Cherreads

Chapter 7 - Bayangan di Lembah Arkhon

Langit di atas perbatasan timur Kekaisaran Aurathar membara merah darah saat matahari tenggelam di balik Pegunungan Krimvaar. Cahaya terakhir menyorot sebuah lembah terlarang—Lembah Arkhon, tempat para pendosa, pengkhianat, dan penyembah kekuatan gelap pernah dibuang. Tidak ada yang berani mendekat. Tidak ada yang ingin tahu. Namun hari ini, tempat itu kembali bernyawa.

Dalam reruntuhan kuil tua yang dindingnya dihiasi simbol mata tertutup, sosok berjubah hitam berkumpul mengelilingi lingkaran ritual. Di tengah mereka berdiri seorang wanita tinggi dengan rambut perak menjuntai seperti kabut. Matanya tertutup kain hitam, namun setiap gerakannya menyiratkan kuasa luar biasa.

"Waktunya hampir tiba," gumamnya. "Pewarisan Cahaya Jiwa telah muncul. Pewaris sejati Aurathar akhirnya membuka segel Gunung Angket. Maka kita juga akan membangkitkan... Sang Bayangan."

Di atas altar batu, sebuah peti segel berdarah terbuka perlahan, dan kabut hitam mulai menyebar dari dalamnya. Di dalam kabut itu terdengar bisikan: suara-suara tua dari zaman sebelum kekaisaran didirikan.

Sementara itu, jauh di barat, Edwin duduk bersila di atas formasi meditasi kristal biru. Roh Penjaga Gunung Angket—yang kini menjelma sebagai entitas kecil di pundaknya—bergetar.

"Energi lama sedang bangkit," ujar makhluk itu. "Lembah Arkhon… tempat kau tak boleh diamkan lagi."

Edwin membuka mata. Tatapannya tajam.

"Aku tak bisa kembali ke istana… Tapi aku bisa bergerak dalam bayangan. Seperti mereka."

Ia mengambil jubah hitam tua milik seorang pemburu bayaran yang pernah ia kalahkan dalam duel, dan mengenakan topeng logam perak berbentuk burung hantu. Ia akan menyusup. Ia akan mengintai. Tapi yang lebih penting: ia akan mengungkap siapa yang berani mengguncang keseimbangan Arkos saat ini.

Di Istana Aurathar

Sementara Edwin bersiap bergerak, di dalam ruang tahta Kekaisaran Aurathar, Teresa—sang putri mahkota—mengamati pesan dari Edwin yang tiba lewat elang hitamnya. Wajahnya tak menunjukkan emosi, namun matanya berkaca-kaca.

"Dia masih hidup… Dia masih peduli…" bisiknya.

Di belakangnya, Arga berdiri dengan tubuh tinggi dan wajah keras, namun ada rasa rindu yang sulit ditutupi.

"Kau percaya dia akan kembali?" tanya Arga pelan.

"Tidak," jawab Teresa. "Tapi aku percaya… dia akan tetap melindungi kita. Dari kejauhan. Seperti bayangan."

Mereka tak tahu bahwa ancaman yang sebenarnya tidak datang dari luar istana… melainkan dari dalam.

Bayangan dari Masa Lalu

Edwin tiba di pinggir Lembah Arkhon saat malam mencapai puncaknya. Dari balik rerimbunan pohon mati, dia melihat para pengikut berjubah hitam berlutut, menyanyikan mantra kuno yang nyaris terlupakan. Tanah bergetar, dan dari pusaran di tengah ritual, muncul sesosok… bukan manusia, bukan iblis. Tubuhnya terdiri dari kabut gelap dan tulang putih. Wajahnya… mirip dengan leluhur pertama Aurathar yang ada dalam mural-mural tua. Tapi ini adalah versi yang jahat, terkorupsi.

"Bayangan Kaisar Pertama…" bisik Edwin. "Mereka membangkitkan bagian dari jiwa leluhur kita yang pernah ditolak oleh langit…"

Ia harus bertindak cepat. Tapi belum sempat ia bergerak, seorang kultivator bertopeng—berpakaian seperti pembunuh dari Fraksi Mata Hitam—muncul di belakangnya. Serangan diam-diam, tapi Edwin sempat menangkis. Mereka bertarung dalam keheningan, hanya suara senjata yang bersentuhan di udara malam.

Dengan cepat, Edwin menggunakan Langkah Riuh Senyap, melesat ke belakang lawan dan menghantam titik nadi dengan energi halus Auram Tertius. Lawannya terjatuh… tapi bukan manusia.

Wajah di balik topeng itu… kosong. Sebuah boneka spiritual, dikendalikan dari jauh.

"Ini bukan ritual biasa…" gumam Edwin. "Mereka menggunakan boneka… agar bisa mengorbankan ribuan jiwa sekaligus tanpa menyentuh darah sendiri."

Suara nyanyian ritual semakin keras. Pusaran kabut semakin membesar. Bayangan Kaisar Pertama mulai melangkah keluar dari lingkaran segel.

"Jika dia lolos… bukan hanya Kekaisaran yang hancur. Dunia Arkos akan runtuh."

Edwin menggenggam kristal roh Penjaga Gunung. Energinya mengalir deras dalam tubuhnya, menyatu dengan teknik warisan ibunya. Ia tak punya pilihan lain. Ia harus menghancurkan ritual itu sekarang juga, meski berarti mengorbankan penyamarannya dan membuka identitasnya di depan musuh lama.

Kembali ke Bayangannya Sendiri

Dengan satu gerakan tangan, Edwin memanggil formasi spiritual yang ia siapkan dalam perjalanan—Formasi Delapan Arah Jiwa. Sebuah pola cahaya terbentuk di langit, mengurung ritual di tengah. Teriakan panik mulai terdengar.

Roh Penjaga berbicara dalam benaknya. "Gabungkan teknik Auram Tertius dengan kekuatan Gunung Angket. Bentuk Cahaya Jiwa Bintang!"

Edwin menutup matanya. Mengingat wajah ibunya. Adiknya. Kekasih lamanya. Guru-gurunya. Dan akhirnya, wajahnya sendiri.

 

Seketika, cahaya putih biru meledak dari tubuhnya, membentuk tombak cahaya yang menembus pusaran ritual.

Pusaran retak.

Bayangan Kaisar Pertama meraung dan tertarik kembali.

Formasi di lantai hancur.

Dan semua pengikut terhempas, pingsan atau lenyap menjadi abu.

Namun sebelum Edwin sempat menarik napas lega, sebuah suara lembut terdengar dari balik reruntuhan.

"Edwin…"

Dia membalikkan badan. Dari kegelapan muncul wanita berjubah perak—wanita bermata tertutup. Dia terlihat akrab. Terlalu akrab.

"Yuna…?" bisiknya.

Wanita itu tersenyum samar. "Kau berubah. Tapi aku juga."

Lalu tiba-tiba, segel spiritual di dada Edwin berdenyut. Dulu, hanya ibunya dan satu orang yang tahu segel itu: Yuna, sahabat masa kecilnya yang telah dianggap mati… tujuh tahun lalu.

 

More Chapters