Tiga minggu setelah hari-hari normal yang dipenuhi godaan, cemburu, dan senyum dingin Reivan—langit Kurogane kembali diliputi awan gelap… bukan karena hujan, tapi karena pemburu telah menjadi buruan.
---
Pagi itu, di SMA Kurogane…
Kepala sekolah berdiri di depan kelas 2-B, senyumnya lebar. "Hari ini kita kedatangan empat murid pindahan dari luar negeri. Mereka telah menjalani pelatihan akademik khusus, jadi harap sambut mereka dengan hangat."
Pintu kelas terbuka.
Langkah-langkah masuk satu per satu.
1. Renji Kusanagi – rambut hitam rapi, sikap tenang, tatapan tajam seperti serigala yang menanti saat menyerang.
2. Lucille Margrave – gadis dengan rambut pirang keperakan dan aura misterius, senyumnya terlalu indah… terlalu palsu.
3. Darren Velstein – tampak ceroboh, tapi langkahnya terukur; tangan kirinya tampak ringan, tapi menyimpan bilah tipis di balik lengan baju.
4. Ira – tubuh mungil, polos, tapi bagi mata seorang pemburu… gadis ini seperti pisau beracun yang dibungkus kelopak bunga.
Seluruh kelas menyambut. Beberapa siswa langsung kagum. Mizuki, Althea, Kaori, dan Aveline hanya melirik sekilas… tapi saat melihat Reivan tetap tenang, mereka kembali duduk.
Yang tak mereka sadari… Reivan tahu segalanya.
---
"Empat penyusup. Posisi strategis. Renji duduk di belakangku. Darren tepat di kiri. Lucille di dekat jendela untuk komunikasi jarak jauh. Ira? Dekat pintu keluar, bisa kabur atau menyerang cepat. Aku mengerti gaya mereka."
Pikiran Reivan menganalisis sambil tetap menatap papan tulis.
Di mata murid lain: Reivan sedang menulis pelajaran.
Di mata penyusup: Reivan sedang diam.
Tapi pada kenyataannya… Reivan sudah menyiapkan segalanya.
---
Hari Pertama, Ujian Pertama: "Kebetulan" Jatuh dari Tangga
Lucille mendorong buku ke arah kaki Reivan dengan posisi yang tampak natural. Saat Reivan melangkah, dugaannya: terpeleset dan jatuh ke arah pagar tangga, lalu Renji yang berpura-pura ingin menangkap, akan "tak sengaja" mendorongnya ke bawah.
Namun…
Langkah Reivan berhenti satu milimeter sebelum buku menyentuh sepatu.
Dia memutar tubuh, menghindar ke kiri, meraih pagar dan mendorongnya ke arah Lucille… membuat buku itu mental ke arah Renji.
Semuanya terjadi dalam 1 detik.
"Ups," kata Reivan datar, berjalan lagi tanpa melihat ke belakang.
Renji menahan tawa—marah dan kagum.
---
Hari Kedua: Misi Selingan – Makan Siang Beracun
Ira diam-diam menaruh sepotong cokelat di meja Reivan saat ia ke kamar mandi.
Namun ketika kembali, yang memakan cokelat itu justru… Kiro.
Dan ia hanya berkata, "Eh? Ini enak… Kok rasanya pedas, ya? Kayak… arsenik?"
Reivan menepuk bahu Kiro santai, "Tubuhmu akan kebal dalam dua jam. Kau bisa ikut latihan fisik hari ini."
Ira menatap tajam.
Dia sengaja membiarkan Kiro memakan itu?
Tidak… dia mengontrol semuanya. Bahkan korban sampingannya.
---
Malam Hari – Di Atap Sekolah
Empat bayangan bertemu.
"Dia tahu," ujar Lucille dingin.
"Kalau dia tahu, kenapa dia belum bertindak?" tanya Renji.
"Ia sedang bermain-main. Mempermainkan kita."
Mereka semua terdiam. Ketakutan bukan karena gagal… tapi karena dihina secara tak langsung.
---
Namun dari balik pilar bayangan, sepasang mata menyala.
Reivan telah ada di atap sejak dua jam lalu.
Dia menunggu mereka semua datang, merekam semua gerak-gerik mereka lewat mikro kamera yang ia pasang sendiri. Data telah dikirim ke markas.
Lalu langkah kaki perlahan maju.
Empat penyusup segera bersiaga. Pisau, kabel baja, bahkan racun dilemparkan secara serentak.
Namun tak ada yang menyentuhnya.
Reivan bergerak bagai kabut.
Dalam lima detik:
Darren kehilangan kesadaran dengan tekanan ke syaraf lehernya.
Lucille diikat dengan kabel miliknya sendiri, pingsan.
Renji tak sadarkan diri karena ditarik ke arah tembok.
Ira… gemetar.
Tapi Reivan tak melukainya. Ia mendekat… menunduk… lalu berbisik satu kalimat.
"Beritahu majikanmu, jangan kirim anak-anak bermain ke kandang singa."
Dan saat semua terbangun—Reivan sudah hilang.
---
Di markas Specter Eidolon,
Laporan tiba.
Empat agen gagal… dan menyisakan satu kalimat di file akhir mereka:
> "Night Hunter is not a code. He's a calamity."
Pagi itu, suasana di SMA Kurogane terasa berbeda. Bukan karena cuaca yang mendung, melainkan kabar mengejutkan: empat murid yang baru pindah beberapa minggu lalu—yang diam-diam adalah agen penyusup—menghilang tanpa jejak. Nama mereka bahkan sudah dihapus dari daftar siswa sekolah. Guru-guru bungkam, kepala sekolah pura-pura tak tahu, dan hanya gosip yang tersisa di lorong-lorong kelas.
"Aneh banget, mereka kayak... enggak pernah ada di sini," gumam Mizuki sambil mengerutkan kening. Ia melirik Reivan yang tengah menatap keluar jendela seperti biasa, seolah tak terusik sedikit pun.
Kaori menatap Reivan dengan curiga. "Kau nggak aneh, Vi? Empat murid hilang, dan kamu sama sekali nggak kaget?"
Reivan hanya tersenyum kecil dan mengangkat bahu. "Mungkin mereka pindah lagi. Bosan mungkin."
Jawaban itu membuat Kaori makin curiga, sementara Mizuki dan Althea menatap Reivan dengan rasa kagum yang diam-diam terus tumbuh. Bahkan Aveline, yang baru saja mulai akrab, tampak meliriknya dengan senyum malu-malu dari bangku belakang.
Kori, yang duduk di sebelah Reivan, menahan tawa kecil. Dia satu-satunya yang tahu kebenaran di balik "hilangnya" empat murid tersebut. Mereka bukan hilang. Mereka "dipulangkan" oleh Night Hunter—dengan sangat halus dan tanpa meninggalkan jejak.
Di jam istirahat, Kiro menyodorkan roti ke Reivan. "Kau masih bikin cewek-cewek itu deg-degan tiap hari ya?"
Reivan menjawab sambil mengunyah santai, "Aku cuma jalanin hidup. Mereka yang terlalu sensitif."
Sementara itu, berita tentang hilangnya empat murid mulai memicu kehebohan di dunia bawah tanah. Organisasi Specter Eidolon, yang terus memantau pergerakan Night Hunter, mulai menyadari satu hal:
> "Night Hunter masih hidup. Dan dia berada di SMA biasa."
Rapat rahasia pun digelar, dan dari bayang-bayang, muncul rencana besar: menyusup lebih dalam, mengguncang fondasi tempat Reivan berpijak, dan memperkenalkan musuh baru—anggota senior dari kelompok teroris bawah tanah bernama Black Manti, yang kini ingin bergabung dengan Specter Eidolon.
Namun, bagi Reivan, hari-hari tetap berjalan seperti biasa. Tertawa palsu di kelas, pura-pura kaget saat ada ulangan dadakan, dan tetap menanggapi perhatian tiga (atau sekarang empat) gadis dengan wajah dingin tapi tak bisa diabaikan.
Namun... badai akan segera datang.