Embun pagi menyelimuti kaki Gunung Angket dengan lembut. Kabut tipis menggantung di udara, membawa aroma pinus dan tanah basah yang menenangkan. Di puncaknya, sebuah rumah kayu sederhana berdiri tenang. Di depan rumah itu, Edwin duduk bersila di atas batu datar, tubuhnya dikelilingi oleh cahaya biru kehijauan yang berdenyut pelan.
Sudah tiga tahun sejak ia memutuskan mengasingkan diri. Dunia luar terus berputar: faksi-faksi bersaing, perang kecil meletus di perbatasan, dan aura konspirasi perlahan mengarah pada istana Aurathar. Namun di puncak Gunung Angket, Edwin menjalani hidup dalam keheningan, sepenuhnya tenggelam dalam latihan dan kontemplasi.
Dalam meditasinya, ia merasakan energi spiritual yang mengalir di dalam tanah, udara, bahkan cahaya matahari yang menembus kabut. Namun hari ini terasa berbeda. Alam seperti menahan napas.
Tiba-tiba, langit bergemuruh. Awan hitam membentuk pusaran di atas gunung. Petir biru menyambar di antara kabut, membelah langit dan bumi. Aura tekanan yang luar biasa turun, membuat makhluk-makhluk roh di sekitar pegunungan lari ketakutan.
Edwin membuka matanya. Cahaya biru di sekitarnya langsung menghilang, digantikan oleh kilatan perak tajam di matanya. "Akhirnya... waktunya datang juga."
Ia berdiri. Langkahnya ringan, tapi setiap gerakannya membawa kekuatan dan keagungan. Di tangannya, sebuah gulungan tua terbuka, memperlihatkan diagram kuno dari Formasi Langit Keabadian, teknik pelindung leluhur yang hanya bisa diaktifkan ketika seseorang telah mencapai Langkah Ketujuh Kultivasi Roh Mutlak—sebuah tingkat yang bahkan belum pernah dicapai oleh kaisar sekalipun.
Edwin mengangkat tangannya, membentuk segel rumit di udara. Awan hitam langsung menyusut, seolah terhisap ke dalam formasi yang terbentuk di atas rumah kayunya. Formasi itu berputar, mengeluarkan suara seperti dentuman genderang surgawi.
Namun saat formasi itu hampir selesai, sosok berjubah hitam muncul di kejauhan. Ia melayang, tak menyentuh tanah, dengan aura gelap yang menelan cahaya di sekitarnya.
"Jadi ini warisan yang disembunyikan keluarga Aurathar selama ini…" gumam sosok itu. "Tidak kusangka pangeran malas itu ternyata pewaris sejati Formasi Langit Keabadian."
Edwin memutar tubuhnya perlahan. "Kau dari Sekte Malam Kelam."
"Benar. Dan aku datang untuk menghentikanmu."
Tanpa kata lebih lanjut, keduanya bergerak. Langit bergetar, tanah retak, dan udara bergemuruh ketika dua kekuatan raksasa bertabrakan. Serangan demi serangan diluncurkan—cahaya dan kegelapan, harmoni dan kekacauan.
Namun, berbeda dari sebelumnya, Edwin tidak lagi menahan diri.
Ia mengaktifkan Jurus Keempat dari Teknik Bayangan Abadi: Jejak Hening di Atas Awan, membuatnya lenyap dari pandangan dan muncul tepat di belakang musuhnya. Sebelum sosok itu bisa bereaksi, Edwin menekankan telapak tangannya ke punggungnya dan mengaktifkan Segel Penahanan Roh, menjebak musuh di dalam formasi kecil.
"Aku tidak membunuhmu hari ini, tapi bawa pesan ini pada sektemu—Aurathar tidak lagi lemah. Dan aku akan turun gunung segera."
Setelah mengucapkan itu, ia melepaskan musuh yang langsung melarikan diri dalam kepanikan. Awan kembali cerah, dan angin kembali bertiup lembut.
Namun, jauh di barat, di balik dinding hitam Kekaisaran Nerzath, sekumpulan tetua berselimut jubah ungu mulai bergerak. Mata mereka menyala, dan nama Edwin Aurathar mulai dibicarakan di ruang-ruang gelap yang selama ini hanya mengenal kekuasaan dan pengkhianatan.
Edwin menatap langit. Pikirannya kembali pada keluarganya—ayah, ibu, Arga, Tessa, bahkan Lina.
"Waktunya pulang…"