Cherreads

Chapter 9 - BAB 9 Tempat Pulang yang Paling Tenang

Langkah Jungwon menyusuri trotoar Seoul terasa berat sore itu. Udara malam menyapu wajahnya dengan dingin yang menggigit, tapi tidak lebih dingin dari perasaan di dadanya. Ia tak langsung kembali ke dorm—ia butuh waktu untuk sendiri, untuk mencerna kenyataan yang barusan menghantamnya seperti gelombang besar.

Namun, ketika akhirnya ia mendorong pintu dorm dan masuk ke dalam, wangi lembut makanan dan suara televisi menyambutnya. Heeseung yang duduk di sofa langsung menoleh begitu melihat Jungwon.

"Jungwon-ah…" sapanya pelan.

Jungwon hanya melempar senyum tipis dan melepas jaketnya dengan perlahan. Tapi Heeseung bisa melihat matanya—mata yang lelah, mata yang basah.

"Dari mana?" tanya Heeseung sambil bangkit dan berjalan mendekat.

Jungwon menunduk. Dia tak menjawab. Dia hanya duduk di meja makan yang kosong, menatap gelas air di depannya.

Heeseung duduk di seberangnya, tak menuntut jawaban.

Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga akhirnya Jungwon menarik napas dalam dan membuka suara, pelan tapi jelas.

"Aku barusan ketemu Beomgyu hyung…"

Heeseung mengerutkan dahi.

"Dia kasih aku undangan… tunangan."

Wajah Heeseung langsung berubah. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam ke arah Jungwon, dan ia menggertakkan giginya diam-diam.

"Dengan Gabriel?" tanyanya penuh tekanan.

Jungwon mengangguk pelan, senyum getir terpulas samar di wajahnya.

"Mereka akan umumkan di TV minggu depan. Dia bilang... dia mencintai Beomgyu."

Heeseung mengepalkan tangannya di atas meja.

Seketika ruangan terasa tegang.

"Kenapa kamu diam aja?" tanya Heeseung, suaranya rendah tapi penuh amarah yang tertahan. "Kenapa kamu terima semua ini sendirian?"

"Aku udah cukup, hyung…" Jungwon memaksakan senyum. "Aku capek. Aku cuma pengen semuanya selesai. Aku udah nggak mau lihat mereka lagi."

"Dan mereka tetap nyakitin kamu," gumam Heeseung, nadanya dingin. "Setelah semua yang kamu lewatin… dia masih tega."

Jungwon menggeleng. "Aku cuma pengen move on, hyung. Tapi kenapa rasanya setiap langkah maju… selalu ada yang tarik aku mundur."

Heeseung menatap adiknya itu lama, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan memutar meja dan berdiri di belakang Jungwon, menepuk pundaknya perlahan.

"Aku tahu kamu kuat, Won. Tapi kamu nggak harus kuat sendirian. Kita semua di sini. Aku, Jay, Sunghoon, Sunoo, semuanya. Kami sayang kamu."

Jungwon menutup matanya sejenak. Kata-kata Heeseung terasa seperti pelukan yang menenangkan hati yang retak.

"Dan kalau mereka masih ganggu kamu lagi… aku nggak akan tinggal diam," lanjut Heeseung, nada suaranya terdengar penuh perlindungan. "Aku bisa sabar, tapi bukan kalau itu menyangkut kamu."

Jungwon menunduk. Satu tetes air mata akhirnya jatuh di punggung tangannya.

"Terima kasih, hyung…" bisiknya pelan.

Heeseung tersenyum kecil, lalu merangkul Jungwon dari belakang, mengusap pelan kepalanya.

"Pulanglah, Won. Di sini tempatmu. Di sini… kamu dicintai tanpa syarat."

Dan malam itu, meski hati Jungwon masih penuh luka, ia tahu satu hal yang pasti:

Ia tidak sendiri.

Pintu dorm terbuka dengan suara yang mengejutkan. Semua mata menoleh ke arah pintu. Jungwon yang masih duduk di meja makan bersama Heeseung sontak berdiri ketika melihat sosok yang tidak asing masuk begitu saja.

Gabriel.

Tangannya menenteng kotak besar berisi barang-barang. Barang-barang yang dulu pernah ia simpan—pemberian dari Jungwon. Boneka, sweater, album foto, surat-surat kecil, dan bahkan kalung yang dulu Jungwon pasangkan di lehernya sendiri. Semuanya, dikembalikan.

Gabriel meletakkannya di lantai tanpa bicara, lalu menatap Jungwon yang terdiam mematung.

"Aku cuma mau balikin ini semua. Nggak ada yang perlu disimpan lagi," ucap Gabriel dingin.

Jungwon melangkah cepat menghampiri Gabriel, menahan tangannya, matanya sudah berkaca-kaca.

"Gabriel… tolong… jangan begini. Aku masih cinta kamu. Aku masih nunggu kamu kembali. Aku mohon…" suara Jungwon gemetar, hatinya seolah diiris satu per satu.

Gabriel menarik tangannya dengan kasar.

"Cukup, Jungwon. Aku udah nggak punya rasa lagi. Aku capek ngelihat kamu kayak gini terus," ucapnya tajam, tanpa sedikitpun empati di nadanya.

"Gabriel, tolong… aku nggak butuh apapun… asal kamu kembali," ucap Jungwon sambil berlutut. Tangannya meraih kaki Gabriel, memohon sepenuh hati.

Heeseung yang melihat adegan itu langsung berdiri dari kursi dan mengepalkan tangannya, napasnya berat. Jay yang baru keluar dari kamar juga membeku di ambang pintu melihat adiknya seperti itu.

"Ya! Gabriel, kau sudah keterlaluan!" suara Heeseung meninggi. "Apa kau nggak punya hati?!"

Gabriel melirik mereka dengan ekspresi sinis.

"Apa kalian semua pikir aku akan luluh cuma karena dia menangis? Aku lelah! Aku ingin hidup tenang, tanpa drama kalian!"

Jungwon tetap memegang kaki Gabriel erat-erat, air matanya jatuh tak terbendung.

"Aku nggak bisa tanpamu…," bisiknya dengan suara serak. "Aku masih berharap…"

Jay menghampiri dan berdiri di samping Heeseung. Nadanya tajam dan bergetar menahan emosi.

"Kau datang-datang bawa barang-barang dan menghancurkan dia lagi? Kau tahu dia masuk rumah sakit karena tekanan mental, dan sekarang kau datang hanya untuk menginjak-injak harga dirinya?!"

Gabriel mengangkat dagunya, dan dengan ekspresi dingin, ia mengucapkan sesuatu yang langsung menghancurkan seluruh ruangan:

"Aku hamil. Anaknya Beomgyu."

Semua orang terdiam. Dunia seolah berhenti berputar untuk beberapa detik.

Jungwon yang masih di bawah, memegang kakinya, langsung melepaskannya perlahan. Matanya kosong. Napasnya sesak. Mulutnya terbuka seakan ingin bicara, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya terduduk di lantai, menatap kosong ke arah perut Gabriel.

Jay dan Heeseung terdiam. Rahang Heeseung mengeras, tangan Jay mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih.

"Aku akan menikah. Kami akan go-public dalam dua bulan. Jadi, berhenti ganggu aku," tambah Gabriel dengan nada dingin, lalu memutar badan dan keluar tanpa menoleh sedikit pun.

Pintu tertutup dengan suara keras.

Dan di sana, di tengah ruangan dorm yang sunyi, Jungwon terisak dalam. Tubuhnya gemetar, tangisnya tak lagi bisa ditahan. Ia jatuh berlutut, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Heeseung menghampiri cepat, memeluk tubuh adiknya yang hancur.

"Jungwon… cukup, adik kecilku… kamu nggak sendiri," bisiknya pelan.

Jay juga mendekat, ikut memeluk dari sisi lain.

Air mata mereka tumpah bersama.

Di dalam pelukan yang hangat itu, Jungwon menangis seperti anak kecil yang kehilangan segalanya. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada lagi "kalau saja". Yang tersisa hanyalah luka—luka yang sangat dalam dan menganga.

Dan malam itu, dorm penuh dengan isak, dengan rasa marah, dan kehilangan yang nyata.

Namun, juga ada janji tak terucap:

Mereka akan membuat Jungwon bangkit kembali.

Suasana dorm malam itu berubah mencekam.

Tak lama setelah Gabriel pergi dan meninggalkan luka terburuk yang bisa ia berikan, ruangan itu sunyi. Jay dan Heeseung masih berusaha menenangkan Jungwon yang terduduk tak berdaya di lantai. Tapi hening itu tak bertahan lama.

Tiba-tiba, Jungwon bangkit dengan tatapan kosong dan langkah gontai menuju kotak besar yang ditinggalkan Gabriel—kotak berisi semua kenangan mereka.

Ia menariknya dengan kasar, lalu satu per satu isinya dilempar ke lantai. Boneka yang pernah ia berikan, foto-foto penuh senyuman, surat tulisan tangan Gabriel… semua beterbangan.

"AKU BENCI INI! AKU BENCI INI!!!" teriaknya.

Tangannya gemetar saat merobek foto mereka berdua. Ia menarik bantal sofa dan melemparnya ke dinding. Kursi kecil di dekat meja hampir terjungkal ketika ia menendangnya.

"KENAPA HARUS AKU?! APA SALAHKU?! APA SALAHKU?!!!"

Tangisnya tak lagi terdengar sebagai sedih. Itu adalah jeritan dari seseorang yang hatinya hancur tanpa sisa.

Sunghoon yang baru keluar dari kamar, berlari menghampiri saat mendengar suara barang jatuh dan teriakan Jungwon. Niki, Jake, dan Sunoo menyusul, wajah mereka panik.

"JUNGWON, BERHENTI!" teriak Sunghoon sambil menarik tangan Jungwon yang sedang meraih vas bunga kecil yang ingin ia lempar ke lantai.

"Aku nggak mau liat ini lagi!! AKU MAU SEMUANYA HILANG!!" Jungwon berontak, melepaskan diri dari genggaman Sunghoon.

Jake memeluknya dari belakang, menahan tubuh Jungwon yang mulai brutal.

"Tenang, Jungwon! Tolong, tenang!" ujar Jake dengan suara bergetar.

Sunoo menahan air matanya, melihat Jungwon yang tampak seperti orang asing—bukan leader mereka yang biasanya lembut dan bijak. Melainkan sosok yang terhancur total, yang bahkan kehilangan dirinya sendiri.

Heeseung dan Jay ikut menghampiri, ikut membantu memegang tubuh Jungwon yang terus menggeliat.

"LEPASKAN AKU! AKU NGGAK MAU INI! AKU BENCI DIRIKU SENDIRI! KENAPA AKU GAK CUKUP BAGI DIA?! KENAPA AKU HARUS HIDUP KALAU CUMA BUAT TERLUKA KAYAK GINI?!!"

"JUNGWON!!" Sunghoon akhirnya membentak, wajahnya merah menahan tangis. "LIHAT KITA!! KAMI DI SINI!! KAMU TIDAK SENDIRIAN!!"

Tapi Jungwon hanya terus berteriak dan mengguncang tubuhnya. Sampai akhirnya ia jatuh terduduk kembali, tangisnya pecah lagi. Tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya tak beraturan.

Niki memeluk Jungwon dari belakang dengan erat.

"Aku mohon… jangan hancurin dirimu, hyung… kami sayang sama kamu…," ucap Niki dengan air mata yang jatuh tanpa henti.

Satu per satu member mendekat. Mereka semua duduk melingkari Jungwon. Tak satu pun yang berbicara lagi. Mereka hanya memeluknya bersama, menyatukan kekuatan mereka untuk satu orang yang paling mereka cintai.

Dan malam itu, dorm dipenuhi tangisan dan rasa sakit. Tapi juga dipenuhi dengan cinta—yang meskipun tak bisa menghapus luka, akan tetap hadir untuk memeluk yang terluka sampai mereka bisa berdiri lagi.

Jungwon masih terisak di lantai dorm. Tubuhnya bersandar lemah di bahu Niki, napasnya tersengal, dan air mata terus mengalir seperti hujan yang tak kunjung reda. Sunoo menggenggam tangannya erat, tak berkata apa pun, hanya berusaha ada di sana — menemani kesunyian yang menyakitkan itu.

Sunghoon perlahan mendekat dan langsung menarik tubuh Jungwon ke dalam pelukannya. Ia mendekap erat, seolah ingin menahan semua pecahan hati yang berserakan dari Jungwon.

"Udah… cukup, Won… nangislah kalau kamu mau… tapi jangan simpan ini sendirian lagi…" bisik Sunghoon pelan.

Jungwon tak menjawab. Ia hanya memeluk balik Sunghoon erat-erat, sesenggukan, menangis dalam diam yang penuh luka. Tubuhnya bergetar seperti daun kering di tengah badai.

Heeseung berdiri tak jauh dari mereka, matanya menatap semua kekacauan ini dengan rahang mengeras dan tangan mengepal kuat. Dada Heeseung naik turun, napasnya berat, matanya merah bukan karena tangis, tapi karena api kemarahan yang berkobar dalam diam.

"Gabriel…" gumam Heeseung lirih namun penuh tekanan. "Sudah cukup."

Jay, yang memperhatikan dari sisi lain ruangan, menyadari aura gelap dari Heeseung. Ia tahu tatapan itu. Tatapan pemimpin yang marah bukan karena dirinya sendiri, tapi karena orang yang ia lindungi dihancurkan habis-habisan.

Heeseung akhirnya berbalik dan berjalan cepat ke dapur, menghantam pintu lemari dengan keras hingga membuat Sunoo terlonjak kaget.

Jay menyusul Heeseung dan menarik lengannya. "Hyung, jangan terbawa emosi dulu."

Tapi Heeseung menatap Jay dengan sorot yang belum pernah terlihat sebelumnya.

"Apa kau tahu rasanya melihat adikmu yang biasanya tersenyum, sekarang hancur seperti ini hanya karena satu orang?" suaranya bergetar. "Aku gak akan tinggal diam, Jay. Aku gak bisa..."

Jay menghela napas. "Aku tahu… aku juga marah. Tapi kalau kamu sampai melakukan sesuatu yang gegabah, Jungwon yang akan lebih sedih."

Heeseung memalingkan wajahnya, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan kemarahan yang nyaris meledak.

"Dia memohon di kaki Gabriel… seperti tidak punya harga diri. Dan apa balasan Gabriel? Bentakan. Penolakan. Bahkan menyatakan kalau dia hamil anak Beomgyu…"

Ia menggeleng, mencoba menahan air mata yang hampir menetes.

"Jungwon bukan orang jahat. Dia terlalu tulus… terlalu baik… tapi orang seperti itu malah disakiti, diremukkan kayak gini…"

Sementara itu, Sunghoon masih memeluk Jungwon, yang akhirnya tertidur karena terlalu lelah menangis. Napasnya berat dan peluh dingin membasahi pelipisnya. Niki meletakkan selimut di tubuh Jungwon dan duduk diam di sisinya, seolah tak sanggup menjauh sedikit pun.

Heeseung kembali mendekat, menatap Jungwon yang tertidur dengan mata sembab. Ia berlutut, mengusap rambut Jungwon perlahan, lalu berbisik pelan tapi pasti:

"Kau tidak akan terluka lagi, Won. Aku pastikan itu. Aku akan lindungi kamu… dan kalau Gabriel menyakiti kamu lagi… aku sendiri yang akan buat dia menyesal."

Dan malam itu, meskipun sunyi dan penuh luka, satu hal tumbuh dalam hati Heeseung — dendam untuk membalas luka orang yang paling ia sayangi.

More Chapters