Cherreads

Chapter 10 - Chapter 10 - Si badut yang aneh

Markas cabang Kemiliteran Pemerintahan Dunia, Kota Vilvath Barat, Distrik Haumir

Pukul 22.00

Langit malam menyelimuti Kota Vilvath dengan kesunyian yang menusuk, tetapi di Distrik Haumir, kesunyian itu terkoyak oleh pesta kemenangan. Aula markas kemiliteran bergetar oleh suara sorak-sorai, denting gelas yang bersulang, dan dentuman musik militer klasik yang dilantunkan orkestra otomaton. Di bawah lampu gantung kristal, puluhan perwira dan tentara duduk dalam deretan kursi kayu panjang, merayakan keberhasilan mereka menekan tragedi yang terjadi di Underground, meski telah lewat beberapa hari.

Bagi banyak orang di ruangan itu, malam ini adalah malam kebanggaan. Namun tidak bagi Kael.

Ia duduk di kursi sisi ruangan, diam. Wajahnya tenggelam dalam bayangan gelas kopi yang mengepul pelan. Matanya tampak tak fokus, menatap ke satu titik di udara yang tak terlihat siapa pun kecuali dirinya sendiri.

“Apa yang kulakukan...?”

Pikirannya menggulung bagai kabut yang tak mau reda. Ia mencoba membenarkan dirinya, mencari pembenaran yang bisa meredakan denyut rasa bersalah yang mencabik dadanya.

"Tindakanku... ini... tidak salah, kan? Aku hanya... aku hanya..."

Tapi setiap kalimat yang ia coba bangun runtuh seperti menara kartu. Di balik kesunyian pikirannya, kenangan muncul satu per satu—Lisshie yang cerewet, Minea yang pendiam, Marie yang penuh kehangatan, dan Licht... dengan sorot matanya yang tajam dan tak mudah dibaca.

Semuanya... hilang.

Tepukan ringan di bahu membuatnya tersentak. Ia berpaling.

"Hei, ada apa, Kael?" tanya seorang pria paruh baya, berpakaian resmi dengan jaket militer warna biru kelam khas Vilvath. Kumis tipis dan jenggot halus menghiasi wajahnya yang bersahabat. Gelas besar penuh bir tergenggam di tangannya.

Kael tersenyum kecil, palsu. "Tidak... tidak apa-apa. Kopi ini... enak sekali, Pak."

Pria itu tertawa lepas. "Sayang sekali kau belum bisa menikmati bir kami! Tapi tenang..."—ia mengangkat gelasnya—"sebentar lagi kau juga bisa bergabung dalam tradisi ini."

Kael mengangguk sopan. "Saya menantikan itu."

Ia bangkit perlahan, menarik napas pelan untuk menahan keraguan yang menggerogoti pikirannya.

"Mau ke mana kau?" tanya pria itu dengan nada ringan.

Kael menoleh, masih dengan senyum kecil yang menutupi kerusakan dalam dirinya. "Perut saya... sedikit sakit. Saus sandwich-nya agak terlalu pedas, mungkin."

Pria itu tertawa sambil meminum birnya. "Dasar anak muda."

Kael meninggalkan aula. Suara tawa dan musik memudar di belakangnya, tergantikan oleh desing hening lorong markas yang panjang dan remang. Lampu-lampu tua yang menggantung di langit-langit bergetar pelan, berderak seperti napas dunia yang lelah.

Ia mempercepat langkahnya, seolah mencoba menjauh dari sesuatu—atau mungkin dari dirinya sendiri. Saat sampai di pertigaan koridor, ia belok ke kiri, menuju arah jam sembilan dari aula utama.

Toilet pria berdiri sunyi di ujung lorong. Ia mendorong pintu logamnya dan masuk.

Udara dalam ruangan itu dingin dan kering, berbau campuran disinfektan dan logam. Cermin besar memantulkan bayangan tubuhnya yang tampak lebih kurus daripada yang ia ingat. Ia membuka keran wastafel, membasuh wajahnya. Air dingin mengguyur kulitnya, namun tak cukup untuk meredakan gejolak di dalam dadanya.

Saat ia mendongak, menatap refleksi dirinya, napasnya tercekat.

Wajah-wajah itu kembali.

Marie. Minea. Licht.

Bayangan mereka muncul samar di belakang bahunya, bukan sebagai hantu, tapi sebagai luka. Luka yang tak bisa ia sembuhkan.

Suara bisikan itu mulai muncul, samar, tapi tajam.

“Kau pengkhianat.”

“Mereka mati karena kau.”

“Kau yang menyerahkan mereka.”

Kael gemetar. Tangan-tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Ia menunduk, memburu napas seperti orang yang tercekik udara kosong. Keringat dingin mengalir deras dari pelipis. Matanya melebar, seperti binatang liar yang terpojok—tak ada tempat melarikan diri, tak ada yang bisa menyelamatkannya.

Lalu ia tertawa kecil—sebuah tawa tanpa suara, hanya gerakan bibir yang membentuk senyum miring.

Bukan senyum kemenangan. Bukan senyum lega.

Senyum orang yang sedang jatuh... ke dalam jurang yang bahkan ia sendiri tak tahu seberapa dalamnya.

“I-INI... BUKAN SALAHKU!!” teriaknya dalam hati. Tapi ruangan itu, meskipun kosong, seakan ikut bergetar oleh desakan emosinya. Cermin tidak retak, tapi dunia dalam pantulannya seperti bergoyang.

Ia terdiam, hanya berdiri dalam keheningan, dikelilingi keramik putih dan cahaya neon lembut.

Sampai ia berbisik, lirih.

"I-ini… ini salah Licht..." lalu melanjutkan.”Y-ya…i-ini bukan salahku, ini salah licht, kenaifannya yang membuat semuanya hilang…..” Bisiknya lirih, meredakan perasaannya.

Tiga menit berlalu. Kael mencipratkan air ke wajahnya sekali lagi, berusaha menenangkan detak jantung yang masih liar. Ia menarik napas panjang dan perlahan melangkah keluar dari kamar mandi.

Seseorang berdiri di ambang pintu.

"Kael..."

Suaranya lembut namun penuh nada khawatir. Kael mendongak.

"Azen?" gumamnya, sedikit terkejut, lalu segera menghapus ekspresi kelamnya. "Ada apa?"

Azen menggembungkan pipinya. "Yang seharusnya bertanya itu aku!" gerutunya, memalingkan wajah, kedua tangan bersilang di dada. Sebuah gestur kekanak-kanakan yang justru terasa hangat dalam situasi dingin seperti ini.

Kael menghela napas. "Maaf... Aku belum terbiasa dengan suasana seperti ini."

Azen tak menjawab, hanya menggenggam tangan Kael dengan pelan.

"Kamu masih memikirkannya, ya?" tanyanya pelan, penuh pengertian.

Kael tertegun, sempat ingin menepis, namun pada akhirnya hanya menggeleng pelan. Ada sesuatu dalam genggaman Azen yang membuat pikirannya sedikit lebih tenang, meski untuk sesaat.

"...B-baiklah. Aku masih memikirkannya, namun sekarang sudah sedikit terbiasa.,"Jawabnya jujur setengah gelisah. lalu menambahkan.”Terima kasih.” Kael tersenyum melirik azen.

Azen mengangguk, dan berkata.”Ayo…kapten memanggil kita” Ajak azen, tersenyum. Kael mengangguk.

Mereka berjalan berdampingan, meninggalkan lorong sunyi itu. Suara pesta di kejauhan mulai terdengar kembali—sebagai pengingat bahwa dunia di luar sana terus bergerak... meski jiwa seseorang bisa saja tertinggal di satu tempat.

….

Kota Vilvath Barat, Pukul 12 Malam

Langit di atas Kota Vilvath barat bergelayut kelam. Lampu-lampu jalan yang redup menyorot trotoar retak dan bangunan tua dengan tembok mengelupas. Bau logam lembap dan angin dingin malam menciptakan atmosfer yang asing—tenang, namun menyimpan ketegangan samar. Di tengah kesunyian itu, dua sosok melangkah menyusuri lorong kota: Licht dan Ren Isoiji.

Mereka tengah menuju tempat tinggal Ren—sebuah bangunan tua dan tak berpenghuni, tempat di mana ia bermukim secara ilegal dan menjadi saksi pertemuan awal mereka. Namun, belum sampai di tujuan, Licht menghentikan langkahnya sejenak. Sebuah desiran rasa asing menyentuh kulit belakang lehernya, seperti tatapan yang menembus bayang-bayang malam.

“Ada yang mengikuti kami…” pikir Licht. Instingnya, yang kini semakin tajam akibat kontrak descent, berteriak halus.

Sebelum ia sempat memperingatkan Ren, pria berambut pirang kecoklatan itu justru sudah mengambil biolanya dari tas, lalu tanpa ragu menggesek busur biola ke senarnya. Terciptalah gelombang sihir berupa angin tajam yang menyapu gang sempit di belakang mereka, menyayat udara malam.

“Dia juga merasakannya? Mengagumkan…” Licht menoleh pada Ren, sedikit kagum.

Tak lama setelah serangan itu menghantam tembok dan meninggalkan retakan, sosok asing muncul dari balik kegelapan. Seorang pria tinggi dengan setelan tuksedo rapi, wajahnya dicat seperti badut—senyum merah menyeringai di tengah riasan putih, menatap mereka lurus-lurus.

Jantung Licht berdegup. “Siapa dia…? Lioren? Atau lebih buruk…sinner?”

Ren yang berdiri satu langkah lebih maju dari Licht, memandangi pria itu dengan tajam. “Siapa kau?” tanyanya dingin.

Senyum di wajah si badut tak berubah. Ia berjalan perlahan mendekati mereka, gerak tubuhnya aneh—seolah-olah meniru panggung sirkus yang hilang arah. Licht segera mengencangkan posturnya, siap bertarung meskipun kekuatannya saat ini hanya sebatas fisik biasa.

Tiga meter dari mereka, si badut berhenti. “Izinkan aku bergabung denganmu,” ucapnya, nada suaranya datar namun senyumnya tetap mengembang.

Licht mengernyit. “Apa dia mengikuti kami sejak tadi...? Mendengar percakapan kami?” Ia melirik Ren, kemudian kembali menatap pria aneh itu.

“Apa maksudmu?” tanya Ren, kini penuh curiga.

“Organisasimu,” jawab pria itu santai, “Izinkan aku bergabung.”

Licht memperhatikan postur tubuhnya. Tegap, tidak menunjukkan agresi, namun terlalu tenang. Terlalu mudah untuk dilepaskan begitu saja.

“Siapa namamu?” tanya Licht.

“Theodore,” jawabnya singkat.

“Theodore?” gumam Licht pelan. “Siapa kau sebenarnya?”

Pria itu menggeleng pelan, seperti seseorang yang tak tahu arah pulang.

“Apa maksudnya? Dia… tidak tahu siapa dirinya sendiri?” Licht merasa ada sesuatu yang salah, namun pada saat yang sama, ia tidak merasakan niat membunuh atau bahaya dari pria itu.

Ren tampak tidak puas dengan jawaban yang kosong itu. Ia kembali menggesek busur ke biolanya, menciptakan semburan sihir angin yang mengarah ke Theodore. Tapi pria bertopeng badut itu melompat ke samping dengan keluwesan aneh—seperti boneka sirkus yang hidup.

“Dia bisa menghindar?” pikir Ren.

Namun sebelum Ren melancarkan serangan lagi, Licht menahan lengannya. “Jangan mulai pertarungan yang tidak menguntungkan,” ucapnya datar.

Ren menghela napas, menurunkan biolanya.

“Apa kau seorang Lioren?” tanya Licht, mencoba menyingkap lebih dalam.

“Tidak. Aku Sinner,” jawab Theodore.

Kata-kata itu menggantung di udara. Seorang pengguna sihir tanpa afiliasi. Tidak terdaftar. Tidak terkendali. Dalam sistem dunia yang dikendalikan penuh oleh Pemerintahan Dunia dan Gereja, status seorang Sinner setara ancaman. Namun Licht tahu, ia juga seorang Sinner. Dan dunia mereka adalah abu-abu.

“Haruskah aku menerimanya? Jika dia mata-mata, aku akan menanggung Konsekuensinya. Tapi jika dia berguna…” Licht berpikir keras.

“Aku tidak akan mengecewakanmu,” kata Theodore tiba-tiba, seakan membaca pikirannya. Mata abu-abunya tak berkedip menatap Licht.

“Apa dia bisa membaca ekspresi?”

Licht akhirnya bersuara. “Hapus make up badutmu.”

Theodore mengangguk. Ia mengeluarkan kain lap dari sakunya, kemudian menciptakan percikan sihir air di telapak tangannya. Sebuah kemampuan minor, namun menunjukkan penguasaan dasar. Ia perlahan menghapus riasan putih dan garis senyum mengerikan di wajahnya, hingga yang tersisa adalah wajah asli seorang pria muda berusia sekitar dua puluhan—berambut hitam, bermata abu-abu lelah dengan lingkaran merah di bawah matanya.

“Kenapa kau bisa mengetahuinya?” tanya Licht, waspada.

“Aku… tidak sengaja mendengarkan obrolan kalian,” jawab Theodore ringan.

“Mendengarkan kami sejak awal…” Licht menghela napas.

“Apa kau bisa berguna?” tanya Licht akhirnya.

“Ya,” jawab Theodore tanpa ragu.

Licht mengangguk. “Baiklah, lalu apa alasanmu ingin bergabung?.” tanya licht.

“Aku tertarik dengan apa yang kalian katakan tentang….kebenaran, kebebasan dan keadilan.” Jawabnya, santai. Melirik licht dan ren.

Licht terdiam sesaat. Lalu menghela nafas.”Baiklah..kau boleh bergabung.” Ungkapnya, meski menyimpan keraguan.

Ren sontak menoleh tajam. “Apa maksudmu, Lyrss?!” serunya, tak percaya.

“Kita butuh anggota, bukan?” jawab Licht tenang.

“Tapi dia mencurigakan!”

Licht menepuk pundak Ren. “Y-yah… dia bilang akan berguna!”

Ren mendengus. “Jika kau mengkhianati kami, aku akan membunuhmu,” ancamnya dingin.

“Hei hei…kau seorang pembunuh ulung?” gumam Licht. Melirik ren geli.

Theodore hanya tersenyum. “Tidak akan,” jawabnya.

Licht tersenyum santai. “Baiklah. Karena sekarang kita bertiga, ayo kita mulai menyusun rencana.”

Theodore mengangguk. Ren menghela napas berat, namun akhirnya mengikuti mereka. Tiga sosok itu pun melanjutkan perjalanan menyusuri kota, menuju tempat tinggal Ren—sebuah bangunan tua yang kelak akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

More Chapters