Dua minggu telah berlalu sejak Jungwon sadar dan mulai menjalani pemulihannya. Hari itu, suasana di kamar rumah sakit jauh lebih cerah daripada biasanya. Tirai jendela dibuka lebar, udara segar masuk dengan lembut, membawa aroma bunga dari taman di bawah. Di meja samping ranjangnya, ada vas berisi bunga matahari yang dikirim oleh Engene dari Jepang dengan surat kecil bertuliskan, "The sun will rise again, just like your smile."
Pagi itu, Jungwon duduk di sofa kecil di dekat jendela, mengenakan sweater putih bersih dan celana training longgar. Ia memegang buku jurnal yang diberikan psikolognya beberapa hari lalu—buku tempat ia menulis segala perasaan dan isi hati yang selama ini tidak bisa ia ucapkan.
Tulisan tangannya memenuhi beberapa halaman pertama.
"Hari ini aku tidak merasa hampa. Mungkin belum bahagia, tapi hatiku tidak seberat dulu."
"Aku masih mengingat Gabriel, tapi aku mulai tidak menangis setiap kali namanya terlintas."
"Aku tidak membenci dia. Aku hanya sedang belajar menerima bahwa tidak semua cinta harus dimiliki."
Pintu kamar terbuka pelan. Sunoo masuk dengan membawa baju ganti dan perlengkapan kecil untuk terapi seni yang akan dilakukan sore nanti.
"Jungwon-ah, hari ini kamu kelihatan lebih tenang. Kamu tidur nyenyak tadi malam?" tanya Sunoo sambil menaruh tas di meja.
Jungwon menoleh dan mengangguk, senyumnya kecil tapi nyata. "Aku tidur lumayan. Mimpiin kita latihan bareng."
Sunoo tertawa, "Latihan dansa atau latihan tarik napas dalam-dalam?"
"Latihan ngafalin koreografi yang super cepat," jawab Jungwon sambil ikut tertawa.
Tak lama kemudian, Heeseung, Jay, dan Sunghoon masuk. Mereka membawa sarapan dan beberapa dokumen dari perusahaan—bukan untuk membuat Jungwon kembali bekerja, tapi sekadar menunjukkan bahwa tim produksi dan manajemen menunggu kapan pun ia siap. Ada pesan kecil dari CEO: "Jungwon, kamu bukan hanya aset, kamu keluarga. Fokus pulih dulu, baru kita melangkah lagi bareng."
Jay duduk di sisi tempat tidur, lalu berkata, "Kita dapat undangan dari festival healing di Jeju bulan depan. Nggak ada tekanan buat tampil, hanya datang, duduk, dan menikmati. Mau ikut?"
Jungwon terdiam sejenak. Ini pertama kalinya ada tawaran aktivitas di luar rumah sakit.
"Mau… Tapi pelan-pelan, ya?" ucapnya akhirnya, pelan tapi pasti.
Heeseung mengangguk, lalu memberikan satu undangan khusus berwarna emas. "Ini bukan untuk kerja, Won. Ini buat kamu menikmati dunia lagi. Dunia yang nggak penuh tekanan. Hanya alam, musik, dan udara segar."
Di sudut ruangan, Niki menyiapkan playlist musik yang katanya bisa bantu suasana hati Jungwon lebih ceria. Saat lagu "Magic Shop" mulai mengalun pelan dari speaker kecilnya, ruangan itu seakan berubah jadi ruang penyembuhan yang sebenarnya—bukan karena fasilitasnya, tapi karena cinta dan dukungan yang tak henti datang dari mereka yang paling peduli.
Jungwon memejamkan mata sejenak. Ia merasa tenang. Tidak ada Gabriel, tidak ada beban hari kemarin. Yang ada hanya saat ini—detik di mana ia tidak lagi merasa sendirian.
Dan saat ia membuka matanya, ia berkata dengan suara lirih tapi penuh tekad:
"Aku akan melangkah lagi. Meski perlahan, meski belum sepenuhnya kuat… aku ingin hidup lagi, untuk diriku sendiri."
Semua member tersenyum. Tak ada yang bertepuk tangan atau memberi selamat dengan berlebihan. Tapi mereka tahu, hari itu… adalah langkah pertama Jungwon kembali menjadi dirinya yang dulu—atau bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Langit sore di Seoul mulai berubah warna. Jingga lembut menyelimuti jendela kamar rumah sakit tempat Jungwon masih menjalani masa pemulihan. Setelah terapi seni yang berjalan lancar, ia memutuskan duduk di balkon kecil rumah sakit yang hanya bisa diakses oleh pasien rawat inap. Ditemani secangkir teh hangat dan earphone di telinganya, Jungwon menatap langit luas—berusaha menghapus satu per satu kenangan menyakitkan.
Sudah hampir tiga minggu sejak peristiwa di panggung itu. Tiga minggu pula sejak Gabriel terakhir datang ke rumah sakit, lalu pergi tanpa meninggalkan apa-apa, selain luka yang semakin dalam.
Namun hari ini berbeda.
Saat Jungwon baru saja hendak membuka bukunya untuk menulis jurnal, ponselnya bergetar pelan di atas meja. Ia melirik sekilas, tidak berniat terlalu peduli. Tapi langkahnya terhenti saat melihat nama yang muncul di layar:
Beomgyu Hyung
Detik itu juga, jantungnya berdetak lebih cepat. Jemarinya membeku di atas layar. Matanya membulat, napasnya tercekat.
"Kenapa… sekarang?" gumamnya.
Ia tidak mengangkatnya. Panggilan pertama berakhir.
Namun belum sampai satu menit, ponselnya kembali bergetar.
Beomgyu Hyung – Calling Again
Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol hijau.
"H-Hyung…?" suara Jungwon terdengar pelan, hampir tak terdengar.
"Won, aku… aku tahu mungkin ini nggak pantas. Tapi bisakah kita ketemu? Hanya sebentar saja. Aku tahu kamu mungkin membenciku… tapi aku minta waktu. Ada hal yang harus aku sampaikan."
Jungwon terdiam. Dalam pikirannya, suara-suara lama kembali berputar. Ingatan tentang saat Beomgyu datang ke belakang panggung bersama Gabriel. Suara tawa mereka, permintaan maaf yang diikuti dengan penolakan Gabriel, lalu tubuhnya yang lemas dan tangisannya yang pecah malam itu…
"Apa… Gabriel juga akan ikut?" tanya Jungwon lirih, hampir seperti bisikan.
"Enggak. Ini cuma aku. Aku cuma… mau bicara sebagai Beomgyu. Bukan sebagai bagian dari semua drama ini. Aku janji nggak akan bikin kamu tambah sakit," ucap Beomgyu, suaranya terdengar lebih tenang tapi juga ragu.
Jungwon memejamkan mata, mencoba menenangkan dadanya yang terasa sesak. Di satu sisi, ia ingin tetap menjaga jarak. Namun di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang ingin mendengar—meski hanya untuk mengerti.
"Di mana?" tanya Jungwon akhirnya, pelan.
"Ada kafe kecil di belakang rumah sakit, yang dekat taman. Aku tunggu di sana 30 menit lagi. Kalau kamu datang, aku bersyukur. Kalau enggak, aku juga akan mengerti."
Klik. Panggilan terputus.
Jungwon masih terduduk diam di balkon. Pandangannya kosong. Tangannya mencengkeram gelas teh yang kini mulai dingin. Dalam hatinya, badai kecil kembali muncul. Tapi kali ini, ia tak mau larut terlalu dalam.
Ia menghela napas panjang, lalu berdiri. Tangannya masih gemetar, tapi langkah kakinya pelan-pelan menuju kamar.
Dari kejauhan, Sunoo yang melihat Jungwon masuk dengan raut wajah pucat langsung menghampirinya.
"Won? Kamu kenapa? Wajahmu… kelihatan pucat," tanya Sunoo khawatir.
Jungwon menoleh dan mencoba tersenyum—senyum tipis yang sulit terlukis. "Aku mau ke luar sebentar. Ada yang harus aku temui…"
Sunoo ingin bertanya lebih lanjut, tapi Jungwon sudah mengambil jaketnya dan melangkah keluar.
Dan saat itu, langit Seoul benar-benar berubah kelabu. Bukan karena hujan, tapi karena hari itu, Jungwon sekali lagi harus berhadapan dengan masa lalu yang belum benar-benar hilang dari hatinya.
Langit senja Seoul mulai berubah gelap saat Jungwon tiba di kafe kecil yang disebutkan Beomgyu. Suasana di sana tenang, hanya ada beberapa orang yang menikmati kopi mereka dalam diam. Aroma kopi dan kayu manis mengisi udara—tapi tak ada satu pun aroma yang mampu menenangkan gejolak hati Jungwon sore itu.
Beomgyu duduk di sudut ruangan, mengenakan kemeja putih dengan coat hitam yang rapi. Saat melihat Jungwon datang, ia langsung berdiri. Wajahnya tampak canggung tapi penuh tekad.
"Jungwon-ah…" sapanya pelan, mencoba tersenyum walau gugup.
Jungwon hanya mengangguk kecil, lalu duduk di hadapan Beomgyu. Matanya kosong, namun sorotnya kuat—seperti seseorang yang bersiap untuk apapun yang akan terjadi.
"Terima kasih… kamu sudah datang," ucap Beomgyu, lalu menarik napas dalam. "Aku nggak akan lama."
Ia mengambil sebuah amplop putih dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja.
"Apa ini?" tanya Jungwon pelan, tatapannya tak lepas dari amplop tersebut.
Beomgyu menatapnya dalam, lalu menjawab tanpa berputar-putar.
"Itu undangan pertunanganku dengan Gabriel. Kami akan go public dalam acara kecil yang akan disiarkan salah satu stasiun TV. Aku tahu… ini kejam. Aku tahu kamu nggak pantas menerima undangan ini. Tapi aku… merasa kamu harus tahu langsung dariku. Bukan dari berita, bukan dari gosip."
Jungwon terdiam.
Amplop putih itu seketika terasa seperti batu besar yang menghantam dadanya. Tangannya mencengkeram celananya erat-erat di bawah meja. Tenggorokannya tercekat. Pandangannya mulai buram karena genangan air mata yang tertahan.
"Kapan?" bisiknya hampir tak terdengar.
"Minggu depan…"
Sunyi.
Detik itu juga, waktu seakan berhenti untuk Jungwon. Semua suara di kafe lenyap dari pendengarannya. Yang ia dengar hanya suara dalam kepalanya—fragmen memori saat ia dan Gabriel tertawa di latihan, saat Gabriel memeluknya diam-diam sebelum manggung, saat mereka saling berjanji akan bersama meski dunia berubah...
Semua kenangan itu kini berubah menjadi perih.
Jungwon mengangguk perlahan. Ia tidak berkata apa-apa selama beberapa detik. Ia hanya duduk diam, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Beomgyu. Tapi tubuhnya gemetar.
"Jungwon, aku—"
"Kamu tahu nggak, hyung…" Jungwon akhirnya membuka suara, suaranya pelan dan berat, "Setiap malam aku masih berharap dia akan balik. Aku masih ngecek HP tiap bangun tidur. Cuma buat lihat… siapa tahu ada pesan dari Gabriel."
Beomgyu menunduk. Suaranya tercekat. Tapi ia tidak bisa menyela. Ia tahu… tidak ada kata maaf yang cukup.
"Aku pernah jadi dunia buat dia," lanjut Jungwon, senyumnya pahit. "Tapi sekarang… dia bahkan nggak mau lihat aku. Dan kamu… yang dulu aku percaya."
Air mata pertama jatuh. Jungwon cepat-cepat menyekanya.
Tapi ia tetap duduk tegak.
"Tapi aku sadar… mencintai bukan berarti harus memiliki. Dan mungkin… mungkin sekarang waktunya aku belajar mengikhlaskan."
Beomgyu menatap Jungwon dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin berkata banyak hal, tapi Jungwon mengangkat tangannya pelan.
"Jangan bilang maaf lagi, hyung. Bukan karena aku nggak mau dengar. Tapi karena maafmu nggak akan bisa mengubah apa-apa."
Ia berdiri.
Mengambil amplop putih itu, lalu menatapnya sekali lagi sebelum meletakkannya kembali ke meja.
"Aku nggak akan datang. Tapi… semoga kalian bahagia."
Dan tanpa berkata lagi, Jungwon berbalik dan berjalan keluar dari kafe. Tubuhnya sedikit limbung, tapi ia melangkah mantap.
Di luar, malam Seoul mulai menyala. Lampu-lampu jalan menari-nari di matanya yang kembali basah. Ia bersandar di dinding luar kafe, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang.
"Hari ini aku kehilangan yang dulu aku jaga, tapi… aku juga menyelamatkan diriku sendiri."
Air matanya jatuh lagi.
Tapi kali ini bukan karena lemah.
Melainkan karena ia akhirnya berani melepaskan.