Sore hari di SMA Kurogane. Lonceng pulang berdentang pelan, menandakan akhir pelajaran. Lorong-lorong sekolah mulai dipenuhi siswa yang bergegas pulang, namun satu pemandangan mencuri perhatian beberapa murid: Reivan, si siswa dingin nan misterius, berjalan beriringan dengan Aveline, gadis pindahan yang lembut dan penuh rahasia.
"Hari ini... kamu pulang bareng aku?" tanya Aveline, sedikit terkejut tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Rumahmu searah dengan jalanku," jawab Reivan, datar namun sopan.
Sepanjang perjalanan, Aveline mencuri pandang berkali-kali. Mata Reivan yang tajam tapi tenang, langkah kakinya yang pasti, dan caranya menjawab setiap pertanyaan dengan singkat namun bermakna—semuanya seperti teka-teki yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
"Reivan…" Aveline menunduk sejenak, lalu melanjutkan, "Kamu itu… berbeda dari siapapun yang pernah kutemui."
Reivan hanya melirik dan mengangguk kecil, "Aku memang bukan siapa-siapa."
Ucapan itu justru membuat Aveline makin ingin tahu lebih banyak. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, mereka tiba di sebuah rumah besar bergaya klasik modern, dijaga ketat oleh beberapa agen sipil yang tak terlihat mencurigakan... kecuali oleh mata yang terlatih.
Gerbang terbuka otomatis, dan di depan pintu, berdiri seorang pria paruh baya dengan jas gelap dan senyum ramah. Dialah Alexandros Valein, ayah angkat Reivan—ketua organisasi intelijen rahasia yang juga ayah kandung Aveline.
"Selamat datang, Night Hunt—Reivan," katanya sambil menahan tawa kecil saat Reivan melempar tatapan tajam.
"Masih belum bisa menahan mulut ya, Tuan Valein," ujar Reivan datar.
"Haha, maaf. Kebiasaan lama susah hilang. Tapi tetap saja... senang kau datang."
Aveline melongo kecil. "Kalian… sudah saling kenal?"
Alexandros tersenyum lembut. "Tentu saja. Dia bukan cuma penyelamatmu dulu, tapi juga anak yang kuanggap seperti putraku sendiri."
Wajah Aveline langsung merah padam. Ia menatap Reivan penuh rasa—rasa yang kini semakin tak bisa ia bendung.
Sore itu dihabiskan dalam percakapan ringan di ruang tamu, hingga akhirnya Reivan pamit pulang. Namun sebelum benar-benar pergi, Aveline mengikutinya sampai ke gerbang.
"Aku... senang kau yang mengantarku pulang," gumam Aveline pelan.
Reivan sempat berhenti, menoleh, dan untuk sesaat... senyuman kecil—sangat tipis tapi nyata—muncul di wajahnya.
"Jaga dirimu, Aveline."
Dan Reivan pun menghilang di antara cahaya lampu jalan yang mulai menyala.
---
Malam Hari
Reivan berjalan menyusuri jalan kota, menyamar seperti biasa. Telinganya tertuju ke suara langkah yang mencurigakan, matanya mengamati setiap sudut. Ia menyusup ke kawasan pelabuhan tua yang telah lama ditinggalkan.
Beberapa simbol aneh tergurat di dinding. Sebuah pintu besi yang tersembunyi di balik rak kontainer terbuka dengan kata sandi tertentu yang hanya diketahui sedikit orang di dunia. Di dalamnya: markas bayangan Specter Eidolon.
Reivan tidak masuk. Ia hanya mencatat. Mengamati. Menghitung jumlah penjaga. Menganalisis pola patroli. Ia tidak akan gegabah. Belum saatnya.
Sementara itu, di markas tersembunyi Specter Eidolon—
"Night Hunter masih hidup."
"Kita sudah tahu," jawab seorang pria berjubah hitam dengan lambang kalajengking emas di bahunya—pemimpin organisasi Black Mantis.
"Dan kita akan membunuhnya bersama. Tak peduli siapapun dia."
Specter Eidolon dan Black Mantis kini bergabung. Tujuan mereka hanya satu:
Musnahkan Reivan.
Tapi mereka tak tahu…
Night Hunter… sudah lebih dekat daripada yang mereka kira.
Di ruang rapat bawah tanah dengan cahaya remang dan proyeksi hologram yang menyala di tengah meja bundar, para pemimpin organisasi Specter Eidolon dan Black Mantis berdiri berdampingan untuk pertama kalinya.
"Reivan Arkady… si Night Hunter," suara pemimpin Specter Eidolon bergema seperti bisikan kematian, "sudah terlalu lama membayangi kami. Kini, waktunya sang bayangan menjadi cahaya yang dibakar habis."
Pemimpin Black Mantis—pria tinggi dengan mata seperti ular berbisa dan senyum licik—menambahkan, "Kita akan mengakhiri legenda itu. Malam ini… kita mulai dengan menarik dia keluar dari kegelapan."
Rencana mereka pun dijalankan.
Target pertama: memancing Reivan keluar.
Mereka menyebarkan jebakan di seluruh kota. Beberapa agen Alexandros yang melakukan penyelidikan kecil terhadap organisasi-organisasi gelap mulai menghilang satu demi satu. Sisanya dipancing ke lokasi yang sudah ditentukan. Namun, yang tak pernah mereka duga…
Reivan datang lebih dulu.
---
Malam yang tragis
Angin dingin berhembus tajam saat Reivan melangkah tenang di gang sempit di distrik industri lama. Suara tembakan terdengar dari kejauhan—agen-agen Alexandros yang sedang dalam penyamaran kini dikepung oleh para pembunuh bayaran elite dari Black Mantis.
"Dia datang sendirian?" bisik salah satu dari mereka yang bersembunyi di atas kontainer.
Namun mereka terlalu lambat.
Satu per satu lampu di atas mereka padam.
Satu per satu rekan mereka lenyap tanpa suara.
Dan hanya ada satu pria… dengan mata dingin dan pisau perak di tangannya.
Reivan Arkady.
Dengan gerakan cepat dan presisi yang menakutkan, Reivan menyusup ke tengah konflik. Ia tidak hanya menyelamatkan agen-agen itu… ia melindungi mereka dari maut bahkan sebelum mereka menyadarinya.
"Ada satu… tidak, dua orang mendekat dari atap," gumamnya.
Tanpa suara, Reivan menendang dinding kontainer, memantul ke atas, dan menjatuhkan dua penembak jitu dalam sekejap.
"Aku tak butuh bantuan," katanya pelan, hampir seperti menyindir ayah angkatnya.
---
Di markas Alexandros
Suara laporan terus berdatangan.
"Target selamat. Tapi… semua diselamatkan oleh Reivan sendiri."
Alexandros memejamkan mata, menghela napas dalam-dalam.
"Jadi dia tahu…"
Ia bangkit dari kursinya, menatap proyeksi wajah Reivan di layar.
"Maafkan aku, anakku… kau yang seharusnya kulindungi. Tapi sekarang, kau malah melindungi orang-orangku."
Matanya penuh rasa bersalah, sekaligus rasa bangga yang tak bisa disembunyikan.
"Mulai saat ini… kalian lindungi dia, tapi jangan sampai terlihat. Kita tak bisa menghalangi jalannya. Kita hanya bisa berjaga di belakangnya."
---
Sementara itu, di atap gedung tertinggi distrik industri
Reivan berdiri memandangi kota malam.
Angin membawa bau mesiu, darah, dan besi. Tapi tak ada rasa gentar di matanya. Hanya ketenangan seorang pemburu yang baru saja mengukir teror ke dalam hati musuh-musuhnya.
"Specter Eidolon… Black Mantis… kalian pikir bisa memburuku?"
Ia menoleh ke arah bulan.
"Giliran kalian yang menjadi buruan."