gumam Licht, tatapannya masih samar namun kini tertuju padanya.

Gadis itu—Lisshie—berjalan mendekat dengan seikat kayu bakar di pelukannya, lalu duduk di samping Licht tanpa berkata apa pun untuk beberapa saat. Suasana menjadi tenang kembali, hanya ditemani suara burung dan desau angin.

“Aku rasa kamu akhir-akhir ini sering melamun,” ucap Lisshie kemudian. Suaranya tenang, namun mengandung sedikit kekhawatiran. “Ada yang mengganggumu?”

Licht menghela napas, matanya menatap langit yang sedikit berkabut, dari polusi industri. “Bukan apa-apa...” katanya perlahan.

Tapi tatapannya terhenti pada siluet jauh di selatan—kerajaan Valdoria. Bangunan megah, dinding putih keperakan, dan menara pemerintahan dunia yang menjulang tinggi seperti paku yang menusuk langit. Sebuah lambang kekuasaan... dan ketidakadilan.

“Lisshie...” Licht menoleh perlahan. “Aku ini siapa?”

Pupil Lisshie membesar. Ia menatap Licht sebentar, lalu bibirnya terangkat dalam senyum yang cerah. Ia mencubit pipi Licht dengan cepat. “Bicara apa kamu ini!”

Ia berdiri tegap dan menatap Licht dari atas, rambut ungunya berkilau terkena cahaya. “Kamu Licht Audrey... dan aku, Lisshie Audrey!”

Ia mengulurkan tangannya ke arah Licht.

Licht sempat diam sejenak, lalu tersenyum tipis. Ia menggenggam tangan Lisshie dan berdiri sambil mengangkat seikat kayu bakar.

“Ayo pulang.”

---

Underground

Gerbang yang memisahkan padang rumput dengan wilayah kumuh seperti mulut naga yang menganga. Begitu melangkah ke dalamnya, dunia berubah. Rumah-rumah yang terbuat dari logam bekas, bata tak sempurna, dan kayu lapuk berdiri rapuh di pinggir jalan. Asap tipis dari tungku darurat melayang di udara, bercampur dengan bau besi tua dan keringat manusia yang kehilangan harapan.

Di lorong-lorong gelap, anak-anak kurus duduk bersandar di dinding, mata mereka kosong. Beberapa orang dewasa tergeletak dengan botol pecah di tangan, dan di sudut-sudut tersembunyi, suara tawar-menawar gelap berlangsung tanpa henti.

“Licht...” Lisshie memanggil pelan, nyaris seperti bisikan. Mereka berjalan berdampingan, Licht memanggul dua ikatan kayu di punggungnya.

“Ada apa?” Licht menoleh, matanya menyapu sekitar, seperti selalu waspada.

“Aku sudah enam belas, dan kamu tujuh belas, kan?” Lisshie berkata dengan suara sedikit bergetar. “Aku pikir... menjual kayu bakar saja tidak cukup untuk membantu Ibu Marie menampung anak-anak.”

Licht menunduk. “Aku juga berpikir begitu. Tapi sulit mencari pekerjaan. Menjual kayu bakar saja sudah dapat lima Cresil...”

Cresil, mata uang umum di Valdoria. Pecahan terkecil dalam sistem ekonomi yang kejam. Di atasnya ada Drel, lalu Solmire—mata uang yang hanya disentuh oleh para bangsawan dan kaum berkuasa. Tapi bagi penghuni Underground, lima Cresil sudah cukup untuk membeli setangkup roti kering dan kacang polong.

“Kamu bisa jadi guru tata bahasa di gereja Goddess of Mist,” tambah Licht. “Ibu Marie kan sering mengajarkan kita.”

Panti asuhan tempat mereka tinggal bukan sekadar tempat tidur dan makan. Dipimpin oleh Suster Marie Audrey, seorang pengikut setia Goddess of Mist, mereka diajarkan nilai dan pendidikan yang tidak akan didapatkan di jalanan.

Lisshie tersenyum lebar. “Aku akan mencobanya nanti, hari Minggu.”

Licht menatapnya sejenak, lalu tersenyum.

“Itu bagus.”

Langkah kaki mereka menapaki jalanan becek dan licin yang membelah rumah-rumah kumuh khas Underground—wilayah termarjinalkan dari barat Valdoria. Udara dipenuhi aroma tanah basah, kayu lapuk, dan asap sisa pembakaran dari dapur-dapur tua.

Di ujung lorong sempit, berdirilah sebuah rumah kecil yang sudah bertahan puluhan tahun. Bangunannya tua, kayu-kayunya mulai menghitam dimakan waktu, namun masih kokoh. Tempat itu adalah rumah—rumah mereka. Panti Asuhan Audrey.

Licht menurunkan dua ikatan kayu bakar di sudut depan seperti biasa. Kayu itu akan mereka jual besok pagi. Sementara itu, Lisshie melangkah menuju pintu kayu yang berderit jika disentuh dan memutar gagangnya perlahan.

“Kami pulang…” ucap Lisshie, sedikit menengok ke dalam.

“Selamat datang.” Sebuah suara lembut membalas, disusul dengan senyuman hangat dari seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Rambut oranye keemasan tergerai lepas, sebagian mulai memudar dimakan usia. Meski wajahnya menunjukkan garis-garis halus kelelahan, kecantikannya tak luntur—karisma keibuannya terasa nyata.

Ia mengenakan long dress ungu tua yang terlihat lusuh, dengan apron lusuh yang tergantung di pinggangnya. Itu adalah Marie Audrey, kepala panti dan sosok ibu bagi mereka semua.

Sejak kecil, setiap anak yang dibesarkan olehnya diberi nama keluarga “Audrey”—bukan karena darah yang sama, tapi karena cinta dan perlindungan yang ia berikan tanpa pamrih.

Licht dan Lisshie menyambut senyum itu, mengangguk, dan masuk ke dalam rumah yang hangat meski sederhana. Dindingnya dari kayu tua, dan lantainya dipenuhi karpet tambalan, namun tempat itu punya satu hal yang tidak dimiliki rumah-rumah mewah: kehangatan.

Rumah itu cukup untuk menampung enam orang—Marie, Licht, Lisshie, Kael, dan dua anak lainnya.

“Lisshie, ayo bantu Ibu menyiapkan makan siang!” seru Marie dari dapur, nada suaranya tegas namun tetap mengandung kasih.

Lisshie mengangguk dan segera beranjak ke dapur.

Licht refleks hendak mengikuti, namun baru mengangkat kakinya satu langkah ketika Lisshie membalikkan badan dan mengangkat tangannya di udara seperti seorang penjaga.

“Berhenti. Bersihkan meja makan saja dan bawa piring-piring. Jangan sampai kamu mengacaukan dapur lagi seperti hari itu!”

Licht langsung menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya, malu sekaligus jengkel. Ia masih ingat insiden nasi gosong dan panci terbalik yang membuat Marie harus membersihkan dapur dua jam lebih lama dari biasanya.

Ia mendesah, lalu mulai membersihkan meja kayu panjang di ruang makan dan mengatur kursi satu per satu.

Beberapa menit kemudian, suara riuh kecil memecah kesunyian siang itu.

“Kami pulang!” seru dua suara yang lebih muda.

Licht menoleh dan melihat dua sosok memasuki ruangan—seorang anak laki-laki berusia sekitar sembilan tahun dengan rambut ikal hitam, dan seorang gadis berkacamata tebal berusia dua belas tahun dengan rambut cokelat lurus sebahu.

“Selamat datang, Minea, Ruvein.” Licht menyambut mereka sambil tetap mengelap meja.

“Aku bantu ya,” ujar Ruvein, mendekat sambil tersenyum lebar. Ia memang selalu bersemangat membantu meskipun usianya masih kecil.

Licht mengangguk, tapi pandangannya tertumbuk pada Minea yang terlihat lebih murung dari biasanya. Gadis itu memang pendiam, tapi kali ini ada sesuatu yang membuat ekspresinya berbeda—gelap, seakan ada sesuatu yang membebani pikirannya.

“Ada apa, Minea?” tanya Licht sambil terus mengamati gadis itu.

Minea menggeleng pelan. “Tidak apa-apa...” jawabnya singkat.

Licht mengernyit, tidak yakin. “Benarkah? Eh, di mana Kael?”

Minea tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Kael... katanya akan pulang terlambat.”

“Begitu...” Licht mengangguk pelan, lalu kembali pada pekerjaannya. “Cepat bersih-bersih, ya. Ibu sedang masak sup kacang polong.”

Minea mengangguk dan beranjak menuju kamar mandi.

Panti asuhan ini memang tak besar, tapi semua penghuninya berbagi tugas demi bertahan hidup. Hari ini, Licht dan Lisshie bertugas mengambil kayu bakar, sementara Kael, bersama Minea dan Ruvein, pergi ke pasar menjual kayu dan hasil kebun kecil mereka di barat Vilvath.

Licht melirik ke luar jendela, ke arah langit mendung. “Kemana perginya Kael…?” gumamnya pelan. Tapi ia tidak berpikir lebih jauh.

Di tempat seperti Underground, kekuatan adalah hal vital. Licht dan Kael terbiasa menghadapi berandalan dengan tangan kosong—belajar bertarung dari jalanan, mengamati gerakan mereka, meniru insting bertahan hidup dari pertarungan liar di lorong sempit. Karena itu, Licht yakin Kael bisa menjaga dirinya.