Cherreads

Chapter 5 - Bab 4 – Buku yang Salah, Toko yang Benar

Bab 4 – Buku yang Salah, Toko yang Benar

Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah jendela kamar Reno. Suara burung-burung dari hutan mengisi udara yang tenang, namun tidak mampu menenangkan hatinya. Keringat dingin masih membasahi pelipis, dan dadanya naik turun dalam tarikan napas pendek yang berat.

Ia terduduk di atas ranjang, matanya kosong menatap dinding kayu. Mimpi semalam... atau entah itu penglihatan... suara yang mirip dirinya sendiri, bertanya dalam kegelapan.

"Apa kau masih pangeran? Atau sudah menjadi sesuatu yang lain?"

Reno memejamkan mata. Wajah ibunya yang lembut, ayahnya yang tegas, dan senyum cerah Liza melintas di benaknya, tapi perlahan memudar—seperti bayangan yang tertiup angin waktu.

Suara ketukan pelan membuyarkan lamunannya.

"Reno, kau bangun?" suara Arkas terdengar dari balik pintu.

"Sudah," jawab Reno, suaranya serak.

Beberapa saat kemudian, mereka duduk berdua di bangku kayu di depan rumah, menghadap ke hutan yang tenang. Udara pagi sejuk, dan aroma dedaunan basah memberi ketenangan samar.

"Kau tampak lebih pucat dari biasanya," ucap Arkas sambil menyesap teh herbal buatannya.

"Aku... mimpi aneh," bisik Reno. "Seperti bertemu diriku sendiri. Ia bertanya siapa aku sekarang."

Arkas melirik Reno tanpa berkata, lalu menatap hutan lebat di depan mereka.

"Apa pernah ada muridmu yang merasa... kehilangan arah?" tanya Reno, lirih.

Arkas tersenyum kecil. "Setiap orang yang belajar bertahan hidup akan sampai di titik itu. Tapi hanya sedikit yang berani mengakuinya. Kau tidak sendiri."

Reno mengangguk pelan, lalu bergumam, "Kadang aku merasa seperti orang asing di dunia yang bukan milikku."

"Lalu temukan tempatmu di dalamnya," jawab Arkas bijak. "Bahkan tanah asing pun bisa jadi rumah, kalau kau menanamkan kaki cukup dalam."

Senyap sejenak menyelimuti mereka, sebelum Arkas berdiri dan menepuk bahu Reno.

"Ayo. Kita ke kota hari ini. Karden. Ada perpustakaan tua dan toko senjata legendaris di sana. Siapa tahu ada yang bisa membuka pikiranmu."

Leo, Kain, Mira, dan Lian bersorak saat mendengar rencana itu. Mereka berempat segera bersiap, berebutan memilih pakaian paling bersih yang mereka miliki.

"Akhirnya liburan!" kata Leo sambil melompat di tangga.

"Kita ke perpustakaan, bukan taman bermain," tegur Lian sambil mengerutkan kening, tapi bibirnya melengkung juga.

"Selama bisa makan enak, aku setuju," ujar Kain, menepuk perutnya.

"Dan jangan lupa, kita mungkin lihat-lihat senjata baru!" tambah Mira penuh semangat.

Reno tak bisa menahan senyum melihat kekonyolan dan semangat mereka. Untuk sesaat, ia merasa ringan.

Perjalanan ke Karden memakan waktu hampir setengah hari. Kota itu diselimuti tembok tinggi berhiaskan ukiran indah. Saat mereka memasuki gerbang besar, Reno terpukau. Bangunan-bangunan batu dengan atap genteng merah menyusun jalan-jalan yang bersih dan ramai.

Pedagang berteriak menjajakan dagangan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menari di udara.

"Aku tak menyangka ada kota sebesar ini..." gumam Reno.

Leo menepuk bahunya. "Tunggu sampai kau lihat pasar malamnya."

"Kita pisah dulu sebentar, tapi jangan lama-lama," kata Arkas. "Kita akan bertemu di perpustakaan utama sebelum matahari tergelincir."

Reno mengangguk dan berjalan sendiri, ingin melihat-lihat lebih dekat. Ia menyusuri gang-gang kecil, melewati kios rempah dan toko kecil. Namun langkahnya terhenti saat melihat seorang pria besar mencengkeram bahu seorang gadis kecil di sudut sempit.

"Lepaskan dia," ucap Reno.

Pria itu mendesis, "Ini bukan urusanmu, bocah."

"Tapi aku akan membuatnya jadi urusanku."

Pria itu mengeluarkan pisau dan menyerang, tapi Reno bergerak cepat, menangkisnya dengan tongkat kayu yang ia ambil dari dekat dinding. Ia menendang pria itu menjauh dan berlari ke arah si gadis.

Namun saat Reno membungkuk untuk memastikan kondisi gadis itu—

SRAK!

Pisau kecil menancap di punggungnya. Reno menoleh perlahan. Gadis itu menangis... tapi tetap memegang pisau.

"M-maaf... kalau aku tak melakukannya... mereka akan membunuh keluargaku..." bisiknya.

Reno jatuh berlutut, lalu ambruk. Darah mengalir dari punggungnya.

"RENO!!"

Suara Leo dan Kain menggema di lorong itu.

Leo segera menahan tubuh Reno, sementara Kain menyerbu ke arah pria yang hendak melarikan diri dan menjatuhkannya dengan pukulan telak. Tubuh pria itu terpental ke dinding.

Kain menggeram. "Berani sentuh teman kami?!"

"Bodoh! Kenapa kau sendirian?!" teriak Leo, panik.

"Aku cuma ingin... melihat kota..." gumam Reno, matanya berat.

Arkas muncul tak lama kemudian, dan hanya dengan tatapan dingin dan langkah tegapnya, semua penjahat lari terbirit-birit.

"Bawa dia ke pengobatan," perintah Arkas. "Cepat."

Setelah Reno dirawat dan diperban, mereka menuju perpustakaan tua sesuai rencana.

Perpustakaan itu besar dan megah, berdiri angkuh di tengah kota. Saat mereka masuk, bau buku tua dan kayu menguar di udara. Rak-rak tinggi menjulang, dan tangga-tangga melingkar membawa ke lantai atas.

Seorang pria tua kurus dengan jubah panjang menyambut mereka dengan sorot mata tajam.

"Arkas. Masih belum pensiun menjadi pengasuh anak-anak?"

Arkas tertawa pendek. "Tentu tidak, Tolan. Sementara kau masih hidup dengan debu dan kertas tua, aku melatih anak-anak yang bisa menendang pantat bandit."

Tolan, sang penjaga perpustakaan, mendengus. "Ya, tapi setidaknya aku tidak mengajarkan mereka memakai otot lebih dulu daripada otak."

"Kalau begitu, ajari mereka sebelum mereka meninju rak bukumu."

Leo terkikik pelan. Mira menutup mulut menahan tawa.

"Silakan cari buku. Tapi jangan rusak apa pun," kata Tolan, lalu menatap Reno. "Kau. Hati-hati memilih bacaan."

Reno mengangguk, dan berjalan ke rak-rak tua. Ia menarik satu buku bersampul gelap dengan simbol rumit, tapi begitu dibuka—

Matanya membelalak. Halaman itu penuh ilustrasi tidak senonoh.

"APA?!" Reno buru-buru menutup buku itu dengan wajah merah padam.

"Reno, kau ambil buku apa?" tanya Lian dengan alis terangkat.

Leo mendekat dan melongok. "Heh... jadi kau punya sisi gelap, ya?"

"Bukan begitu! Aku tidak tahu isinya!" Reno panik, mencoba mengembalikan buku.

Mira menepuk punggungnya dengan tawa tertahan. "Jadi ini rahasia gelapmu, ya?"

"TIDAK! JANGAN BERITAHU SIAPA-SIAPA!"

Tawa meledak di antara rak-rak buku, membuat Tolan melirik tajam dari jauh.

Mereka terdiam merasa terintimidasi yang entah dari mana asalnya. padahal perasaan itu datang dari tatapan Tolan.

Setelah itu, mereka menuju toko persenjataan terkenal. Bangunannya besar, dengan dinding batu dan papan kayu bertuliskan: "Gol'Tan's Forge – Senjata Terbaik Seantero Daratan."

Pemiliknya, seorang pria kekar bertato bernama Gol'tan, langsung menyeringai saat melihat Arkas masuk.

"Hei! Lihat siapa yang masih hidup! Kukira kau sudah mati dimakan gurun!"

"Sayangnya tidak, dan lebih sayangnya lagi, aku harus lihat wajahmu lagi," jawab Arkas.

"Masih pakai teknik pedang zaman dinosaurus?"

"Masih lebih berguna daripada memahat gagang pedang yang tidak lurus seperti milikmu."

Tertawa keras menyambut kedatangan mereka. Leo, Kain, Mira, dan Lian langsung berpencar melihat senjata.

Kain memilih sepasang sarung tangan besi untuk bela diri tangan kosong. "Yang ini pas!"

Leo bermain-main dengan pedang ringan. Mira dan Lian berdiskusi serius tentang belati tersembunyi.

Reno memilih pisau pendek dengan ukiran naga. Ia menyukai keseimbangan dan beratnya.

Hari itu ditutup dengan makan malam bersama di kedai kecil, penuh obrolan, canda, dan tawa.

Meski tubuhnya masih nyeri, Reno merasa sedikit lebih... utuh. Seolah-olah, luka itu membuka ruang baru di hatinya—ruang untuk sesuatu yang lebih dari sekadar pelarian.

Dan meskipun bayang-bayang masa lalunya belum hilang, hari itu, ia merasa tidak sendiri lagi.

More Chapters