Hutan Roh Kuno terasa semakin mencekam setelah pertarungan sengit melawan pasukan Sekte Naga Darah. Kabut tebal menyelimuti pohon-pohon raksasa, dan suara bisikan kuno terdengar lebih jelas, seolah hutan itu hidup dan berbicara. Wei Chen, Li Qing, Zhao Yan, Su Ling, Xiao Mei, Liang Shu, dan Gu Tao melangkah dengan hati-hati, pedang dan senjata mereka siap di tangan. Tubuh Feng Huo telah mereka kubur di bawah pohon besar, menandainya dengan serulingnya sebagai kenangan terakhir.
Wei Chen berjalan di depan, pedang kayunya terhunus, matanya penuh tekad meski air matanya masih mengering di pipi. Kematian Feng Huo telah mengubahnya—ia tidak lagi naif seperti dulu. Rasa bersalah dan kemarahan membakar di hatinya, tapi ia mencoba menahannya, mengingat kata-kata terakhir Feng Huo: "Lindungi yang tersisa…"
Li Qing memimpin rombongan, pedang peraknya berkilau samar di bawah cahaya redup yang menembus kabut. "Kita harus menemukan Batu Penyegel Suci secepat mungkin," katanya, suaranya tegas tapi penuh kesedihan. "Demi Feng Huo… kita tidak boleh gagal."
Zhao Yan mengangguk, tombak emasnya bersandar di bahu, tapi senyum ceria yang biasa menghiasi wajahnya kini terasa dipaksakan. "Kakak Sulung benar," katanya, suaranya berusaha penuh semangat. "Kita harus terus maju, Chenchen. Feng Huo pasti ingin kita menyelesaikan misi ini."
Su Ling berjalan di samping Wei Chen, matanya penuh kesedihan. "Chenchen… kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut. "Aku… aku tahu kau sangat dekat dengan Kakak Ketiga."
Wei Chen menatap Su Ling, mencoba tersenyum meski hatinya hancur. "Aku… aku akan baik-baik saja, Kakak Ketujuh," jawabnya, suaranya pelan. "Aku harus kuat… demi kalian semua."
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari dalam hutan, diikuti oleh hawa dingin yang lebih kuat dari sebelumnya. Pohon-pohon di sekitar mereka bergerak, daun-daunnya bergetar, dan suara bisikan kuno itu kembali terdengar, lebih jelas dari sebelumnya. "Kalian… mengapa datang ke sini…?" suara itu bergema, penuh wibawa dan misteri, seolah berasal dari pohon raksasa di depan mereka.
Li Qing mengangkat pedangnya, matanya menyipit penuh kewaspadaan. "Itu… roh kuno," katanya, suaranya tegas. "Mereka penjaga Hutan Roh Kuno… dan mungkin penjaga Batu Penyegel Suci."
Wei Chen melangkah maju, pedang kayunya siap di tangan. "Kami datang untuk mengambil Batu Penyegel Suci," katanya, suaranya penuh tekad. "Celah-celah Dunia Iblis mulai terbuka, dan kami harus menyegelnya untuk menyelamatkan dunia ini."
Pohon raksasa itu bergetar, cabang-cabangnya bergerak seolah hidup, dan suara itu kembali terdengar. "Kalian… membawa kegelapan di hati… terutama kau, anak muda…" suara itu terdengar lebih dalam, seolah menatap langsung ke jiwa Wei Chen. "Relik Darah Abadi… itu membawa kutukan… apakah kau yakin bisa mengendalikannya?"
Wei Chen menatap pohon itu, jantungnya berdegup kencang. "Aku… aku akan mengendalikannya," jawabnya, suaranya penuh tekad meski ada sedikit keraguan. "Aku tidak akan membiarkan kegelapan menguasaiku."
Roh kuno itu terdiam sejenak, lalu suaranya kembali terdengar. "Batu Penyegel Suci ada di jantung hutan… tapi untuk mendapatkannya, kalian harus melewati ujian kami… dan menghadapi kegelapan di hati kalian sendiri…" Pohon itu bergetar lagi, dan kabut di sekitar mereka membentuk jalur kecil yang menuju lebih dalam ke hutan.
Li Qing mengangguk, pedangnya diturunkan. "Kita harus lanjutkan," katanya, suaranya tegas. "Jalur ini pasti menuju Batu Penyegel Suci."
Mereka melangkah mengikuti jalur itu, tapi suasana terasa semakin mencekam. Kabut semakin tebal, dan suara-suara aneh terdengar dari segala arah—lolongan binatang iblis, bisikan roh-roh kuno, dan suara langkah kaki yang samar. Wei Chen berjalan di depan, matanya penuh kewaspadaan, tapi pikirannya masih dipenuhi rasa bersalah atas kematian Feng Huo.
Malam itu, mereka mendirikan perkemahan kecil di tengah hutan, membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Wei Chen duduk di dekat api, menatap nyala api dengan tatapan kosong. Su Ling duduk di sampingnya, matanya penuh kesedihan.
"Chenchen… aku… aku ingin cerita sesuatu," kata Su Ling, suaranya pelan dan penuh emosi. "Aku… aku dulu anak jalanan. Aku tidak punya siapa-siapa, dan aku selalu merasa tidak pantas jadi bagian dari Puncak Awan Suci. Tapi kau… kau selalu membuatku merasa diterima. Kau… kau seperti adik kandungku."
Wei Chen menatap Su Ling, matanya melebar penuh keterkejutan. "Kakak Ketujuh…" gumamnya, suaranya penuh kehangatan. "Aku… aku tidak tahu kau pernah merasa seperti itu. Tapi bagiku, kau selalu kakak yang luar biasa. Terima kasih… karena selalu ada untukku."
Su Ling tersenyum, air matanya menetes. "Terima kasih, Chenchen," katanya, suaranya penuh kelegaan. "Aku… aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin kehilangan siapa pun lagi… seperti kita kehilangan Kakak Ketiga."
Wei Chen memeluk Su Ling dengan erat, hatinya terasa lebih ringan meski hanya sedikit. "Aku juga tidak ingin kehilangan kalian, Kakak Ketujuh," katanya, suaranya penuh tekad. "Aku akan melindungi kalian semua… aku janji."
Namun, di tengah momen hangat itu, Zhao Yan tiba-tiba berdiri, tombak emasnya siap di tangan. "Aku mendengar sesuatu," katanya, suaranya penuh kewaspadaan. "Ada yang mendekat… dan auranya sangat jahat."
Li Qing, Xiao Mei, Liang Shu, dan Gu Tao juga berdiri, senjata mereka siap. Wei Chen dan Su Ling segera berdiri, pedang kayu Wei Chen terhunus, matanya menyipit penuh kewaspadaan. Dari balik kabut, puluhan binatang iblis muncul—serigala raksasa dengan mata merah menyala, taring mereka meneteskan air liur beracun. Di belakang mereka, sekelompok kultivator Sekte Naga Darah muncul, dipimpin oleh seorang tetua lain yang auranya lebih kuat dari Elder Hu."
Anak-anak Puncak Awan Suci!" teriak tetua itu, suaranya penuh kebencian. "Kalian tidak akan pernah sampai ke jantung hutan! Matilah di sini!"
Li Qing melangkah maju, pedang peraknya menciptakan gelombang energi perak—Tebasan Awan Penghancur. Zhao Yan melompat ke depan, tombak emasnya berputar, menciptakan angin puyuh emas—Tombak Emas Penusuk Langit. Namun, jumlah musuh terlalu banyak, dan binatang iblis itu sangat kuat, membuat mereka kewalahan.
Wei Chen melancarkan Tebasan Awan Murni, gelombang energi putih bercampur merah yang menghabisi beberapa binatang iblis, tapi qi-nya kembali bergetar liar, dipicu oleh kemarahan dan rasa bersalah yang masih membakar di hatinya. Ia mencoba mengendalikannya, tapi tiba-tiba, sebuah serangan dari samping melesat ke arahnya—gelombang energi darah yang ganas.
"Chenchen!" teriak Zhao Yan, melompat di depan Wei Chen untuk menghalau serangan itu. Tombak emasnya menciptakan perisai energi emas, tapi serangan itu terlalu kuat. Gelombang energi darah itu menghantam Zhao Yan, membuatnya terpental ke belakang, darah mengalir dari mulutnya.
"Kakak Kedua!" teriak Wei Chen, matanya melebar penuh kengerian. Ia berlari ke arah Zhao Yan, tapi pertarungan di sekitarnya semakin kacau, dan musuh terus menyerang tanpa henti.
Di markas Sekte Naga Darah, Mo Tian dan Saudara Gu menatap cermin kuno, senyum licik menghiasi wajah mereka. "Satu lagi yang akan mati…" kata Saudara Gu, suaranya penuh rencana jahat. "Kehilangan ini akan menghancurkan hati murni bocah itu sepenuhnya."
Mo Tian mengangguk, matanya menyala penuh kebencian. "Di Hutan Roh Kuno, kita akan akhiri semuanya," gumamnya, suaranya penuh dendam. "Relik Darah Abadi akan menjadi milikku."
Di tengah Hutan Roh Kuno yang penuh kegelapan, Wei Chen memeluk Zhao Yan, hatinya dipenuhi ketakutan akan kehilangan satu lagi orang yang ia sayangi. Dunia kultivasi yang kejam terus mengujinya, dan ia tahu—ujian ini belum selesai.