Langit sore berubah jingga kemerahan saat Kael dan pasukannya berhenti di tebing curam dekat gua tua. Udara di sekitar panas, bukan hanya karena matahari—tapi karena sihir api Kael yang tak sabar. Ia bisa merasakan auranya. Energi naga muda yang belum stabil, tapi sangat kuat.
Di dalam gua, Vilma bisa mendengar langkah-langkah mereka. Dada gadis itu naik turun, matanya menatap gelap di depan.
"Mereka datang lagi... manusia."
Ia menggenggam tanah dengan cakar kecilnya. Tubuhnya masih dalam bentuk semi-naga—sisik menyelimuti sebagian wajah dan bahu. Api berkobar di tenggorokannya, siap dimuntahkan kapan saja.
"Aku sudah lelah... selalu disembunyikan, selalu dihindari, dan sekarang diburu?"
Ingatan akan Chloe—ibunya—terlintas lagi. Luka, darah, bisikan terakhirnya.
"Mereka akan datang dengan tombak dan api..."
"Aku lebih dari itu..." desis Vilma, suaranya berat, mulai berubah. "Kalau mereka pikir aku akan lari lagi... mereka salah besar."
---
Di luar, Kael mengangkat tangannya, mengisyaratkan diam.
"Dia tahu kita di sini," ucapnya pelan.
Ajudannya menelan ludah. "Kapten... apa benar kita ingin memancingnya keluar? Dia tidak seperti naga lain, dia... emosi."
"Emosi adalah kunci kekuatannya. Dan aku ingin melihat sejauh mana amarahnya bisa menyala."
---
BOOM!
Gua meledak dari dalam, batu-batu beterbangan saat api menyapu udara. Dari dalam kepulan asap, Vilma melayang dengan sayap terbentang penuh. Sisiknya bersinar merah emas, matanya menyala seperti lima matahari kecil. Ia tidak menunggu. Tidak menjelaskan. Tidak memohon.
Ia mengamuk.
Satu hembusan napas—dan tiga kuda prajurit meleleh menjadi arang. Tanah merekah oleh panas langkahnya. Teriakan terdengar di mana-mana. Tapi Kael berdiri di tempatnya, menatap Vilma dengan tatapan gila—antara kekaguman dan obsesi.
"Luar biasa..." gumamnya. "Begitu liar, begitu murni..."
Vilma menatap langsung ke arahnya.
"Kalian semua... sama saja. Manusia rakus. Manusia pembohong. Manusia pemburu."
Ia meraung, langit terguncang.
"Aku bukan alat! Aku bukan makhluk untuk dikurung! Aku... API ITU SENDIRI!"
---
Pasukan mulai mundur, takut, bingung. Tapi Kael tetap tenang. Ia melangkah maju perlahan.
"Vilma..." katanya pelan.
"Diam!" bentak Vilma.
"Aku mengerti amarahmu. Aku tidak ingin menyakitimu."
"Aku tidak peduli!" teriak Vilma. "Kalian menyakiti ibuku. Kalian membakar rumahku. Sekarang... giliranku."
Dan dengan kekuatan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya, Vilma menyatukan tangan dan menciptakan lingkaran api besar di udara—sebuah sihir naga kuno yang bahkan ia tidak tahu ia bisa.
Kael tersenyum. "Ya... tunjukkan padaku, naga kecil... tunjukkan semuanya..."
---