Angin berhembus kencang, mengguncang dedaunan dan membawa aroma debu yang bercampur dengan bau darah. Matahari menggantung di langit, cahayanya yang terang terasa tidak selaras dengan situasi yang mencekam. Awan-awan putih bergerak perlahan, seolah mengawasi dunia tanpa peduli pada kekacauan yang sedang terjadi di bawahnya.
Lena berdiri dengan tangan di pinggang, matanya menyapu setiap sudut reruntuhan dengan kesal.
"Tidak mungkin dia masih di sekitar sini... Aku yakin dia pasti lagi asik rebahan di tempat yang nyaman," katanya sambil mendesah.
Kaiden, yang berdiri di sebelahnya, mendengus sambil menyilangkan tangan.
"Heh, itu memang kebiasaan Ryuuzaki. Dia selalu suka menghilang di saat-saat begini."
Masaki melirik Lena dengan ekspresi malas.
"Sudah kuduga... Pasti aku yang kau suruh mencarinya, kan?" tanyanya dengan nada cemberut.
Lena tersenyum tipis, tapi matanya tetap serius.
"Tentu saja. Kau yang paling tahu kebiasaannya."
Masaki mendesah, tapi tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya langsung menghilang dari pandangan—meluncur dengan kecepatan luar biasa. Angin berputar di tempatnya berdiri, meninggalkan debu yang beterbangan.
Lixs, yang baru pertama kali melihat kecepatan seperti itu, ternganga.
"Uhh... Kecepatannya hampir sama dengan Ryuuzaki!"
Kaiden tertawa kecil.
"Bukan hampir, Lixs. Masaki bisa jauh lebih cepat kalau dia mau. Dari semua orang di sini, dialah yang memiliki kecepatan tertinggi."
Lixs mengerutkan alisnya, rasa penasaran mulai menguasainya.
"Kok bisa secepat itu? Apa dia menyalurkan energinya ke kaki?"
Kaiden mengangkat bahu.
"Tanya saja langsung padanya nanti."
Penemuan yang Mengerikan
Masaki terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, matanya menyapu setiap sudut reruntuhan, mencari sosok yang hilang. Napasnya stabil, pikirannya fokus.
Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti ketika dia melihat sesuatu di kejauhan.
Di depan sebuah rumah kosong yang hampir roboh, tubuh Ryuuzaki tergeletak tak berdaya.
Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dan yang paling mengejutkan—lengan kirinya hilang.
Mata Masaki membelalak.
"Ryuuzaki!"
Tanpa membuang waktu, dia kembali berlari dengan kecepatan penuh ke arah kelompoknya.
"Wesssss!" Suara desiran angin menyertai pergerakannya.
"Semuanya! Ikuti aku! Ryuuzaki terluka parah! Dia ada di depan rumah kosong di sana, dia tidak bisa bergerak!"
Lena langsung memasang ekspresi serius.
"Apa?! Ayo cepat!"
Mereka semua bergegas mengikuti Masaki. Jantung mereka berdegup kencang, rasa cemas mulai menyelimuti.
Begitu mereka tiba, pemandangan yang mereka lihat membuat mereka membeku di tempat.
Ryuuzaki terbaring di tanah, tubuhnya penuh luka, dan darah menggenang di bawahnya. Yang paling mengerikan—lengan kirinya benar-benar hilang, meninggalkan bekas luka yang masih mengeluarkan darah segar.
Lena langsung berlutut di sampingnya.
"Hmp... Tidak. Ryuuzaki! Kau tidak apa-apa?! Kenapa tangan kirimu...?"
Ryuuzaki tersenyum lemah, napasnya terputus-putus.
"Ahh... Aku masih hidup, Lena... Itu sudah cukup, bukan?"
Kaiden segera berjongkok di sampingnya, tangannya mulai bersinar dengan energi penyembuhan.
"Jangan banyak bicara, aku akan menghentikan pendarahanmu dulu."
Saat Kaiden mulai mengobati luka-lukanya, Lena menatap Ryuuzaki dengan ekspresi serius.
"Ryuuzaki, apa yang terjadi? Musuh yang kau kejar... Apa yang mereka lakukan padamu?"
Ryuuzaki tertawa kecil meski wajahnya menahan rasa sakit.
"Heh... Kau ini, Lena. Selalu saja banyak bicara di saat seperti ini. Apa kau benar-benar harus bertanya sekarang?"
Lena tidak terpengaruh. "Jawab aku, Ryuuzaki."
Ryuuzaki mendesah, lalu menatap langit dengan mata redup.
"Aku ceroboh... Itu saja. Musuh yang aku lawan ternyata lebih pintar dari yang kuduga."
Kaiden mengerutkan dahi. "Jelaskan lebih jelas, Ryuuzaki. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ryuuzaki menghela napas dalam sebelum mulai bercerita.
"Setelah aku menyuruh kalian bergerak, aku pergi mengejar ketua mereka bersama dua anak buahnya. Dua orang itu... Hah, mereka terlalu lemah. Aku menyingkirkan mereka dengan mudah."
Lixs menelan ludah. "Lalu apa yang terjadi?"
Ekspresi Ryuuzaki berubah menjadi serius.
"Tapi si brengsek itu... Ketua mereka... Dia berbeda. Aku tidak menyadari sejak awal bahwa dia memiliki kekuatan Djinn. Necromancer."
Lena tersentak.
"Kekuatan Djinn Necromancer?!"
Ryuuzaki mengangguk pelan. "Aku tidak sadar akan hal itu... Sampai semuanya terlambat. Aku terlalu percaya diri."
Dia menutup matanya sejenak, lalu melanjutkan, "Saat aku mencoba menyerangnya, dia mengeluarkan sebuah benda... Aku tidak tahu apa itu. Dan sebelum aku menyadarinya, sesuatu melompat keluar dari bayangannya."
Kaiden menyipitkan mata. "Sesuatu?"
Ryuuzaki mengangguk. "Ya... Makhluk aneh. Tubuhnya kecil, sebesar kucing... Tapi bentuknya mirip seperti serigala. Dan sebelum aku bisa bereaksi, dia langsung mencabik-cabik lenganku."
Hening.
Semua orang terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.
Lena mengepalkan tangannya. "Sudah kuduga... Mereka mengincar harta pencari Kristal. Jika mereka sampai mendapatkan Benda ini... Kita semua dalam bahaya."
Ryuuzaki tersenyum samar, meski jelas rasa sakit masih menyiksanya.
"Heh... Jadi apa rencana kita sekarang, Kapten?"
Lena berdiri, matanya dipenuhi tekad.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka menang. Tidak peduli apa yang terjadi, kita harus melindungi harta ini."
Kaiden mengangguk. "Aku setuju. Mulai sekarang, kita tidak boleh meremehkan mereka lagi."
Lixs menggenggam pedangnya erat. "Aku tidak tahu banyak soal benda apa yang kamu bilang ini... Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang begitu saja."
Ryuuzaki tertawa kecil. "Hah... Kalian benar-benar tidak berubah."
Dengan keputusan yang telah diambil, mereka semua bersiap.
Karena ini bukan hanya tentang pertempuran kecil.
Ini adalah awal dari perang yang jauh lebih besar.
Lixs menghela nafasnya dan bertanya. "Jadi apa Special nya (Arcana) yang kamu bawa itu?"
.........