Cherreads

Chapter 2 - BAB 2 Luka yang Terlihat

Seoul pada akhir pekan selalu ramai. Orang-orang berlalu-lalang di mal besar, berbelanja, bercengkerama, atau sekadar menikmati suasana kota yang sibuk. Jungwon sedang berada di mal itu, mencoba mengisi waktu untuk melupakan sejenak kekosongan di hatinya. Ia berjalan tanpa tujuan, sekadar menikmati hiruk-pikuk keramaian di sekitarnya, berharap keramaian itu bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang terus menghantui.

Dengan tangan yang menggenggam kantong belanja kecil, Jungwon berjalan di antara deretan toko, pikirannya melayang pada Gabriel. Semakin ia mencoba untuk tidak memikirkannya, semakin kuat ingatan tentang Gabriel muncul. Senyuman Gabriel, tawa kecilnya, bahkan suara lembutnya saat mereka berbincang. Semuanya terasa nyata, meski saat ini ia hanya bisa mengingat kenangan itu dari kejauhan.

Ketika ia berbelok menuju lorong utama mal, tiba-tiba pandangannya terhenti. Di kejauhan, berdiri seseorang yang sangat familiar. Hati Jungwon berdetak lebih cepat saat ia menyadari bahwa itu adalah Gabriel. Wajahnya yang lembut, rambutnya yang tergerai indah—tidak mungkin ia salah mengenalinya. Namun, detik berikutnya, Jungwon melihat seseorang berdiri di samping Gabriel. Seseorang yang juga ia kenali dengan baik—Beomgyu.

Gabriel dan Beomgyu tampak sangat akrab. Mereka tertawa, saling berbicara dengan santai, seakan-akan tidak ada dunia lain di sekitar mereka. Mereka terlihat bahagia bersama, pemandangan yang menghancurkan hati Jungwon seketika. Gabriel, orang yang dulu selalu ada bersamanya, kini terlihat begitu dekat dengan orang lain.

Jungwon terdiam di tempatnya, seolah kakinya tertancap di lantai marmer mal. Hatinya remuk, dan pikiran serta emosinya kacau. Bagian dari dirinya ingin berlari dan menghindar dari pemandangan itu, sementara bagian lain ingin mendekati mereka, meski ia tahu ini akan sangat menyakitkan. Namun, sebelum ia bisa memutuskan apa yang harus dilakukan, Gabriel melihatnya.

Mata mereka bertemu dari kejauhan, dan untuk sejenak, waktu terasa berhenti. Gabriel terlihat terkejut melihat Jungwon di sana. Beomgyu yang menyadari perubahan ekspresi Gabriel pun menoleh, dan matanya bertemu dengan Jungwon.

Dengan tarikan napas dalam, Jungwon memaksakan diri untuk tersenyum. Senyum yang tidak sepenuhnya tulus, tetapi cukup untuk menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tahu bahwa Gabriel bisa membaca apa yang ada di balik senyuman itu, tetapi Jungwon tidak ingin terlihat rapuh di depannya—terutama di hadapan Beomgyu.

Gabriel memberi isyarat kepada Beomgyu untuk menunggu sebentar, kemudian berjalan mendekati Jungwon. Langkah-langkah Gabriel terasa lambat bagi Jungwon, setiap detik membuatnya semakin sadar bahwa hatinya sedang terluka. Saat Gabriel semakin dekat, Jungwon bisa melihat keraguan di mata Gabriel—keraguan yang ia tahu berasal dari rasa bersalah.

"Hai, Jungwon," sapa Gabriel dengan suara pelan, hampir tidak terdengar di tengah keramaian.

"Hai," balas Jungwon dengan senyum yang tetap ia pertahankan, meskipun dadanya sesak. "Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini."

Gabriel tampak canggung, memainkan ujung rambutnya dengan gugup. "Iya… aku juga nggak nyangka. Kamu lagi apa di sini?"

"Oh, cuma jalan-jalan aja. Nggak ada yang spesial." Jungwon berusaha menjaga suaranya tetap ringan, meskipun hatinya terasa berat.

Gabriel melirik Beomgyu yang masih menunggu di kejauhan. "Aku… aku di sini sama Beomgyu."

Jungwon mencoba menahan napas. Nama itu, Beomgyu, terdengar seperti dentuman di telinganya. Meski sudah tahu dari penglihatannya tadi, mendengar Gabriel mengatakannya langsung membuat rasa sakit itu terasa lebih nyata. Namun, Jungwon berusaha keras untuk tetap tenang.

"Ah, iya. Aku lihat kalian tadi," kata Jungwon dengan senyum yang dipaksakan. "Kalian kelihatan seru tadi. Aku senang lihat kamu bahagia."

Gabriel menatapnya, seolah merasakan kebohongan di balik kata-kata itu. "Jungwon, aku…"

"Nggak apa-apa, Gabriel," potong Jungwon, berusaha menghentikan Gabriel sebelum kata-kata yang lebih menyakitkan keluar dari mulutnya. "Aku ngerti. Kamu nggak perlu jelasin apa-apa."

Gabriel tampak terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Jungwon berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya hatinya saat itu. Senyuman di wajahnya tetap ada, meskipun dalam hatinya, ia merasa seolah ingin menangis. Setiap detik bersama Gabriel membuat luka di hatinya semakin dalam.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Gabriel berkata, "Aku senang kamu baik-baik aja, Jungwon. Aku… aku harap kita bisa tetap berteman."

Kata-kata itu adalah pukulan terakhir bagi Jungwon. "Teman?" pikirnya dalam hati. Bagaimana bisa mereka hanya menjadi teman setelah semua yang mereka lalui bersama? Namun, Jungwon tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.

Senyum yang penuh kepedihan tetap terpancar di wajahnya saat ia mengangguk. "Tentu. Kita selalu bisa jadi teman."

Gabriel tersenyum tipis, meskipun senyum itu penuh rasa bersalah. "Terima kasih, Jungwon."

"Selalu," jawab Jungwon, meski dalam hati ia tahu bahwa mengatakan hal itu tidak akan membuat rasa sakitnya hilang.

Gabriel menoleh sebentar ke arah Beomgyu yang tampak menunggu dengan sabar, sebelum akhirnya berkata, "Aku harus balik ke Beomgyu sekarang."

Jungwon mengangguk, menelan perasaannya yang pahit. "Iya, nggak apa-apa. Jangan biarin dia nunggu lama."

Dengan langkah perlahan, Gabriel berjalan kembali ke Beomgyu, meninggalkan Jungwon sendirian di tengah keramaian yang kini terasa begitu sepi. Jungwon menatap punggung Gabriel yang semakin jauh, hatinya hancur berkeping-keping.

Ketika akhirnya Gabriel dan Beomgyu menghilang di antara kerumunan, Jungwon berdiri di tempatnya, memandang kosong ke depan. Senyum yang tadi ia paksakan akhirnya menghilang, dan yang tersisa hanyalah perasaan sakit yang begitu mendalam. Di balik penampilan tegar yang ia tunjukkan, Jungwon merasa seolah-olah dunianya runtuh.

Ia tahu bahwa Gabriel mungkin tidak akan kembali, dan pertemuan itu adalah pengingat yang menyakitkan akan hal itu. Meski begitu, Jungwon tetap berusaha bertahan. Hanya saja, semakin lama, harapan yang ia pegang semakin terasa sia-sia.

Dengan langkah yang terasa berat, Jungwon berjalan keluar dari mal, meninggalkan kenangan yang kini hanya menjadi luka di hatinya. Sambil menatap langit yang mulai gelap, Jungwon merasakan air mata yang mulai membasahi pipinya. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya menangis. Bukan karena ia lemah, tetapi karena ia tahu bahwa menahan semuanya hanya akan membuatnya semakin hancur.

Di tengah keramaian Seoul yang tidak pernah berhenti, Jungwon merasa paling sendirian. Cinta yang dulu begitu ia jaga kini tampak begitu jauh, seakan hilang bersama orang yang ia cintai.

Setelah pertemuannya dengan Gabriel di mal, hati Jungwon terasa semakin hancur. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap tersenyum di depan Gabriel dan Beomgyu, kenyataannya jauh dari itu. Di dalam hatinya, rasa sakit dan kekecewaan menumpuk. Setiap langkah yang Gabriel ambil, setiap detik yang berlalu tanpa kehadirannya, membuat Jungwon semakin merasa kehilangan.

Gabriel kembali ke sisi Beomgyu, tersenyum kecil sebelum mereka berdua melanjutkan berjalan di sepanjang lorong mal yang ramai. Namun, bagi Jungwon, seolah dunia di sekitarnya tiba-tiba terhenti. Keramaian yang biasanya menjadi pengalih perhatian kini terasa seperti latar kosong yang tak berarti.

Dengan napas yang berat, Jungwon menyandarkan tubuhnya di tembok terdekat, berusaha menenangkan dirinya. Namun, tak ada yang bisa menahan rasa sakit di dalam hatinya. Perpisahan ini lebih menyakitkan dari yang pernah ia bayangkan. Jungwon tahu bahwa pertemuan tadi adalah tanda akhir dari hubungan mereka. Meski Gabriel tidak mengucapkannya secara langsung, kehadiran Beomgyu di sisinya sudah cukup jelas.

Air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun ia mati-matian mencoba menahannya. Jungwon menundukkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berharap rasa sakit fisik bisa menutupi rasa sakit emosional yang dirasakannya. Namun, itu tak berhasil. Perasaan hancur yang selama ini ia pendam akhirnya pecah juga.

Beberapa orang di sekitar mungkin melirik Jungwon dengan penuh rasa ingin tahu, tetapi tidak ada yang menghampirinya. Ia sendirian di tengah keramaian, terjebak dalam badai perasaannya sendiri. Ia merasa begitu rapuh, seolah-olah satu sentuhan saja bisa membuatnya jatuh dan tak pernah bangun lagi.

Namun, tak lama kemudian, sebuah suara lembut memecah keheningan yang melingkupinya.

"Jungwon?"

Jungwon mengangkat kepalanya dengan perlahan, dan di depannya berdiri Sunoo—teman terdekatnya. Sunoo menatapnya dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia mungkin tidak tahu apa yang telah terjadi, tetapi melihat Jungwon dalam keadaan seperti ini membuatnya sadar bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.

"Sunoo…" suara Jungwon terdengar serak, matanya yang berair berusaha menghindari tatapan Sunoo.

Sunoo mendekat, tanpa ragu ia menepuk bahu Jungwon dengan lembut. "Kamu nggak apa-apa?"

Jungwon hanya menggeleng pelan. Ia tidak punya kekuatan untuk menjelaskan semuanya sekarang, tapi ia tahu Sunoo bisa membaca ekspresinya dengan baik. Mereka sudah bersahabat begitu lama sehingga Sunoo bisa mengerti tanpa perlu kata-kata.

Sunoo, tanpa banyak bicara, meraih tangan Jungwon dan membawanya keluar dari keramaian mal, menuju tempat yang lebih sepi. Ia tahu bahwa Jungwon membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, jauh dari pandangan orang-orang.

Mereka duduk di bangku taman kecil di dekat mal, dan di sana, Jungwon akhirnya membiarkan dirinya menangis. Sunoo duduk di sampingnya, menunggu dengan sabar, memberikan waktu yang Jungwon butuhkan. Tangisannya tidak keras, tapi penuh dengan rasa sakit yang telah lama dipendam. Sunoo tidak mengatakan apa-apa—dia tahu, di saat-saat seperti ini, kehadirannya saja sudah cukup.

Setelah beberapa saat, tangis Jungwon mulai mereda. Ia menghapus air matanya dengan lengan jaketnya, meski wajahnya masih terlihat lelah dan penuh luka. "Aku ketemu Gabriel tadi," kata Jungwon pelan, suaranya masih terdengar lemah.

Sunoo menoleh, namun ia tidak langsung menyela. Ia menunggu Jungwon melanjutkan.

"Dia… dia sama Beomgyu," lanjut Jungwon, suaranya hampir berbisik. "Mereka… kelihatan bahagia."

Sunoo menarik napas panjang, mencoba memahami perasaan yang mungkin sedang berkecamuk dalam hati sahabatnya. "Aku ngerti," jawabnya lembut. "Aku ngerti gimana beratnya buat kamu lihat itu."

Jungwon tertunduk lagi, merasakan luka yang terbuka semakin lebar. "Aku udah coba kuat… aku coba buat tersenyum di depan mereka, Sunoo. Tapi dalam hati… aku merasa hancur. Aku nggak tahu harus gimana lagi."

Sunoo menghela napas panjang, lalu menatap langit sejenak sebelum berkata, "Jungwon, kamu nggak harus selalu pura-pura kuat. Kadang, kita perlu mengakui kalau kita lagi rapuh. Nggak apa-apa merasa sedih, kecewa. Kamu udah berjuang keras selama ini, dan itu bukan hal yang mudah."

Jungwon menatap Sunoo, matanya yang memerah masih menunjukkan sisa-sisa kesedihannya. "Tapi Gabriel… dia udah pergi. Dia udah sama orang lain."

Sunoo menggenggam bahu Jungwon dengan kuat namun lembut. "Jungwon, kamu pantas mendapatkan seseorang yang benar-benar menghargai perasaan kamu. Gabriel mungkin bukan orang yang tepat buat kamu sekarang, dan mungkin rasanya sakit untuk menerimanya. Tapi kamu harus ingat, hidup nggak berhenti di sini. Masih ada banyak hal yang bisa bikin kamu bahagia lagi."

Kata-kata Sunoo mungkin tidak langsung menghapus rasa sakit di hati Jungwon, tetapi setidaknya itu memberi sedikit kekuatan bagi Jungwon untuk menghadapi kenyataan. Sunoo benar—ia tidak perlu pura-pura kuat sepanjang waktu. Ia boleh merasakan kesedihan, namun ia juga tahu bahwa suatu saat nanti, rasa sakit ini akan berlalu.

Dengan napas yang dalam, Jungwon mengangguk pelan. Meskipun luka itu masih segar, ia tahu bahwa Sunoo ada di sampingnya, dan itu memberikan sedikit kenyamanan di tengah kegelapan yang ia rasakan. Mereka duduk bersama dalam diam, membiarkan angin malam Seoul membawa perasaan mereka, meskipun hanya untuk sesaat.

Waktu terasa berjalan lambat, seperti setiap detik yang berlalu menambah berat pada hati Jungwon. Setelah pertemuan yang menghancurkan dengan Gabriel dan Beomgyu, ia merasa seolah-olah beban dunia ada di pundaknya. Semua kenangan indah bersama Gabriel, semua janji yang mereka buat, kini terasa begitu jauh, seolah-olah semuanya hanyalah sebuah mimpi. Setiap detik yang berlalu hanya mengingatkannya betapa ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti.

Sementara Sunoo duduk di sampingnya, diam, menunggu dan memberikan ruang bagi Jungwon untuk meresapi perasaannya, suasana sekitar terasa begitu sunyi. Hanya ada suara napas mereka yang bersatu dalam keheningan malam yang mulai merayap di atas Seoul.

Namun, dalam kesunyian itu, akhirnya tangisan yang sempat tertahan kembali meledak. Itu datang dengan kekuatan yang tak bisa lagi ia tahan. Jungwon menundukkan kepala, mengeratkan kedua tangannya di dada, dan tanpa peringatan, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah. Tangisannya tidak terdengar keras, tetapi begitu dalam, begitu penuh dengan rasa sakit yang tak terucapkan. Hati yang hancur, jiwa yang terluka—semua itu kini keluar dengan cara yang tak bisa lagi ia tahan.

"Sunoo..." suaranya pecah di tengah tangisannya, seolah-olah nama sahabatnya itu menjadi satu-satunya yang bisa ia sebutkan untuk memanggil bantuan. Seluruh tubuhnya bergetar, tak hanya karena kesedihan, tetapi karena ketidakmampuan untuk mengendalikan perasaan yang telah lama terpendam.

Sunoo, yang sejak tadi duduk dengan tenang di samping Jungwon, segera meraih tubuh Jungwon begitu ia mendengar tangisan sahabatnya yang pecah. Tanpa ragu, Sunoo menarik tubuh Jungwon ke dalam pelukannya, membiarkan Jungwon menangis sepuasnya dalam pelukan yang hangat dan penuh kehangatan.

Pelukan Sunoo adalah sesuatu yang tidak terduga, tetapi itu adalah pelukan yang sangat dibutuhkan oleh Jungwon. Ia merasakan kenyamanan dalam lengan Sunoo yang kuat, dan meskipun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Sunoo, semuanya terasa cukup. Pelukan itu seolah-olah berkata, "Aku di sini untukmu, tidak ada yang perlu kamu takutkan."

Jungwon merasa tubuhnya semakin lemas dalam pelukan itu. Ia menangis lebih keras, tangisannya semakin lama semakin pecah, seolah-olah segala rasa sakit yang ia pendam bertahun-tahun kini keluar sekaligus. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menangis, merasakan kelegaan yang datang begitu saja setelah sekian lama menahan perasaan itu sendirian.

Sunoo membiarkannya. Ia tidak mengucapkan kata-kata, tidak mencoba untuk memberi nasihat atau mencari solusi. Ia hanya ada di sana, memberi tempat bagi Jungwon untuk merasakan apa yang ia rasakan, tanpa harus memikirkan apa pun. Pelukan itu adalah hadiah yang tak terucapkan—hadiah dari seorang sahabat yang mengerti lebih dari siapa pun.

"Aku nggak kuat, Sunoo," kata Jungwon akhirnya, suaranya terbata-bata, masih terengah-engah karena tangisannya yang tak kunjung reda. "Aku nggak tahu harus gimana lagi. Semua terasa hilang. Gabriel… dia udah pergi… dan aku nggak bisa ngapa-ngapain."

Sunoo memeluknya lebih erat, seperti ingin meyakinkan Jungwon bahwa tidak ada yang salah dengan perasaannya. "Aku tahu kamu merasa hancur, Jungwon. Dan nggak ada yang bisa nyakitin lebih dari kehilangan seseorang yang kamu cintai."

Tapi Sunoo menambahkan dengan suara pelan, penuh pengertian, "Tapi jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kesedihan itu. Aku tahu kamu kuat. Aku tahu kamu bisa melewatinya."

Jungwon mengangkat kepala, menatap Sunoo dengan mata yang penuh dengan air mata. "Tapi kenapa harus aku yang merasa seperti ini? Kenapa aku yang harus menunggu, sementara dia bahagia dengan orang lain?"

Sunoo menarik napas dalam, mengusap lembut punggung Jungwon. "Kadang hidup nggak sesuai harapan kita, Jungwon. Kita nggak bisa memaksakan orang untuk mencintai kita seperti yang kita inginkan. Tapi itu nggak berarti kamu nggak layak dicintai."

Jungwon menatap Sunoo dalam diam, merasa sedikit kelegaan meskipun hatinya masih terasa sakit. Pelukan Sunoo yang hangat memberi sedikit kenyamanan, tapi luka di hatinya masih terlalu besar untuk disembuhkan hanya dalam satu malam. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di balik kesedihannya. Mungkin, perlahan-lahan, ia akan bisa sembuh.

"Aku nggak tahu kalau aku bisa lewat ini sendirian, Sunoo," kata Jungwon dengan suara pelan, lebih tenang setelah beberapa saat. "Tapi aku tahu, selama kamu ada di sini, aku nggak sendirian."

Sunoo tersenyum, meskipun senyumnya penuh keharuan. "Kamu nggak akan pernah sendirian, Jungwon. Aku selalu di sini buat kamu, kapan pun kamu butuh."

Pelukan itu berlangsung beberapa menit lagi, hingga akhirnya tangisan Jungwon mereda sepenuhnya. Ia merasa lega, meskipun hatinya masih belum sepenuhnya pulih. Namun, di pelukan Sunoo, ia menemukan sedikit kekuatan untuk terus berjalan. Meski perpisahan dengan Gabriel adalah hal yang sulit, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak perlu melaluinya sendirian.

Malam itu, di bawah langit Seoul yang gelap, dua sahabat itu duduk bersama, berbagi keheningan yang penuh arti. Dan meskipun luka di hati Jungwon masih dalam, ia merasa sedikit lebih baik—karena ia tahu bahwa ada seseorang yang peduli dan siap membantunya melewati hari-hari sulit ini.

More Chapters