Bab 2 - Bayangan dan Taring
Udara malam mulai berubah sejak beberapa hari terakhir. Aroma hutan yang biasanya tenang dan lembap kini membawa bau besi dan tanah yang tercabik. Langkah-langkah kecil hewan liar perlahan lenyap dari sekitar desa, digantikan oleh keheningan yang menusuk.
Reno berdiri di luar rumah, menatap bulan yang tertutup awan tipis. Tubuhnya berkeringat setelah latihan malam bersama Arkas. Suara Leo dan Kain yang biasa tertawa kini tidak terdengar-semua sudah tidur, dan hanya Arkas yang duduk di dekat api kecil sambil mengasah pedangnya.
"Masih belum bisa tidur?" tanya Arkas tanpa menoleh.
Reno menggeleng. "Entah kenapa, rasanya gelisah."
Arkas berhenti mengasah. "Itu firasat. Dengarkan itu baik-baik."
Belum sempat Reno menjawab, telinganya menangkap suara aneh-seperti ranting yang patah, tapi lebih berat, lebih dalam.
"Ada sesuatu," bisik Reno.
Arkas berdiri. Matanya tajam seperti elang. "Ambil pedangmu."
Mereka berdua bergerak keluar rumah, menyusuri jalan desa yang kini kosong. Cahaya obor bergoyang tertiup angin, menciptakan bayangan panjang di tanah. Suara itu terdengar lagi-dan kali ini diikuti oleh raungan dalam yang membuat bulu kuduk berdiri.
Mereka tiba di pinggir desa, di batas antara rumah dan hutan. Tanah retak, dan pohon-pohon di sekitar tumbang tidak wajar.
Sesuatu muncul dari kegelapan. Besar, lebih tinggi dari manusia dewasa, dengan tubuh seperti gabungan serigala dan kadal. Matanya merah menyala, dan taringnya meneteskan liur berbuih. Kulitnya kasar, hampir seperti batu.
Reno menelan ludah. "Itu..."
"Beast," gumam Arkas. "Tapi yang ini... berbeda. Lebih kuat dari biasanya."
Reno menggenggam pedangnya erat. "Apa kita bisa mengalahkannya?"
Arkas pura-pura tertegun, lalu berkata pelan, "Entahlah... ini mungkin terlalu berbahaya."
Wajah Reno menegang, tapi Arkas hanya tersenyum samar. Dalam hati, Arkas tahu ia masih bisa menangani makhluk ini. Tapi ia sengaja tidak menunjukkan rasa percaya diri itu-Reno harus belajar menghadapi tekanan.
Makhluk itu meraung dan menerjang. Reno melompat ke samping, menangkis dengan seluruh kekuatannya. Tubuhnya terlempar beberapa langkah, nyaris jatuh.
"Fokus! Lihat gerak kakinya! Jangan hanya pedangmu yang bekerja!" seru Arkas.
Makhluk itu menyerang lagi, dan kali ini Arkas bergerak. Dengan satu ayunan cepat, ia menahan taring beast dengan pedangnya, lalu menendang tubuh makhluk itu mundur.
"Perhatikan ritmenya," ucap Arkas pelan. "Setiap tiga langkah, ia condong ke kiri. Itu celahnya."
Reno mulai menyesuaikan gerakannya, mengikuti pola yang dijelaskan Arkas. Beberapa kali ia hampir terkena, tapi pedangnya mulai menyentuh tubuh makhluk itu-menggores kulit tebalnya sedikit demi sedikit.
Makhluk itu mengamuk. Teriakannya menggema, menggetarkan tanah.
Tiba-tiba, Reno terpeleset. Makhluk itu melompat, taring terbuka lebar, siap mencabik dirinya.
"RENO!" seru Arkas, melesat dan menahan makhluk itu dengan satu tangan di pedang dan satu tangan mendorong Reno menjauh.
Pertarungan semakin intens. Arkas mulai mengatur tempo serangan, seolah menyusun ritme bagi Reno untuk mengikuti. Ia sesekali pura-pura kehilangan keseimbangan, membuat Reno harus menutup celah. Tapi semua itu adalah bagian dari pelajaran.
Akhirnya, dengan kombinasi tebasan Reno yang mengenai kaki belakang dan serangan penutup dari Arkas ke lehernya, makhluk itu roboh. Nafas mereka terengah. Reno jatuh duduk, keringat bercucuran.
Arkas masih berdiri tegak. Napasnya stabil, hanya sedikit tercekat untuk menjaga kesan dramatis.
"Kerja bagus," ucap Arkas sambil memeriksa luka Reno. "Tapi jangan terlena. Ini baru permulaan."
Tiba-tiba, terdengar suara jeritan. Suara seorang gadis.
Reno sontak berdiri. "Itu... dari arah timur desa."
Mereka berlari ke sumber suara. Melewati rumah-rumah sunyi, mereka mendekati ladang luas yang membentang di luar pagar desa.
Di kejauhan, di antara siluet pepohonan, Reno melihat sosok seseorang-gadis muda berdiri di atas batu, gaunnya berkibar tertiup angin malam. Penampilannya asing, namun aura dan pakaiannya... kerajaan?
Reno menyipitkan mata, terpaku.
"Siapa itu?" gumamnya.
Arkas juga melihat, namun ia diam. Matanya sedikit menyipit, lalu menepuk bahu Reno.
"Jangan abaikan perasaanmu. Kau kenal dia?"
"Aku... tidak tahu," ucap Reno, suaranya kecil. "Tapi dia... terlihat seperti dari istana."
Gadis itu menoleh sejenak, lalu menghilang ke balik pohon, seolah tak pernah ada.
Reno hendak mengejar, tapi Arkas menahannya. "Besok saja. Kita harus memastikan desa aman dulu."
Reno menggertakkan gigi, tapi akhirnya mengangguk. Mereka kembali ke rumah dalam diam, melewati tubuh beast yang masih tergeletak di tanah.
Saat malam benar-benar sunyi, Reno berbaring di kamarnya. Tapi tidur tak kunjung datang.
Ia akhirnya terlelap... dan masuk ke dalam mimpi.
Ruang tak berbatas menyambutnya. Gelap, kosong, tapi tidak sunyi. Ia berdiri di atas lantai kaca yang memantulkan cahaya redup dari langit yang tak punya bintang.
Di depannya, siluet-siluet berdiri diam. Wajah-wajah yang dikenalnya-ayah, ibu, Liza, dan para penjaga istana. Tapi semua dalam bayangan. Mereka tak berbicara, hanya memandangnya.
Lalu, dari bayang-bayang itu, satu sosok melangkah maju. Reno.
Versi dirinya sendiri, dengan jubah kerajaan dan mahkota. Namun matanya gelap, tanpa ekspresi.
"Apa kau masih pangeran?" tanya sosok itu.
Reno tak menjawab.
Sosok itu tersenyum. "Atau kau sudah menjadi sesuatu yang lain?"
Saat Reno hendak menjawab, lantai di bawahnya pecah. Ia terjatuh ke dalam kekosongan.
Ia terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi kening. Matahari belum terbit, tapi hari sudah menunggu.
Dan pertanyaan itu masih menggantung di benaknya:
Siapa aku sekarang?