Cherreads

Chapter 2 - Terpanggilnya Para Pahlawan

Seratus tahun terasa seperti detik yang berlalu lambat bagi makhluk abadi, namun bagi alam semesta yang terus membusuk dalam bayang-bayang kehancuran, itu adalah waktu yang terlalu singkat untuk memperbaiki segalanya. Pelangi Semesta yang dulu bersinar kini menjadi hitam pekat, memancarkan aura yang menarik kekosongan dan mempercepat keruntuhan realitas.

Di Istana Zenithium, Narea De Albaharah duduk termenung di atas singgasana, jubahnya yang panjang berkilau samar di bawah cahaya kristal yang semakin redup. Di depannya, Zelsreth De Zalxeltar berdiri tegak, matanya mengarah lurus ke langit yang retak.

"Pelangi itu... semakin gelap," bisik Narea, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.

Zelsreth mengangguk pelan. "Kita kehabisan waktu. Leonoir pasti sudah bersiap."

Mereka tahu satu-satunya harapan adalah memanggil pahlawan dari Multiverse 000000001 — multiverse pertama yang, ironisnya, adalah yang paling lemah. Sebuah dunia yang mirip dengan zaman modern manusia, tanpa sihir, tanpa kekuatan supernatural.

Namun, itu adalah satu-satunya pilihan mereka.

----

Di puncak Menara Astralis, Grand Magus Sylveria memimpin ritual pemanggilan. Cahaya berpendar dari lingkaran sihir kuno, mantranya bergema hingga ke lapisan dimensi terdalam. Para penyihir lainnya mulai kelelahan, tetapi mereka terus memaksa diri, mengalirkan energi terakhir mereka untuk membuka celah antardimensi.

"Datanglah... kalian yang telah ditakdirkan..." gumam Sylveria, napasnya tersengal.

Celah realitas pun terbuka, dan satu per satu, tujuh sosok manusia muncul, terjatuh ke lantai batu dengan tubuh gemetar. Mereka mengenakan pakaian modern yang compang-camping akibat distorsi dimensi — celana jeans, hoodie, bahkan sepatu olahraga.

Mereka adalah:

Liv Azjerven — Mahasiswa teknik sipil yang belum pernah memegang pedang seumur hidupnya, Dia Sangat naif

Valzen Albertecia — Programmer yang lebih ahli dalam kode daripada mantra.

Shinamiya Alicia — Atlet panahan, satu-satunya yang sedikit familier dengan senjata.

Nalkea Zamradth — Seorang dokter muda yang terbiasa menyelamatkan nyawa, bukan mengambilnya.

Fischl Lierveraza — Gadis introvert yang kecanduan game RPG, tapi tak pernah berkelahi sungguhan.

Nine Zithelxia — Anak jalanan yang cepat dan lincah, tapi lemah secara fisik.

Velzinia Supernova — Seorang pelajar yang tampak biasa... namun menyimpan sesuatu yang bahkan tidak bisa dipahami

Begitu mereka tiba, mereka langsung panik.

Liv memegang kepalanya, matanya berputar. "Dimana ini?! Apa aku mati?! Kenapa langit ungu?!"

Valzen mundur sambil gemetar. "Ini pasti mimpi... Aku tadi baru selesai debug program, tiba-tiba ada cahaya..."

Sylveria jatuh berlutut karena kelelahan, sementara Zelsreth melangkah maju, mengamati mereka satu per satu.

"Mereka... bahkan lebih lemah dari yang kukira," gumamnya, wajahnya suram.

---

Para pahlawan baru ini sama sekali tidak siap menghadapi Multiverse ini. Mereka tidak bisa mengangkat pedang, apalagi mengayunkannya dengan benar. Shinamiya Alicia mencoba menarik busur, tetapi talinya terlalu keras. Liv terjatuh hanya karena mencoba memakai zirah.

Ketika Nalkea diminta menggunakan tongkat sihir, dia malah memperlakukan itu seperti alat pemeriksaan pasien.

"Ini... tongkat tes kesehatan atau apa?" tanyanya bingung.

Velzinia duduk termenung, memikirkan dia ingin kemana, Dia Pahlawan paling tenang setelah dipanggil tetapi pikirannya tidak bisa dipahami, sementara yang lain semakin frustrasi. Valzen mencoba memahami mantra dasar, tetapi konsep sihir membuatnya pusing.

"Aku lebih pilih nulis kode Python daripada baca gulungan mantra ini," keluhnya, menjatuhkan gulungan itu ke tanah.

Zelsreth memandang mereka dengan tatapan kosong. Dalam benaknya, mereka bukanlah pahlawan, melainkan beban. Tetapi waktu terus berjalan, dan mereka tidak punya pilihan lain.

"Mulai dari dasar," ucapnya akhirnya. "Kalau kalian tidak bisa bertarung, maka kita akan ajarkan kalian... bahkan jika itu memakan waktu puluhan tahun."

Dan begitulah mereka memulai dari nol. Liv belajar memegang pedang dengan benar tanpa melukai dirinya sendiri. Alicia menghabiskan berjam-jam untuk melatih kekuatan tarikannya. Valzen mencoba memahami teori sihir paling dasar, sementara Nalkea mulai belajar menggunakan kekuatan penyembuhan melalui energi murni.

Mereka lemah. Sangat lemah. Tetapi semangat mereka perlahan menyala. Mereka tahu mereka tidak punya pilihan selain menjadi lebih kuat — atau menyaksikan semesta ini hancur tanpa bisa berbuat apa-apa.

-----

Di kedalaman Apocalypse Dungeon, tempat yang bahkan konsep ruang dan waktu terkoyak oleh kehadiran sang penguasa, Leonoir Azmaveth duduk di atas takhta yang terbuat dari tulang belulang para dewa yang pernah mencoba melawannya. Aura gelap melingkari tubuhnya seperti kabut yang menggerogoti realitas, dan setiap tarikan napasnya menciptakan celah-celah kehampaan yang melahap apa saja di sekitarnya.

Di depannya, berlutut makhluk-makhluk mengerikan yang pernah menjadi penguasa dunia lain — sekarang hanyalah budak kehancuran.

Leonoir menyandarkan kepalanya di tangan, matanya bersinar merah keunguan. Tatapan kosongnya menembus dimensi, mengamati Menara Astralis dan ketujuh pahlawan lemah yang baru saja dipanggil.

Dia tertawa pelan. Suaranya bergema, memekakkan telinga seluruh dungeon.

"Inikah... pahlawan pilihan mereka?" bisiknya, suaranya mengalir seperti racun yang merayapi alam semesta.

Seekor makhluk mengerikan merangkak ke arahnya — sosok yang dulunya adalah Tyrvel, Dewa Perang Kekacauan, sekarang hanya menjadi bayangan dari dirinya sendiri.

"Yang Mulia Leonoir, apakah perlu kami habisi mereka sekarang?"

Leonoir tersenyum tipis, jari-jarinya mengetuk-ngetuk sandaran takhta.

"Tidak perlu terburu-buru... Biarkan mereka bertumbuh sedikit. Aku ingin melihat mereka berjuang... merangkak... lalu tenggelam dalam keputusasaan."

Dia berdiri perlahan, jubah hitamnya berdesir seperti kabut malam yang menyelimuti dunia.

"Namun... kita tidak bisa membiarkan mereka merasa aman."

Leonoir mengangkat tangannya, dan dari bayang-bayangnya muncul sosok lain — Ezreth, Malaikat Kehancuran, salah satu dari Empat Utusan Apokaliptik yang melayani langsung di bawahnya.

Ezreth membungkuk hormat, sayapnya yang robek meneteskan darah hitam yang menguap begitu menyentuh lantai.

"Apa yang kau perintahkan, Yang Mulia?"

Leonoir menghela napas pelan, seolah bosan dengan betapa mudahnya semua ini akan berakhir.

"Kirim mereka... kirim satu pasukan kecil. Cukup untuk membuat mereka merasa mati rasa, tetapi jangan bunuh semuanya. Biarkan satu atau dua tetap hidup untuk menyaksikan sisanya musnah."

Ezreth tersenyum bengis, lalu menghilang menjadi serpihan bayangan.

Leonoir menatap kembali ke arah pelangi yang hitam pekat di langit semesta.

"Aku ingin tahu... sampai seberapa jauh kalian bisa berjuang... sebelum aku menghabisi segalanya?"

---

Di Benteng Lumeria, tempat para pahlawan dilatih dengan sisa-sisa kekuatan yang mereka miliki, Zelsreth terus melatih mereka tanpa ampun. Mereka tidak diberi waktu untuk beristirahat, bahkan ketika tangan mereka berdarah atau tubuh mereka gemetar kelelahan.

Liv Azjerven terjatuh ke tanah, napasnya memburu. Pedang tumpul yang dia pegang terlepas dari tangannya.

"Berdiri," ujar Zelsreth dingin, tanpa sedikit pun rasa kasihan. "Musuhmu tidak akan menunggu."

Valzen merintih, meremas bahunya yang memar. "Apa ini nggak keterlaluan? Kita bahkan belum tahu cara bertarung beneran..."

"Keterlaluan?" Zelsreth mendekat, menatap mereka satu per satu dengan tatapan tajamnya. "Kalau kalian pikir ini keterlaluan, tunggu sampai kalian bertemu Leonoir. Saat itu kalian akan berdoa agar bisa mati lebih cepat."

Namun, sebelum mereka bisa berdiri lagi, langit tiba-tiba bergetar.

Awan gelap berputar liar, dan di cakrawala muncul gerombolan makhluk hitam seperti siluet yang robek dari realitas itu sendiri. Mereka tidak memiliki wajah — hanya sosok-sosok mengerikan dengan tubuh menyerupai manusia, tetapi dipenuhi duri dan retakan dimensi di kulitnya.

"Astaga... itu apa?" bisik Nalkea, mundur ketakutan.

Zelsreth langsung menghunus pedangnya.

"Mereka mengirim pasukan lebih cepat dari yang kuduga...! Ini bukan latihan lagi. Ini adalah medan perang."

Fischl bersembunyi di balik reruntuhan, tubuhnya gemetar ketakutan. "Kita... kita bakal mati..."

"Kalau kalian tidak melawan, ya kalian pasti mati!" teriak Zelsreth, langsung melesat ke depan untuk menahan serangan pertama.

Namun, para pahlawan baru itu masih terlalu lemah.

Mereka mencoba melawan, tapi pukulan mereka terlalu lambat. Mantra mereka gagal diucapkan dengan benar. Pedang mereka jatuh sebelum bisa melukai musuh. Satu per satu, mereka mulai tersungkur. Alicia hampir kehilangan lengannya, sementara Nine terlempar ke dinding dan pingsan seketika.

Liv, meski ketakutan, berusaha berdiri lagi.

"A-aku tidak mau mati di sini...!" teriaknya, mengangkat pedangnya dengan tangan gemetar.

Namun, sebelum dia bisa bergerak, salah satu makhluk itu menghantamnya dengan keras, membuatnya terpelanting dan tak sadarkan diri.

---

Ketika pertarungan berakhir, Zelsreth berdiri berlumuran darah. Sebagian besar makhluk itu sudah dimusnahkan olehnya — tetapi para pahlawan terkapar tidak berdaya di tanah.

Nalkea sekarat, berjuang untuk menghirup napas. Fischl tidak berhenti menangis. Valzen gemetar, melihat tangannya yang penuh darah teman-temannya sendiri.

Zelsreth menghela napas berat, menggertakkan giginya.

"Kalian... terlalu lemah," desisnya. "Bahkan menghadapi pasukan tingkat rendah saja kalian hampir mati semua?"

Langit tetap gelap, dan aura Leonoir terasa semakin dekat. Ini baru serangan awal — sebuah peringatan bahwa waktu mereka hampir habis.

Liv membuka matanya perlahan, matanya berkaca-kaca.

"Apa... kami benar-benar bisa melindungi semesta ini...?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Zelsreth tidak menjawab. Dia hanya menatap jauh ke Cakrawala yang penuh dengan kegelapan — sadar bahwa harapan mereka semakin menipis.

Dan Leonoir, dari kejauhan, hanya tersenyum.

"Bersiaplah, para pahlawan... aku akan datang untuk kalian."

----

Suara langkah kaki bergema di sepanjang koridor yang remang. Bayangan Leonoir Azmaveth melintas, jubah hitamnya menyapu lantai batu yang retak dan berlumut. Di luar benteng Apocalypse Dungeon, langit terus membara dalam pekatnya malam tanpa bintang, dan dunia terasa bergetar oleh keberadaannya.

Di singgasana hitamnya yang menjulang, Leonoir mengangkat satu tangan ke arah langit yang menghitam. Mata merahnya bersinar, menatap ke dalam kehampaan. "Seratus tahun... dan mereka hanya mengulur waktu," gumamnya, suara beratnya bergema.

"Aurora Del'Var, laporkan perkembangan mereka."

Dari bayangan, muncul sosok perempuan dengan armor hitam berornamen duri. Aurora Del'Var, salah satu pelayan setia Leonoir, berlutut dengan kepala tertunduk. "Penguasa, para pahlawan masih belum memahami dunia ini. Mereka lemah... bahkan menyesuaikan diri dengan sihir saja butuh waktu lebih lama dari yang diperkirakan."

Leonoir menyeringai tipis. "Jadi, mereka mengira aku akan menunggu mereka tumbuh? Menggelikan."

Aurora mengangguk pelan. "Namun, ada satu ancaman yang mungkin patut diperhitungkan... Zelsreth kembali ke istana Raja Semesta lebih cepat dari yang kita prediksi. Dia tampaknya menyadari bahwa waktu yang Anda berikan adalah pedang bermata dua."

Leonoir berdiri dari tahtanya, tubuhnya memancarkan aura destruktif yang bahkan membuat lantai retak di bawah kakinya. "Zelsreth... dia masih berharap bisa menyelamatkan adiknya dan pelangi yang mati itu."

—Sementara itu, di Istana Raja Semesta—

Zelsreth duduk di ruang takhta yang sunyi, tangannya terkepal erat. Narea berdiri di sisi jendela, menatap langit hitam yang tak lagi memancarkan warna. Di belakang mereka, para pahlawan duduk berbaris, sebagian masih berjuang memahami dunia ini.

Alicia memandang pedang pendek yang baru saja diberikan padanya, tangannya gemetar. "Ini berat... lebih berat dari yang aku bayangkan," bisiknya.

Velzinia yang duduk di sebelahnya tersenyum pahit. "Kamu pikir aku bisa langsung paham cara pakai tongkat sihir? Aku bahkan nggak tahu cara mengaktifkan mantranya."

Liv menghela napas panjang, mengusap dahinya yang berkeringat. "Kalau kayak gini, kita nggak bakal sempat jadi kuat sebelum seratus tahun habis..."

Zelsreth berdiri, suaranya tegas namun dipenuhi beban. "Kalian tidak perlu jadi kuat sekarang. Tapi kalian harus belajar bertahan. Leonoir tidak akan menunggu. Jika dia mulai bergerak lebih cepat, kita semua akan musnah sebelum kalian sempat mengerti dunia ini."

Nalkea menatap Zelsreth, matanya dipenuhi kekhawatiran. "Tapi... bagaimana kalau kita memang nggak bisa mengejar kekuatan itu? Kami dari dunia yang nggak punya sihir, nggak punya pedang, nggak ada yang ngajarin kami perang seperti ini."

Zelsreth menatap mereka satu per satu, mengingatkan dirinya pada masa lalunya. Dulu, dia juga hanyalah manusia biasa sebelum mendapatkan kekuatan dewa setengah abad lalu. "Kalau kalian merasa takut, itu berarti kalian masih punya harapan. Ketakutan kalian adalah bukti bahwa kalian sadar akan kelemahan kalian. Dan dari sanalah kalian akan mulai bangkit."

Alicia menggigit bibirnya, menatap tajam pada pedangnya lagi. Perlahan, dia mencoba mengangkatnya meski tangannya masih gemetar

Alicia (Dengan Lirih, Tapi Penuh Tekad): "Kalau gitu... ajari aku, Mulai dari dasar... dari yang paling dasar sekalipun."

Zelsreth (tersenyum kecil): "Baiklah. Mulai sekarang, aku akan melatih kalian sendiri."

Namun, di kejauhan, Leonoir mengangkat tangannya, dan pusaran kegelapan muncul di langit Apocalypse Dungeon. Pasukan bayangan mulai bergerak, mengalir seperti kabut hitam ke segala penjuru alam semesta.

Gerakan pertama telah dimulai.

Dan seratus tahun yang dijanjikan mungkin tidak akan pernah sampai ke akhir.

----

— To be continued

More Chapters