Cherreads

Chapter 2 - Deep Endless Darkness

Saat Itu Kami Sedang Berhadapan Dengan Pria Berjubah Itu, Dan Aku Tahu, Dia Pria Berjubah Itu Layaknya Kegelapan Yang Melahap Cahaya, Sebuah Kegelapan Tanpa Ujung

Pria berjubah hitam melangkah maju, dan seketika suasana berubah.

Udara di sekeliling Ein terasa lebih berat.

Derrick, kapten pasukan, mengangkat pedangnya dengan keringat dingin.

"Siapa… orang ini?"

Chelcia juga merasakan tekanan yang berbeda.

"Ein…" suaranya pelan, "…orang ini bukan musuh biasa."

Ein mengangguk perlahan.

Lalu, ia berbicara dengan suara serius.

"Jika ayahku bertarung dengannya… beliau tidak akan menang tanpa menderita luka berat."

Mata Chelcia membelalak.

Ayah Ein, Herzain Al. Venustia, adalah salah satu pendekar pedang terkuat di Kekaisaran.

Jika Ein mengatakan bahkan Herzain akan kesulitan…

Maka… musuh ini adalah ancaman yang benar-benar besar.

Pria berjubah itu tersenyum tipis.

"Jadi… kau bisa merasakannya?"

Ein tidak menjawab.

Namun, tangannya menggenggam pedang lebih erat.

"Kau…" Ein akhirnya berbicara, "…siapa sebenarnya?"

Pria itu tertawa kecil.

"Aku?"

Ia melepas tudung jubahnya…

Dan memperlihatkan rambut perak panjang serta mata tajam berwarna merah darah.

Sebuah tatapan dingin yang mengisyaratkan bahwa ia sudah banyak menyaksikan kematian.

"Kau boleh memanggilku…"

"…Sethian."

Ein mengingat nama itu.

Sethian…

Nama yang tidak pernah muncul di panggung politik, tetapi disebut-sebut dalam bisikan rahasia.

Seorang pembunuh legendaris, dikatakan lebih kuat dari seluruh ksatria kekaisaran.

Bahkan… lebih kuat dari Marquis tingkat atas.

Derrick langsung mundur selangkah, ekspresinya tegang.

"…Mustahil… Sethian dari 'Tangan Bayangan'?"

Chelcia mengepalkan tangannya.

"'Tangan Bayangan'… kelompok pembunuh yang berada di luar kendali kerajaan mana pun…?"

Sethian tersenyum kecil.

"Oh? Jadi kalian pernah mendengar namaku?"

Ia lalu mengarahkan pandangannya pada Ein.

"Tapi kau, Ein… aku tertarik padamu."

Ein tidak menunjukkan ekspresi takut sedikit pun.

Sebaliknya, matanya semakin tajam.

"Kalau kau tertarik, kenapa tidak mencoba menyerang?"

Sethian menyeringai.

"…Kau memang berbeda."

Dan tanpa peringatan—

Ia menghilang.

---

BOOM!

Tanah tempat Sethian berdiri mendadak kosong.

Dalam sekejap—

Ia muncul di depan Ein dengan kecepatan mengerikan.

CLANG!

Serangan pedangnya ditahan oleh Ein dengan susah payah.

Tetapi… kekuatan Sethian luar biasa.

Ein terdorong beberapa meter ke belakang.

Tangannya terasa mati rasa hanya dengan satu tebasan.

Derrick dan para ksatria berusaha membantu…

Namun—

Sreet!

Sethian melambaikan tangannya ke arah mereka…

Dan tiba-tiba, sebuah gelombang energi hitam melesat.

BOOM!

Lima ksatria terpental jauh, menghantam pohon dan langsung pingsan.

Chelcia mengeraskan rahangnya.

"Ini… bukan manusia biasa…"

Ein mengatur napasnya.

"Tidak. Ini bukan pertarungan biasa."

Sethian tertawa pelan.

"Sudah kuduga… ini akan menyenangkan."

Ia lalu mengangkat pedangnya…

Dan Ein tahu…

Pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.

------

Udara malam terasa semakin berat.

Semua ksatria yang tersisa tidak bisa bergerak.

Mereka bukan terikat oleh sihir, melainkan oleh sesuatu yang lebih menakutkan…

Tekanan murni dari keberadaan Sethian.

Ein mengambil napas dalam.

Tatapannya tidak goyah sedikit pun.

Ia tahu… pria ini bukan lawan yang bisa diremehkan.

Namun…

Ia juga tidak akan mundur.

Sethian, yang berdiri beberapa meter darinya, mengangkat tangannya perlahan.

Namun, yang mengejutkan semua orang…

Ia hanya mengangkat satu jari.

Jari telunjuk tangan kanannya.

"Baiklah… mari kita lihat."

Ia menatap Ein dengan tatapan santai.

"Seberapa jauh kau bisa bertahan melawan satu jariku?"

---

Sreet!

Dalam sekejap—

Sethian menghilang.

Ein langsung meningkatkan persepsinya ke batas maksimum.

Namun…

Ia tetap kehilangan jejak Sethian.

Tiba-tiba—

Sebuah tekanan mengerikan muncul dari belakangnya.

Mata Ein membelalak.

Namun, refleksnya bekerja lebih cepat dari pikirannya.

CLANG!

Ia menebas ke belakang dengan seluruh kekuatannya.

Namun, yang ditabrak pedangnya…

Hanya satu jari Sethian.

Dan…

Bukk!!

Ein terpental puluhan meter, menghantam tanah dengan keras.

Seketika… batuk darah keluar dari mulutnya.

Ksatria-ksatria yang menyaksikan itu terdiam membeku.

Derrick menggigit bibirnya.

"…Astaga…"

Chelcia menatap dengan keringat dingin mengalir di dahinya.

"Dia… hanya menggunakan satu jari…?"

Sethian tersenyum kecil.

"Hmm? Kau masih hidup?"

Ein perlahan berdiri.

Bibirnya berdarah, dan tubuhnya terasa seperti ditabrak gunung.

Namun…

Ia tidak akan jatuh hanya karena ini.

"Cukup menarik."

Ia mengangkat pedangnya lagi.

Sethian tertawa kecil.

"Kau masih ingin melanjutkan?"

Ein mengusap darah di sudut bibirnya.

"Tentu saja."

"Bagus."

Sethian melangkah maju.

"Kau tahu?"

Ia mengangkat jari telunjuknya lagi dan menunjukkannya kepada Ein.

"Satu jari Herzain Al. Venustia… setara dengan tujuh kerajaan."

Mata Ein sedikit menyipit.

Namun… kata-kata selanjutnya membuat semua orang membeku.

"Dan satu jariku… hanya setara dengan enam kerajaan."

Chelcia dan para ksatria langsung membelalak.

Bahkan Derrick, seorang veteran perang, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"…Maksudnya…?" Chelcia bergumam.

Sethian tersenyum tipis.

"Aku hanya sedikit lebih lemah dari ayahmu."

Ia lalu menatap Ein dengan tatapan tajam.

"Tapi, aku tidak perlu menggunakan seluruh kekuatanku…"

"…Untuk mengalahkanmu."

Ein mengertakkan giginya.

Namun, alih-alih takut…

Matanya justru semakin membara.

"…Menarik."

Dan pertarungan pun berlanjut.

-----

WUSSSHHH!

Angin badai terbentuk di sekitar Ein.

Matanya bersinar tajam, auranya melonjak hingga ke batas puncaknya.

Chelcia, Derrick, dan para ksatria terpaksa mundur puluhan meter karena tekanan energi yang dilepaskan Ein.

Namun Sethian?

Ia hanya berdiri santai dengan satu tangan di saku, satu jarinya masih terangkat.

"…Kau mau mencoba lagi?" tanyanya ringan.

Ein tidak menjawab.

Namun, tubuhnya melesat dengan kecepatan luar biasa.

SREET!

Dalam sekejap—

Pedang Ein telah berada tepat di depan wajah Sethian.

CLANG!

Ia menusukkan pedangnya dengan seluruh kekuatan fisik dan sihirnya.

Namun—

JLEB!

Pedang itu dihentikan begitu saja oleh satu jari Sethian.

Seolah tidak ada tekanan sama sekali.

"…Mustahil."

Ein mengertakkan giginya.

Tanpa ragu—

Ia segera mundur, lalu mengayunkan pedangnya dengan teknik terkuatnya.

Tebasan Matahari Senja!

BOOOOOM!

Gelombang energi melesat menghantam Sethian, menghancurkan tanah di sekelilingnya.

Gunung di belakang Sethian terbelah menjadi dua, kemudian mulai runtuh.

Debu dan batu raksasa terlempar ke segala arah.

Chelcia dan yang lainnya terpaksa berlindung di balik penghalang sihir.

Namun, saat debu menghilang…

Mereka semua terdiam.

Sethian masih berdiri di tempat yang sama.

Bahkan…

Jarinya masih terangkat dengan santai.

"…Itu tadi cukup berisik."

Suara Sethian tenang.

Tidak ada luka di tubuhnya.

Tidak ada lecet.

Tidak ada darah.

Bahkan tanah di bawah kakinya tidak bergeser sedikit pun.

Seolah…

Semua yang dilakukan Ein tidak pernah terjadi.

Derrick menelan ludahnya.

"…Itu tadi serangan penuh kekuatan… dan dia bahkan tidak bergeming?"

Chelcia terdiam membeku.

"…Jadi ini… level yang berbeda…"

Sethian menghela napas.

Lalu, ia menurunkan tangannya dengan santai.

"…Jadi hanya segini?"

Ein menggertakkan giginya.

Tidak mungkin.

Ia baru saja mengeluarkan seluruh kekuatannya.

Bahkan cukup untuk menghancurkan lereng gunung.

Namun…

Bahkan satu jari Sethian tidak bergeming.

Perbedaan ini… terlalu besar.

Sethian tersenyum kecil.

"Kau tahu?"

Ia mengangkat jarinya sedikit.

"Kalau hanya segini, bahkan seekor semut lebih menyulitkan daripada seranganmu."

Mata Ein membelalak.

"…Semut?"

Sethian tertawa kecil.

"Ya."

Ia menggerakkan jarinya…

Dan udara di sekeliling Ein seketika menghilang.

------

Udara benar-benar hening.

Ein tidak bisa bergerak.

Chelcia, Derrick, dan pasukan bahkan tidak bisa bernapas dengan normal.

Mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika manusia.

Sethian masih berdiri santai.

Ia bahkan tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja menghadapi serangan penghancur gunung.

"…Lelah?" tanyanya dengan nada santai.

Ein tidak menjawab.

Namun, napasnya mulai terengah-engah.

Melihat itu, Sethian tersenyum kecil.

Lalu…

Ia mengangkat satu jari.

"…Baiklah."

Ia mengayunkan jarinya layaknya pedang.

Dan dalam sekejap—

Dunia berubah.

---

Tidak ada suara.

Tidak ada cahaya besar.

Tidak ada ledakan spektakuler.

Hanya…

Sebuah garis tipis di udara.

Namun, dalam sepersekian detik…

CRAAACK!

Tebing besar di depan mereka—terbelah dua.

BOOOM!

Danau yang ada di bawah tebing—terpotong setengah.

Airnya terpisah seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkannya.

Namun…

Itu bukan hanya air yang terbelah.

Ein merasakan sesuatu yang lebih mengerikan.

Udara di sekitar jalur tebasan Sethian…

Terpotong.

Bahkan…

Zat-zat, atom-atom, hingga partikel kuantum di jalur tebasannya benar-benar terbelah.

Seolah…

Di jalur itu, hukum fisika tidak lagi berlaku.

Chelcia membeku di tempatnya.

"…Tidak mungkin."

Derrick berlutut dengan keringat dingin.

"…Ini bukan kekuatan manusia."

Bahkan Ein, untuk pertama kalinya…

Merasa bahwa ia benar-benar tidak berdaya.

Sethian menurunkan jarinya.

Lalu, ia menatap Ein dengan senyum kecil.

"…Ini bahkan kurang dari 0,000,000,000,001% kekuatanku."

Ia menghela napas.

"Jika kau tidak bisa menghadapi ini… bagaimana kau bisa berharap menghadapiku?"

Ein terdiam.

Namun, di dalam dirinya…

Sesuatu mulai bergejolak.

Apakah ini batasnya?

Atau… apakah masih ada cara untuk melawan?

-------

Hening.

Tebasan yang tadi membelah segalanya…

Masih meninggalkan jejak di udara.

Ein menatap jalur kosong itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Namun, Sethian…

Hanya menghela napas dengan bosan.

"…Aku sudah selesai di sini."

Ia menoleh ke belakang.

Dalam sekejap, ruang di sekitarnya bergetar.

Dari dalam bayangan, muncul beberapa sosok berjubah hitam.

Rekan-rekan Sethian.

Tanpa ragu, Sethian memberi perintah singkat.

"Pulang."

Namun…

Salah satu rekannya, yang memiliki suara berat, melangkah maju.

"Tuan Sethian… kita belum membunuh bocah ini dan rombongannya."

Suara lainnya juga ikut menyela.

"Dan… putri itu. Bukankah lebih baik kita menculiknya?"

Mereka semua menunggu jawaban dari Sethian.

Namun…

Sethian mengangkat kepalanya sedikit.

Lalu, menatap mereka dengan tatapan kosong.

Dan dengan suara datar, ia berkata:

> "Aku tidak peduli. Cepat pulang, atau aku akan meremukkan kepalamu."

Hening.

Suara Sethian tenang.

Namun, ruangan seolah menjadi lebih dingin.

Para rekannya langsung membatu di tempat.

Sosok yang tadi berbicara…

Bergetar hebat.

"…Baik."

Tanpa berkata apa-apa lagi…

Mereka langsung berbalik dan menghilang ke dalam bayangan.

Tak ada yang berani menolak perintah Sethian.

Tidak ada yang berani membantahnya.

Sethian menghela napas.

Lalu, ia menatap Ein untuk terakhir kalinya.

Dan dengan senyum kecil, ia berkata:

> "Selamat malam, Ein. Tolong hiduplah dengan tenang."

Setelah itu…

Ia pun menghilang.

Meninggalkan Ein yang masih berdiri di tempatnya.

Dengan banyak pertanyaan di dalam pikirannya.

------

Tiga Hari Setelahnya…

Kota Firstela Dari Kerajaan Varelis.

Wilayah yang dikenal sebagai pusat diplomasi antarbangsa.

Di kota ini, berbagai delegasi dari kerajaan dan kekaisaran sering berkumpul.

Dan karena itulah, setiap fasilitas di kota ini dibuat dengan standar tertinggi.

Termasuk…

Penginapan tempat Ein dan rombongannya menginap.

Penginapan Para Diplomat

Derrick menatap sekeliling dengan takjub.

"…Ini luar biasa."

Lantai penginapan terbuat dari marmer berkualitas tinggi dengan ukiran emas.

Setiap ruangan dilengkapi dengan pelayanan terbaik, bahkan memiliki pemandian air panas pribadi.

Sementara itu, di aula utama…

Ein sedang duduk bersama Chelcia.

Mereka beristirahat setelah perjalanan panjang.

Namun…

Di balik semua kemewahan ini, Ein masih memikirkan satu hal.

Perkataan terakhir Sethian.

> "Selamat malam, Ein. Tolong hiduplah dengan tenang."

"…Kenapa dia mengatakan itu?" gumamnya pelan.

Chelcia melirik Ein.

"Kau masih memikirkan pertarungan itu?"

Ein mengangguk.

"…Dia bisa membunuh kita semua. Tapi dia memilih untuk pergi."

Chelcia terdiam.

"…Mungkin dia melihat sesuatu dalam dirimu?"

Ein tidak bisa menjawab.

Namun, jauh di dalam hatinya…

Ia tahu.

Ini belum berakhir.

-----

Pagi yang Cerah di Kota Varelis

Mentari pagi bersinar lembut, menerangi bangunan-bangunan megah di kota pertama Kerajaan Varelis.

Udara di sini bersih dan sejuk, jauh berbeda dengan atmosfer tegang yang mereka alami beberapa hari lalu.

Di salah satu penginapan paling mewah…

Ein, Chelcia, dan Derrick sedang bersiap untuk keluar.

"Mari kita beli perlengkapan sebelum melanjutkan perjalanan," kata Chelcia dengan nada bersemangat.

Derrick mendecak kesal.

"…Kenapa aku harus ikut?"

Chelcia tersenyum penuh arti.

"Karena kau pengawal kami."

Derrick mendengus, tapi tetap mengikuti mereka.

Dan dengan itu, perjalanan kecil mereka pun dimulai.

---

Begitu mereka tiba di pusat kota…

Ein sedikit terkejut.

Pasar di sini berbeda dengan yang pernah ia lihat.

Setiap toko tertata rapi, dengan bangunan-bangunan elegan yang menunjukkan kelasnya.

Jalanannya bersih, dengan lampu-lampu kristal yang tergantung di sepanjang trotoar.

Para pedagang di sini bukan sekadar penjual biasa…

Mereka adalah perwakilan dari berbagai kerajaan yang menjual barang-barang eksklusif.

Chelcia berjalan dengan semangat, matanya berbinar saat melihat berbagai produk langka.

Sementara itu…

Ein hanya mengikutinya dengan ekspresi datar.

Derrick, di sisi lain…

Mulai merasa ada yang tidak beres.

Kenapa suasananya jadi seperti ini…?

Matanya menyipit saat melihat bagaimana Chelcia tersenyum cerah setiap kali berbicara dengan Ein.

Ia tidak suka ini.

Sama sekali tidak suka.

"…Hei, kita tidak perlu lama-lama, kan?" katanya sambil mencoba menginterupsi.

Namun…

Chelcia langsung mengabaikannya.

"Lihat ini, Ein!"

Ia menunjukkan sebuah jubah biru tua dengan sulaman emas yang sangat indah.

"Ini akan cocok untuk perjalanan kita berikutnya!"

Ein mengangguk sederhana.

"Kalau kau suka, beli saja."

Chelcia terdiam sesaat.

Lalu…

Ia tersenyum.

"…Baik."

Derrick nyaris mengeluarkan suara protes, tetapi sekali lagi, ia dihentikan.

Kenapa aku merasa seperti orang ketiga di sini?!

---

Setelah selesai berbelanja…

Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah taman kecil.

Di tengah taman, ada sebuah air mancur yang sangat indah.

Chelcia duduk di bangku taman, sementara Ein berdiri di sampingnya.

Mereka tidak banyak berbicara.

Namun…

Ada suasana tenang di antara mereka.

Derrick, yang melihat ini, semakin gelisah.

Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi!

Ia berdiri dan berjalan mendekat.

Namun…

Sebelum ia sempat melakukan sesuatu…

Chelcia menoleh dan menatapnya dengan senyum penuh arti.

> "Derrick, kau bisa menjaga jarak sebentar?"

"…Apa?"

> "Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan Ein. Tanpa gangguan."

"…."

Derrick menggigit bibirnya, tapi tidak bisa menolak.

Dengan berat hati, ia melangkah mundur.

Dan di saat itulah…

Angin berhembus lembut.

Rambut pirang Chelcia berkibar perlahan.

Dan ia menatap Ein dengan ekspresi yang sedikit lebih serius.

"…Ein."

"Hm?"

"…Terima kasih sudah bersamaku."

Ein mengernyit sedikit.

"Apa maksudmu?"

Chelcia tertawa kecil.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakannya."

Ein terdiam.

Ia tidak mengerti arti sebenarnya dari kata-kata Chelcia.

Namun…

Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam suaranya.

Apakah ini… yang disebut 'perasaan khusus'?

Sayangnya…

Ein terlalu logis untuk menyadari hal seperti itu.

Jadi…

Ia hanya mengangguk sederhana.

"…Kalau begitu, aku akan terus berada di sini."

Chelcia tersenyum lembut.

Dan tanpa mereka sadari…

Derrick, yang melihat semua ini dari jauh, hampir berteriak frustasi.

Sial, ini sudah terlalu jauh!

-----

Di Pintu Gerbang Ke Gurun.

Angin panas berhembus kencang, membawa debu ke udara.

Cakrawala dipenuhi dengan gelombang panas yang bergetar, menciptakan ilusi air di kejauhan.

Di hadapan Ein dan rombongannya…

Terhampar gurun luas yang seperti tak berujung.

Derrick mengusap keringat di dahinya.

"…Apakah ini satu-satunya rute tercepat?"

Salah satu penjaga mengangguk serius.

"Benar. Jika kita ingin mencapai ibu kota dalam waktu lima hari, kita harus melewati gurun ini."

Chelcia tersenyum dan menarik jubah biru tuanya.

"Setidaknya kita sudah siap."

Semua anggota rombongan mengenakan jubah yang sama.

Jubah ini dapat menyesuaikan suhu tubuh, sehingga mereka tidak akan kepanasan di siang hari atau kedinginan di malam hari.

Namun…

Bukan hanya cuaca yang harus mereka hadapi.

Monster-monster gurun juga mengintai di kegelapan.

---

Karena kuda biasa tidak akan bertahan di gurun ini, mereka menggunakan tunggangan khusus.

Tiga ekor Greapnir, Wyrm gurun dengan tubuh panjang dan sisik kasar, berdiri gagah di depan mereka.

Mata mereka berwarna emas terang, mencerminkan kecerdasan dan ketangguhan.

Ein menyentuh salah satu Wyrm dan merasakan kulitnya yang kasar namun kuat.

"…Kita akan menungganginya?"

Salah satu penjaga mengangguk.

"Benar. Greapnir adalah makhluk yang sangat cepat di gurun. Mereka dapat menelusuri pasir tanpa tenggelam dan memiliki stamina tinggi."

Chelcia menepuk salah satu Greapnir dengan lembut.

"Aku sudah pernah menungganginya sebelumnya, jadi ini bukan masalah."

Derrick menghela napas.

"Kalau begitu, kita tidak punya pilihan lain."

Dan dengan itu…

Mereka memulai perjalanan menuju ibu kota.

---

Saat matahari mencapai puncaknya…

Suhu mencapai lebih dari 45 derajat Celsius.

Namun, berkat jubah biru tua mereka, tubuh mereka tetap sejuk.

Greapnir berlari dengan kecepatan luar biasa, membawa mereka melintasi hamparan pasir yang tak berujung.

Ein menatap cakrawala dengan mata tajam.

"…Apakah kita benar-benar bisa mencapai ibu kota dalam lima hari?"

Salah satu penjaga tertawa kecil.

"Selama kita tidak menghadapi badai pasir atau serangan monster besar, kita akan baik-baik saja."

Namun…

Derrick merasakan firasat buruk.

"…Jangan terlalu optimis."

Dan memang…

Sesuatu mulai mengintai mereka dari kejauhan.

-------

Pasir di hadapan mereka bergetar, seolah-olah ada sesuatu yang berenang di bawahnya.

Greapnir menggeram, insting mereka sudah menyadari bahwa bahaya sedang mengintai.

Ein mempersempit matanya, memperhatikan pergerakan aneh itu.

"Ini bukan Holloreas… tapi pasti sesuatu yang mirip."

Derrick menghunus pedangnya, Chelcia bersiap dengan sihirnya, dan para penjaga mengambil posisi bertahan.

Tiba-tiba—

Pasir meledak ke atas!

Dari dalamnya, muncul makhluk berbentuk seperti ular berlapis sisik tebal, dengan sepasang taring tajam dan tubuh yang bergerak gesit di dalam pasir.

Jumlah mereka tidak hanya satu, tetapi belasan!

"Serangan!" salah satu penjaga berteriak.

Pertarungan di tengah gurun pun dimulai.

---

Ein langsung menganalisis makhluk itu.

Makhluk-makhluk ini adalah Sandfang, spesies yang memangsa kafilah yang melintasi gurun.

Mereka tidak sekuat Holloreas, tetapi lebih gesit, lebih licik, dan menyerang dalam kelompok.

Salah satu Sandfang melompat ke arah Chelcia!

Namun—

SLASH!

Ein langsung menebasnya dengan pedang sebelum makhluk itu bisa menyentuh sang putri.

Darah makhluk itu menyembur ke pasir panas, tetapi sisanya tidak mundur—mereka semakin agresif!

Derrick dan para penjaga bertarung dengan sengit, tetapi Sandfang terlalu cepat untuk dilawan dengan serangan biasa.

Chelcia mulai mengaktifkan sihirnya…

Namun sebelum dia sempat melepaskan mantranya—

"AWAS!!"

Salah satu Sandfang menyerang dari belakang!

Sandfang meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Chelcia.

Namun, tepat sebelum taringnya bisa mencapai sang putri—

BZZZT!!

Sebuah lapisan transparan berkilau muncul di sekeliling Chelcia, menangkis serangan itu dengan mudah.

"Tentu saja aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya," pikir Ein.

Dia mengangkat tangannya, memperkuat penghalang itu hingga melindungi seluruh kereta, tiga Greapnir, dan Chelcia.

Chelcia terkejut dengan kecepatan Ein dalam membuat penghalang, tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa—

"Diam saja di dalam kereta, jangan ganggu pertarungan ini," kata Ein tegas.

Chelcia hanya bisa mengembungkan pipinya kesal, tetapi dia tetap menurut.

----

Saat Ein selesai memasang penghalang, dia berbalik ke medan pertempuran.

Dan di sanalah dia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.

Para prajurit elit Kekaisaran Grahameils mulai bergerak serius.

Salah satu prajurit elit mengayunkan pedangnya dengan satu tangan, dan dalam satu tebasan saja—

TIGA Sandfang langsung terbelah tanpa perlawanan.

Ein terdiam sejenak.

"Secepat itu?!"

Prajurit lain menggunakan sihir api tingkat tinggi, membakar lima Sandfang sekaligus dalam hitungan detik.

Salah satu Sandfang berusaha menyerang dari belakang, tetapi seorang prajurit berbadan besar langsung menangkapnya dengan tangan kosong dan menghancurkan kepalanya dengan satu tangan.

Ein benar-benar tidak menyangka mereka sekuat ini.

Dan di saat itulah—

Derrick tertawa sombong di sampingnya.

"Hahaha! Bagaimana, Ein? Kau tidak menyangka, bukan?" katanya dengan bangga.

"Pasukan ini bukan prajurit biasa, mereka adalah Prajurit Elit Kekaisaran Grahameils. Bahkan seorang saja bisa menghadapi satu batalion prajurit kerajaan biasa."

Ein mengerutkan alisnya.

Dia tidak menyangka perbedaan level antara pasukan kerajaan dan pasukan kekaisaran bisa sejauh ini.

---

Pertempuran Berakhir Begitu Cepat.

Dengan kombinasi tebasan cepat, sihir kuat, dan kekuatan fisik luar biasa, para prajurit elit menghabisi semua Sandfang dalam waktu singkat.

Pasir kembali tenang, hanya meninggalkan jejak darah dan tubuh makhluk yang berserakan.

Ein menghela napas, sedikit takjub dengan apa yang baru saja dia lihat.

Derrick masih menyeringai puas.

"Kau lihat sendiri, kan? Jadi mulai sekarang, jangan remehkan anak buahku."

Ein menggeleng pelan, tetapi diam-diam dia mengakui—

"Memang mereka bukan prajurit biasa."

------

Matahari perlahan mulai turun ke cakrawala, menyelimuti gurun dengan cahaya keemasan.

Namun, ada sesuatu yang aneh.

Tidak ada suara.

Tidak ada angin menderu.

Tidak ada gerakan di kejauhan.

Bahkan pasir yang biasanya bergerak diterpa angin terasa begitu diam.

Tidak ada monster yang muncul, tidak ada suara makhluk lain.

Hanya keheningan total.

Rombongan Mulai Menyadari

Ein menatap sekeliling.

Derrick juga mulai mengernyitkan dahi, tampak menyadari sesuatu.

Chelcia, yang biasanya ceria, kini malah terdiam.

Prajurit elit kekaisaran yang sebelumnya begitu waspada, kini hanya berjalan santai, seolah tidak ada ancaman sama sekali.

Bahkan Greapnir yang menarik kereta hanya bergerak perlahan, tanpa menunjukkan tanda-tanda kegelisahan.

"Aneh…" gumam Ein pelan.

"Apa maksudmu?" tanya Chelcia.

Ein menggeleng, "Biasanya, perjalanan seperti ini pasti diselingi oleh monster atau gangguan lain. Tapi kali ini… tidak ada apa-apa."

Derrick tertawa kecil, "Harusnya kau senang. Setelah berbagai pertarungan sebelumnya, kita akhirnya bisa menikmati perjalanan dengan tenang."

Ein tidak menjawab.

Baginya, keheningan seperti ini justru terasa lebih mencekam.

Namun, dia tetap memilih menikmati momen ini.

Tanpa gangguan, tanpa pertempuran—

Hanya perjalanan yang damai, setidaknya untuk saat ini.

-----

Matahari semakin tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan cahaya kemerahan yang memantul di atas pasir emas. Gurun yang biasanya penuh dengan bahaya tetap hening, bahkan hingga malam tiba.

Ein mengamati sekelilingnya. Tidak ada suara monster, tidak ada pergerakan mencurigakan.

Chelcia yang duduk di sebelahnya di dalam kereta tersenyum kecil, menikmati angin malam yang sejuk.

Derrick duduk di depan, tampak santai, berbeda dengan biasanya yang selalu waspada terhadap ancaman.

"Ini terasa aneh…" pikir Ein.

Bagaimana bisa gurun yang terkenal berbahaya di malam hari tiba-tiba terasa seperti tempat yang damai?

---

Saat mereka melanjutkan perjalanan, cahaya obor terlihat di kejauhan.

Sebuah kafilah besar sedang bergerak perlahan di tengah gurun.

Puluhan unta dan kereta kayu berhiaskan kain-kain berwarna mencolok bergerak bersama, membawa berbagai barang dagangan.

Para pedagang, berseragam khas dengan penutup wajah gurun, terlihat berbincang santai di dekat perkemahan mereka.

Salah satu pemimpin kafilah, seorang pria paruh baya dengan janggut panjang dan sorban merah, berjalan mendekati rombongan Ein.

"Salam sejahtera, para pelancong. Kalian beruntung malam ini."

Ein melirik pria itu, penasaran.

"Kenapa beruntung?"

Pemimpin kafilah itu tersenyum, lalu berkata dengan nada penuh hormat—

"Karena malam ini adalah hari ulang tahun Raja Monster Gurun."

---

Semua orang dalam rombongan terkejut mendengar ucapan itu.

"Ulang tahun Raja Monster Gurun?" ulang Derrick dengan ekspresi bingung.

Pemimpin kafilah mengangguk.

"Setiap tahun, pada tanggal ini, Raja Monster Gurun mengeluarkan perintah khusus."

"Tidak ada monster yang diizinkan menyerang manusia pada hari ulang tahunnya."

"Bahkan monster buas sekalipun tunduk pada perintahnya."

Semua orang terdiam.

Ini menjelaskan kedamaian yang terasa tidak wajar sejak tadi.

---

Ein, yang masih menganalisis situasi, bertanya, "Seberapa kuat dia?"

Pemimpin kafilah tertawa kecil.

"Kuat? Anak muda, dia bukan sekadar kuat."

"Dia adalah penguasa gurun ini. Jika dia mau, seluruh wilayah ini bisa menjadi neraka dalam sekejap."

Derrick menyipitkan matanya. "Jadi… kita sedang berada di wilayah kekuasaannya?"

Pemimpin kafilah mengangguk, "Benar sekali."

"Tapi malam ini, kalian tidak perlu khawatir. Sebab, sebagai bagian dari perayaan ulang tahunnya, dia melarang pertumpahan darah di wilayahnya."

Ein berpikir sejenak.

Sebuah makhluk yang mampu mengendalikan seluruh monster gurun…

Seberapa kuat dia sebenarnya?

---

Beberapa anggota kafilah mulai menyiapkan perayaan kecil-kecilan untuk menghormati ulang tahun sang raja monster.

Mereka menyalakan api unggun, menyajikan makanan khas gurun, dan bahkan menampilkan tarian tradisional.

Chelcia yang sejak tadi diam tertarik dengan suasana perayaan ini.

"Sepertinya menyenangkan." katanya sambil tersenyum.

Ein mengangguk kecil, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai analisis.

Derrick sendiri terlihat santai, menikmati makanan yang disajikan oleh para pedagang.

---

Untuk pertama kalinya sejak perjalanan mereka dimulai, malam ini terasa benar-benar damai.

Tanpa pertempuran, tanpa monster, tanpa ketegangan.

Namun, di benak Ein, satu pertanyaan besar terus mengganggunya—

"Jika Raja Monster Gurun bisa memberikan perintah seperti ini… maka seberapa besar kekuatannya?"

Dan yang lebih penting—

"Apa yang akan terjadi setelah ulang tahunnya selesai?"

------

Matahari gurun mulai muncul dari cakrawala, menandai pergantian waktu dari malam yang tenang menuju siang yang terik. Rombongan Ein dan para kafilah telah beristirahat semalaman, menikmati kedamaian yang terasa aneh di wilayah yang biasanya dipenuhi monster buas.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Sekitar pukul 05.00 pagi, para kafilah mulai bangun satu per satu. Mereka tidak hanya sekadar bangun untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan, tetapi mereka melakukan sesuatu yang berbeda. Beberapa kafilah mengeluarkan bungkusan besar yang mereka simpan di dalam gerobak mereka. Ada yang membawa makanan dalam wadah khusus, ada yang membawa kendi berisi cairan berwarna keemasan, dan ada juga yang membawa bungkusan berisi rempah-rempah dan berbagai bahan alami lainnya.

Ein, yang terbangun lebih awal karena kebiasaannya berjaga, memperhatikan mereka dengan tatapan penuh analisis. Chelcia masih tertidur di dalam kereta, dan para prajurit elit Kekaisaran Grahameils tetap dalam posisi berjaga-jaga, meski mereka juga tampak sedikit penasaran dengan apa yang dilakukan para kafilah.

Saat Ein mendekati salah satu pemimpin kafilah, ia pun akhirnya bertanya,

"Apa yang kalian lakukan?"

Seorang pria tua yang tampaknya adalah pemimpin utama dari kelompok kafilah ini menoleh ke arah Ein. Dengan senyum ramah, ia menjawab,

"Kami sedang mempersiapkan hadiah untuk Sang Raja Monster Gurun."

Ein mengangkat alisnya.

"Hadiah?"

Seorang kafilah lain yang berdiri di dekat mereka ikut menimpali,

"Benar. Jika kalian memberikan hadiah, Raja Monster Gurun akan memastikan kalian baik-baik saja sampai keluar dari wilayahnya."

Ein mulai memahami maksud dari perbuatan mereka. Sepertinya ini adalah sebuah tradisi yang telah berlangsung lama di gurun ini. Namun, ada satu hal yang masih membuatnya penasaran.

"Lalu, bagaimana jika seseorang tidak memberikan hadiah?"

Kali ini, pria tua itu yang menjawab dengan nada lebih serius,

"Terkadang, Raja Monster Gurun akan mendatangi mereka sendiri dan meminta hadiahnya. Jika kalian tidak punya apa pun untuk diberikan… mungkin dia akan mengambil sesuatu yang lain sebagai gantinya."

Nada suaranya mengisyaratkan bahwa 'sesuatu yang lain' bisa berarti nyawa mereka. Ein terdiam sejenak, menyerap informasi ini dengan saksama.

— Raja Monster Gurun bukan sekadar monster biasa.

Jika dia bisa menciptakan hari tanpa ancaman monster hanya karena ulang tahunnya, maka kekuasaannya atas wilayah ini tidak main-main. Bahkan para monster buas pun tampaknya tunduk padanya.

Ein berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan sesuatu.

"Kami juga akan memberikan hadiah."

Pemimpin kafilah tersenyum puas.

"Pilihan yang bijak, Tuan Muda."

Saat pagi semakin terang, para kafilah mulai berkumpul dan mempersiapkan perjalanan mereka menuju tempat di mana Raja Monster Gurun akan menerima hadiah-hadiahnya. Beberapa kafilah lain dari arah berbeda juga mulai berdatangan, membawa hadiah mereka masing-masing.

Chelcia, yang akhirnya terbangun dari tidurnya, keluar dari kereta dengan mata yang masih sedikit mengantuk.

"Huaaah… Ein, kenapa orang-orang ini sibuk sekali pagi-pagi begini?"

Ein menjelaskan semuanya dengan singkat. Mendengar hal itu, Chelcia tampak tertarik.

"Jadi kita akan bertemu dengan Raja Monster Gurun?" tanyanya dengan mata berbinar.

Ein menggeleng.

"Belum. Hari ini kita hanya mempersiapkan hadiah. Kita baru akan bertemu dengannya besok."

Chelcia tampak sedikit kecewa, tapi ia tetap bersemangat.

"Kalau begitu, apa yang akan kita berikan sebagai hadiah?"

Ein berpikir sejenak. Mereka tidak membawa barang mewah atau makanan khusus seperti para kafilah. Namun, sebagai bangsawan, ia tentu memiliki beberapa barang berharga yang mungkin bisa menjadi hadiah yang pantas.

Derrick, yang ikut mendengar percakapan mereka, tiba-tiba menimpali dengan nada bangga,

"Kami, Kekaisaran Grahameils, telah menyiapkan hadiah istimewa untuk Raja Monster Gurun. Kau tak perlu repot-repot, Ein."

Ein menatapnya dengan ekspresi datar.

"Itu hadiah dari kekaisaran, bukan hadiah dari kita."

Derrick tersenyum miring.

"Memangnya apa yang bisa kau berikan? Kita tidak membawa banyak barang dari kerajaan."

Ein tetap tenang. Ia menoleh ke salah satu prajuritnya dan memberikan instruksi,

"Bawa peti kecil yang ada di dalam kereta. Yang berisi kristal sihir."

Prajurit itu langsung bergerak, dan tak lama kemudian ia kembali dengan sebuah peti kecil berukir yang terlihat cukup mewah. Ein membukanya, memperlihatkan beberapa kristal sihir berwarna biru muda yang berkilauan.

Melihat isi peti itu, beberapa kafilah yang kebetulan lewat menoleh dengan mata membelalak.

"I-Itu… kristal sihir tingkat tinggi!"

Bahkan Derrick yang tadinya meremehkan pun terdiam sesaat.

Kristal sihir tingkat tinggi adalah barang yang sangat berharga, terutama di gurun, di mana energi sihir tidak sebanyak di wilayah lain. Memberikan ini sebagai hadiah bisa saja membuat Raja Monster Gurun lebih menghormati mereka.

Chelcia tersenyum sambil mengangguk setuju.

"Bagus! Kalau ini, pasti dia akan menyukainya."

Ein hanya mengangguk kecil.

"Semoga saja."

Hari pun berlalu tanpa ada gangguan. Semua persiapan telah selesai, dan rombongan Ein serta para kafilah menghabiskan waktu mereka untuk beristirahat sebelum perjalanan keesokan harinya.

Langit senja mulai berubah menjadi malam, dan suasana masih tetap damai. Tidak ada suara monster, tidak ada ancaman, hanya angin gurun yang berbisik pelan.

Namun, di kejauhan, samar-samar terdengar sesuatu.

Sebuah suara bergema di angin malam.

Seperti auman yang sangat dalam… dan sangat besar.

Sebuah pertanda bahwa besok… mereka akan bertemu dengan Sang Raja Monster Gurun.

------

Matahari mulai meninggi di langit gurun, menyinari hamparan pasir yang luas dengan cahaya keemasannya. Udara yang sebelumnya dingin kini mulai menghangat, perlahan berubah menjadi panas yang menyengat. Namun, dengan jubah biru tua yang telah mereka kenakan, rombongan Ein tidak terlalu terganggu oleh suhu ekstrem ini.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada satu pun monster yang muncul. Seakan-akan seluruh makhluk buas di gurun ini menghilang dari muka bumi. Bahkan suara angin pun terasa lebih lembut daripada biasanya.

— Damai.

Damai yang terasa aneh.

Chelcia yang berjalan di samping Ein menghela napas lega.

"Sejujurnya, aku masih belum terbiasa dengan ketenangan seperti ini. Biasanya di tempat baru, kita selalu menghadapi sesuatu."

Ein menoleh ke arah Chelcia dan mengangguk kecil.

"Ya. Aku juga merasakan hal yang sama."

Derrick yang berada tidak jauh dari mereka hanya mendengus.

"Harusnya kalian bersyukur. Tidak perlu menghadapi ancaman monster setiap saat itu adalah sebuah keberuntungan."

Seorang kafilah yang berjalan di depan mereka ikut menimpali dengan suara tenang.

"Bukan keberuntungan, melainkan sebuah berkah dari Raja Monster Gurun."

Mendengar itu, Ein menoleh ke arah kafilah tersebut.

"Jadi memang benar, ya? Dia benar-benar memiliki kekuatan sebesar itu?"

Pemimpin kafilah, pria tua yang sebelumnya berbicara dengan Ein, mengangguk.

"Bagi kalian yang berasal dari luar gurun, mungkin sulit untuk mempercayainya. Tapi bagi kami, Raja Monster Gurun adalah penguasa sejati di wilayah ini. Bahkan monster-monster buas pun tidak berani bergerak tanpa izinnya."

Chelcia tampak berpikir sejenak sebelum bertanya,

"Kalau begitu, seberapa besar sebenarnya sosoknya?"

Salah seorang kafilah lainnya tertawa kecil.

"Kalian akan segera mengetahuinya sendiri."

Jawaban itu membuat Chelcia sedikit tidak puas, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Siang Hari yang Tenang

Perjalanan mereka berlangsung tanpa hambatan. Gurun yang biasanya penuh bahaya kini terasa seperti jalan biasa yang bisa dilalui tanpa rasa takut. Bahkan Greapnir yang menarik kereta pun tampak lebih rileks dibanding sebelumnya.

Selama perjalanan, beberapa anggota kafilah mulai mengobrol dan bercanda, suasana semakin santai. Chelcia sesekali tertawa kecil saat mendengar lelucon konyol dari salah satu pedagang rempah. Bahkan Ein, yang biasanya serius, sesekali tersenyum kecil melihat tingkah mereka.

Namun, di sisi lain, Derrick tetap bersikap waspada.

"Aku tetap merasa aneh," gumamnya sambil menatap sekeliling.

Ein mendengar gumaman itu dan menoleh ke arahnya.

"Kenapa?"

Derrick menyipitkan matanya, ekspresinya penuh kecurigaan.

"Aku bisa mengerti kalau monster-monster di gurun ini takut pada Raja Monster Gurun dan tidak ingin mengganggunya di hari ulang tahunnya. Tapi… seharusnya tetap ada satu atau dua yang tidak patuh. Ini terlalu sempurna."

Ein terdiam sejenak. Ia tidak bisa menyangkal ucapan Derrick. Biasanya, selalu ada makhluk liar yang tidak tunduk pada aturan, tetapi kali ini, benar-benar tidak ada.

Mungkinkah mereka semua benar-benar tunduk sepenuhnya? Atau ada alasan lain?

Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Chelcia menepuk lengannya.

"Sudahlah, Ein! Untuk sekali ini, mari nikmati ketenangan ini!"

Ein menatapnya sebentar sebelum akhirnya mengangguk.

"Baiklah."

Menjelang Senja…

Langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat di mana mereka akan memberikan hadiah mereka.

Beberapa kafilah mulai menyiapkan makanan dan minuman. Rombongan Ein juga beristirahat, menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah di gurun.

"Aneh, ya," gumam Chelcia sambil memandangi langit.

Ein yang duduk di sampingnya menoleh.

"Apa yang aneh?"

Chelcia tersenyum kecil.

"Biasanya saat kita beristirahat seperti ini, pasti ada sesuatu yang mengganggu. Tapi kali ini, benar-benar damai."

Ein hanya diam.

Damai, ya?

Namun, tepat ketika ia hendak menjawab, sesuatu terjadi.

Boom!

Sebuah tekanan udara yang luar biasa besar tiba-tiba muncul di langit.

Seperti ada sesuatu yang jatuh dengan kecepatan tinggi.

Seluruh rombongan langsung menoleh ke atas, mata mereka membelalak saat melihat sesuatu turun dari langit.

Bayangan raksasa.

Bentuknya samar-samar karena tertutup cahaya matahari terbenam, tetapi jelas sekali bahwa itu bukan makhluk biasa.

Seketika, angin kencang menerpa gurun, membuat pasir beterbangan ke segala arah. Beberapa kafilah bahkan harus menutup wajah mereka dengan kain agar tidak terkena debu.

Ein, Chelcia, Derrick, dan seluruh pasukan Grahameils langsung dalam posisi siaga.

Apa ini?!

Chelcia merasakan jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok itu semakin mendekat.

Lalu…

— Boom!

Sesuatu mendarat tepat di depan mereka.

Tanah bergetar hebat, menciptakan gelombang pasir yang menyebar ke segala arah.

Ketika debu mulai mereda…

Sosok itu akhirnya terlihat dengan jelas.

Seorang makhluk raksasa, tubuhnya tertutup sisik emas yang berkilauan di bawah sinar matahari senja. Matanya seperti dua matahari kecil yang bersinar, penuh dengan kekuatan dan kebijaksanaan.

Dua tanduk besar menjulang dari kepalanya, menyerupai mahkota seorang raja. Sayapnya yang besar terlipat di punggungnya, tetapi hanya dengan melihatnya saja, sudah bisa ditebak bahwa makhluk ini bisa terbang dengan kecepatan luar biasa.

Ia berdiri di sana…

Memandang mereka semua dengan tatapan yang dalam.

Suasana menjadi hening.

Tidak ada yang berani bergerak, tidak ada yang berani berbicara.

Semua orang menahan napas, seakan jika mereka mengeluarkan suara sedikit saja, makhluk itu bisa menganggapnya sebagai ancaman.

Ein menatapnya dengan mata yang penuh kewaspadaan.

Ia tahu.

Makhluk ini bukan sekadar monster biasa.

— Ini adalah Raja Monster Gurun.

Dan Saat Itu, makhluk itu membuka mulutnya dan mengeluarkan suara yang dalam dan menggema di seluruh gurun.

"Manusia…"

-------

— To be continued

More Chapters