Cherreads

Chapter 1 - displacement

07:13 pagi.

Apartemen Nomor 13, Lantai 2, Kota Seraphine.

Udara pagi menyelinap melalui celah jendela yang tak tertutup rapat, membawa dingin yang menusuk tulang dan aroma asap knalpot dari jalanan di bawah sana. Matahari masih enggan memancarkan hangatnya, tertutup awan kelabu yang menggantung rendah di langit kota.

Di dalam apartemen sempit itu, kesunyian menggema. Lantai kayunya berderit samar setiap kali angin membuat pintu lemari bergoyang ringan. Sepasang sepatu kulit usang tergeletak miring di dekat pintu masuk, seperti baru saja dilepas dalam keadaan tergesa. Cahaya pucat dari luar tak mampu mengusir bayang-bayang yang menguasai ruangan.

Dapur berada dalam keadaan menyedihkan. Wajan dengan kerak minyak gosong masih bertengger di atas kompor, belum dipindahkan sejak entah kapan. Bau anyir minyak basi bercampur dengan aroma sisa makanan yang membusuk, menciptakan atmosfer pengap yang menyelimuti ruang kecil itu. Wastafel nyaris tumpah oleh tumpukan piring dan gelas kotor, seolah waktu terhenti bersamaan dengan semangat hidup si pemilik tempat.

Pintu kamar hanya terbuka setengah, memperlihatkan sekilas kekacauan di dalamnya—lantai yang tertutup buku, lembaran catatan berserakan, pakaian bertumpuk tak beraturan di sudut ruangan, dan di tengah semuanya, sebuah kasur tipis menjadi satu-satunya tempat yang tampak seperti tempat berlindung.

Di atasnya, seorang pria muda terbujur kaku. Rambutnya berantakan, napasnya berat dan dalam, seperti seseorang yang telah berjalan ribuan kilometer tanpa henti. Matanya tertutup rapat, namun alisnya mengerut. Tidurnya bukan ketenangan, melainkan pelarian—pelarian dari dunia yang tak memberi ruang untuk bernapas.

"Setiap hari... pagi, siang, malam... kerja tanpa jeda. Waktu tidur Cuma tiga jam. Libur pun tak pernah diizinkan. Kalau begini terus, aku..."

Kalimatnya tertahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya menolak.

"Kenapa... aku tidak bergerak bisa bergerak...?"

Panik perlahan menyusup. Dia mencoba mengangkat lengannya—gagal. Mencoba menggerakkan kaki—tak ada hasil. Seluruh tubuhnya seperti dibebani oleh sesuatu yang tak terlihat, seolah gravitasi meningkat sepuluh kali lipat hanya untuknya.

Dan tiba-tiba—

Tangisan.

Melengking. Tajam. Menembus telinga dan kesadaran.

"Tangisan...? Itu suara bayi?"

Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya seolah terpaku. Suara tangis itu semakin keras, menggema di kepalanya seperti gema di dalam gua kosong.

"Mataku... kenapa tidak bisa kubuka? Apa yang terjadi padaku!?"

Sedikit demi sedikit, cahaya merembes masuk ke dalam kegelapan. Pupil matanya perlahan membuka, bukan karena kemauannya, melainkan seperti didorong oleh kekuatan luar. Cahaya hangat namun menyilaukan menyambut pandangannya.

Bayangan kabur mendekat.

"Ssst… tenang, Arius. Jangan menangis, Nak."

Suara itu lembut, hangat, menenangkan… dan asing. Namun entah mengapa terasa menggetarkan hati. Kesadaran pria itu seolah ditarik dari dasar lautan mimpi, menapaki kenyataan yang ganjil.

"Siapa dia…? Apa yang terjadi…? Dimana aku"

Ruangan di sekelilingnya tak seperti apartemen sebelumnya. Cahaya lentera yang menggantung dari langit-langit jerami memancarkan cahaya jingga keemasan. Dinding-dinding kayu berwarna tua dipenuhi ukiran pola kuno yang tampak dibuat dengan penuh ketelitian. Aroma kayu hangus dan dedaunan kering memenuhi udara, membawa atmosfer dunia yang berbeda—lebih tenang, lebih primitif… lebih nyata.

Ia menggeliat. Tubuhnya terasa aneh. Pendek. Lemah. Ringan. Ia mencoba mengangkat tangan—yang terangkat malah tangan kecil, dengan jari mungil dan kulit lembut.

"T-tangan ini… kaki ini… tubuh bayi…?"

"Kenapa aku bisa ada disini"

Panik berubah menjadi kekacauan total. Ini bukan tubuhnya. Bukan tempatnya. Bukan… hidupnya.

"Sudah… sudah… jangan menangis lagi, mari sini ibu gendong" ucap wanita itu, menggendong tubuh kecilnya dengan perlahan.

"i ibu"

Teriak pria itu dari dalam pikiran nya

"Ibuku seharusnya sudah tiada. Terus dia siapa?"

Ia diangkat dari tempat tidur. Tubuh mungilnya dibalut kain lembut, dan pelan-pelan ia digendong keluar kamar.

Dari pintu, ia melihat lebih banyak ruangan bergaya kuno—rak-rak berisi botol kaca, bunga kering, dan buku berjilid kulit yang menguning. Suara burung dari luar terdengar merdu, dan angin segar membawa aroma tanah basah dan bunga liar.

"I-ini... bukan kota Seraphine. Desa...? Kenapa aku bisa berada di sini...? Bukankah tadi aku hanya sedang tidur?"

Jantungnya berdegup kencang. Ia panik—seperti seseorang yang terlempar ke tengah hutan asing tanpa arah dan tanpa kompas. Matanya menyisir setiap sudut ruangan tempat ia terbangun.

Ruangan tua dari kayu, dengan aroma tanah dan debu yang samar. Lentera gantung menggantikan lampu modern, memancarkan cahaya kuning redup yang mengayun pelan ditiup angin. Di dinding, pedang-pedang tua menggantung berjajar, seolah menunggu tangan pemiliknya kembali. Sebuah perapian batu berdiri sunyi, kayu-kayu kering tersusun rapi namun belum dibakar.

Dari jendela kecil, ia melihat dunia luar—padang rumput luas membentang, berkilau oleh embun pagi. Segalanya tampak asing, tapi terlalu nyata untuk disebut mimpi.

"Ini bukan mimpi, bukan ilusi..."

Pertanyaan dan spekulasi menumpuk di dalam kepalanya. Ia merasa seolah sedang membaca halaman awal dari novel fantasi yang sering ia baca.

"Reinkarnasi...? Tapi bukannya harus mati dulu, atau dipanggil oleh sesuatu? Bahkan kalaupun begitu, biasanya orang tetap dalam tubuh aslinya... Tapi aku... bayi? Aku bahkan masih sehat sebelumnya. Aku belum mati, kan?"

Pertanyaan itu tak berhenti bergulir di benaknya, menghantamnya satu per satu. Tapi tak ada jawaban, tak ada kepastian. Ia hanya bisa mencoba menerima satu-satunya hal yang tampak masuk akal—bahwa ia benar-benar telah berpindah ke dunia lain.

Suara lembut membuyarkan lamunannya.

"Ayo kita keluar, Arius."

Seorang wanita tersenyum padanya, lembut dan hangat. Ia menggendong tubuh kecilnya dengan penuh kasih sayang—wanita ini mengaku sebagai ibunya, dan entah mengapa, pelukannya terasa begitu damai.

Mereka keluar melewati pintu kayu yang berat. Udara pagi menyambut dengan kesejukan khas alam yang belum terjamah teknologi. Pagar kayu sederhana mengelilingi halaman rumah. Beberapa papan sudah miring, dimakan waktu.

Rumput hijau bergoyang pelan diterpa angin. Daun-daun pohon berjatuhan lembut. Dan di langit, makhluk bersayap aneh beterbangan bebas, menari-nari di antara awan—makhluk yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Wahh... hebat... ini sungguh nyata..."

Matanya membelalak. Segala kekhawatiran tadi perlahan berganti menjadi kekaguman yang sulit ditahan.

"Duniaku tak pernah punya makhluk seperti itu. Ini... ini bukan tempat yang sama."

Paniknya mereda. Pikirannya mulai jernih. Ia bisa berpikir—dan untuk sesaat, bahkan merasa lega.

"Kalau aku benar-benar bereinkarnasi, mungkin ini bukan hal buruk. Tak perlu kerja lagi. Mungkin... aku bisa hidup damai di sini."

Wanita itu kembali berbicara dengan suara selembut embun pagi.

"Ayo, Arius, kita jalan-jalan sebentar."

Mereka melangkah menyusuri jalan tanah yang disusun rapi. Bebatuan kecil berjajar di pinggir jalan, membentuk pola tak beraturan. Rumah-rumah dari bata berlumut berdiri rapi, seolah menyambutnya ke dunia yang baru. Di kejauhan, bukit menghijau menyimpan peternakan kecil yang terlihat damai.

Angin menerpa wajahnya pelan, membawa aroma rerumputan basah. Suara anak-anak tertawa samar dari kejauhan. Dunia ini terasa... hidup.

Matanya mulai berat. Irama langkah lembut wanita itu, ayunan pelukannya yang hangat, membuat kelopak matanya perlahan menutup. Ia bersandar di bahu sang ibu—nyaman, seolah telah tinggal di sana sejak lama.

"Arius...? Kamu tertidur rupanya," ucap sang ibu sambil tersenyum. "Kalau begitu, ayo kita pulang."

Sesampainya di rumah, tubuh kecilnya dibaringkan perlahan ke dalam ranjang kayu kecil yang dibatasi pagar berongga. Lentera di sudut ruangan memancarkan cahaya terakhirnya, perlahan redup, menyisakan kehangatan.

Wanita itu menatap wajah mungil anaknya, lalu membelai rambutnya dengan lembut.

"Selamat tidur, Arius kecilku."

Ia mencium keningnya sebelum memadamkan cahaya. Malam pun turun perlahan, dan dalam keheningan,Di ikuti suara serangga kecil

More Chapters