Langit utara dipenuhi asap dan bisikan ketakutan. Di aula istana Rubelion, kabar tentang sosok bersayap yang muncul di Lembah Silara telah sampai. Sebuah nama mulai menyebar di antara para bangsawan dan pasukan kerajaan: Vilma, gadis bermata aneh yang berubah menjadi naga.
Di tengah ruang siaga para prajurit, seorang pria berdiri membelakangi jendela besar. Jubah hitam merahnya menjuntai, dihiasi lambang api menyala di dadanya. Tangannya bermain dengan bara kecil yang berputar di telapak tangannya—nyala api yang seolah hidup, seperti pikirannya.
Kapten Kael Voren, penyihir api terkuat di Rubelion, menyipitkan mata saat mendengar laporan dari pengintai.
"Setengah manusia, setengah naga, katamu?"
"Ya, Kapten. Dia perempuan muda, berubah saat ulang tahunnya yang ke-18. Kami pikir dia anak dari... persatuan antara manusia dan naga."
Kael tertawa kecil. Bukan tawa bahagia—tapi tawa yang menyimpan rasa takjub dan kegilaan.
"Luar biasa..." bisiknya. "Selama bertahun-tahun aku mempelajari api naga. Nafas mereka, sihir mereka, kekuatan mereka yang bisa membakar dunia... Tapi tak pernah ada yang melihat satupun naga hidup. Sekarang—ada makhluk baru. Hibrida. Hidup. Bernapas. Sempurna."
Ia berbalik. Matanya merah menyala seperti bara, bukan karena sihir, tapi karena obsesi.
"Persiapkan pasukan elit. Aku sendiri yang akan memburunya."
"Untuk membunuhnya?" tanya ajudannya, ragu.
Kael hanya tersenyum, matanya membara.
"Tidak... Aku ingin memilikinya."
---
Sementara itu, jauh dari istana, Vilma bersembunyi di gua tua yang dulunya tempat ayahnya mendarat setiap kali datang. Luka di tubuhnya mulai sembuh, tapi luka di hatinya tak mudah mengering. Ia duduk memeluk lutut, menatap pantulan dirinya di genangan air.
"Aku bukan manusia... tapi aku juga bukan naga. Lalu aku ini apa?"
Tiba-tiba, angin di luar gua berubah. Ada sihir di udara. Panas. Mendekat.
Dan jauh di kejauhan, dari atas kuda api yang menyala di kakinya, Kael tersenyum.
"Tenanglah, makhluk cantik. Kau dan aku... ditakdirkan bertemu."