Cherreads

Chapter 26 - Chapter 26: Tekad di Bawah Langit Berbintang

Malam di Kota Langit Perak terasa dingin, angin berhembus lembut membawa aroma hujan yang akan segera turun. Wei Chen duduk di tepi jendela kamarnya di penginapan, menatap langit yang penuh bintang. Surat dari ibunya, Lin Xueying, masih ia pegang erat, jari-jarinya gemetar saat membaca ulang kata-kata itu. "Jaga hati murnimu, meski dunia ini kejam…" Kalimat itu terus bergema di pikirannya, bercampur dengan rasa sakit, kerinduan, dan kebencian yang baru saja lahir.

Pintu kamar terbuka perlahan, dan Li Qing, Zhao Yan, serta Su Ling masuk dengan wajah penuh perhatian. "Chenchen, kau belum tidur?" tanya Zhao Yan, suaranya penuh kekhawatiran. Tombak emasnya bersandar di dinding, tapi matanya penuh semangat seperti biasa.

Wei Chen menoleh, matanya masih berkaca-kaca. "Aku… aku tidak bisa tidur, Kakak Kedua," jawabnya, suaranya pelan. "Aku terus memikirkan ibu dan ayah… Sekte Naga Darah… mereka yang membunuh mereka."

Su Ling melangkah maju, duduk di samping Wei Chen, dan memegang tangannya dengan lembut. "Chenchen, kami mengerti perasaanmu," katanya, suaranya penuh kehangatan. "Tapi kau tidak sendiri. Kami di sini untukmu, selalu."

Li Qing mengangguk, pedang peraknya berkilau samar di bawah cahaya lilin. "Kami akan membalas dendam untuk ibu dan ayahmu, Chenchen," katanya, suaranya tegas. "Tapi kita harus fokus pada misi kita sekarang—menemukan Batu Penyegel Suci di Hutan Roh Kuno. Jika celah-celah Dunia Iblis terus terbuka, dunia ini akan jatuh ke dalam kegelapan."

Wei Chen menatap kakak-kakaknya, hatinya terasa lebih ringan meski hanya sedikit. "Terima kasih, Kakak Sulung, Kakak Kedua, Kakak Ketujuh," katanya, suaranya penuh tekad. "Aku… aku akan berusaha lebih keras. Aku tidak akan membiarkan Sekte Naga Darah menghancurkan lebih banyak lagi."

Malam itu, Wei Chen akhirnya tertidur dengan surat ibunya di dekatnya, tapi mimpinya dipenuhi bayang-bayang—bayang-bayang Mo Tian, Fang Wei, dan kegelapan yang terus mencoba menariknya ke dalam jurang.

Keesokan harinya, turnamen kultivasi memasuki hari terakhir babak penyisihan. Wei Chen dan kakak-kakaknya kembali ke arena, tapi suasana terasa lebih tegang dari sebelumnya. Penonton bersorak sorai saat pertandingan demi pertandingan berlangsung, tapi Wei Chen tidak bisa fokus sepenuhnya. Pikirannya masih dipenuhi surat ibunya dan pertarungan melawan Fang Wei.

Saat ia duduk di pinggir arena, menunggu giliran pertandingan berikutnya, sebuah suara dingin tapi lembut terdengar di belakangnya. "Kau terlihat gelisah," kata suara itu. Wei Chen menoleh, dan matanya melebar saat melihat Lan Xue berdiri di dekatnya, kipas kristal saljunya terbuka, auranya penuh keanggunan."

Lan Xue…" gumam Wei Chen, hatinya bergetar. Ia teringat kata-kata Lan Xue kemarin, dan untuk alasan yang tidak ia pahami, kehadiran Lan Xue membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

Lan Xue duduk di sampingnya, matanya biru seperti es menatap ke arah arena. "Aku mendengar tentang pertarunganmu melawan Fang Wei," katanya, suaranya dingin tapi penuh perhatian. "Kau tidak membunuhnya… itu keputusan yang berani, tapi juga berbahaya."

Wei Chen menunduk, tangannya mencengkeram pedang kayu. "Aku… aku tidak ingin jadi seperti dia," jawabnya, suaranya pelan. "Tapi aku takut… aku takut aku akan kehilangan hati murniku, seperti yang kau bilang kemarin."

Lan Xue menatap Wei Chen lebih lama, matanya penuh pemahaman. "Aku pernah seperti kau," katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Keluargaku dibunuh oleh kultivator jahat… aku trauma, dan aku berhenti percaya pada kebaikan hati. Tapi kau… kau berbeda, Wei Chen. Hati murnimu… itu membuatku teringat pada diriku yang dulu."

Wei Chen menatap Lan Xue, matanya melebar penuh keterkejutan. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Lan Xue—sisi yang penuh luka, tapi juga penuh harapan. "Lan Xue… terima kasih," katanya, suaranya penuh kehangatan. "Aku… aku akan berusaha menjaga hati murniku, seperti yang ibuku inginkan."

Lan Xue tersenyum tipis, senyum yang sangat kecil tapi penuh makna. "Jangan biarkan dunia ini menghancurkanmu, Wei Chen," katanya, lalu berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan hawa dingin di udara. Wei Chen menatap punggungnya, hatinya dipenuhi tekad baru.

Sore itu, setelah turnamen selesai, Wei Chen dan kakak-kakaknya berkumpul di penginapan untuk merencanakan perjalanan ke Hutan Roh Kuno. Li Qing membentangkan peta tua di atas meja, jarinya menunjuk ke arah timur Benua Langit Tak Bertepi. "Hutan Roh Kuno ada di sini," katanya, suaranya tegas. "Menurut gulungan dari Lembah Kematian, Batu Penyegel Suci pertama disembunyikan di dalam hutan itu, dijaga oleh roh-roh kuno dan binatang iblis yang sangat kuat."

Zhao Yan mengangguk, tombak emasnya bersandar di dinding. "Kita harus berangkat besok pagi," katanya, suaranya penuh semangat. "Semakin cepat kita menemukan batu itu, semakin cepat kita bisa menyegel celah-celah Dunia Iblis."

Su Ling menatap Wei Chen, matanya penuh kekhawatiran. "Chenchen, kau siap untuk ini?" tanyanya, suaranya lembut. "Hutan Roh Kuno… itu tempat yang sangat berbahaya."

Wei Chen mengangguk, tangannya mencengkeram pedang kayu. "Aku siap, Kakak Ketujuh," jawabnya, suaranya penuh tekad. "Aku harus melakukan ini… demi ibu dan ayahku, demi kalian, dan demi dunia ini."

Malam itu, saat Wei Chen bersiap untuk tidur, ia mendengar suara langkah kaki di luar penginapan. Ia melangkah ke jendela, dan matanya melebar saat melihat sekelompok kultivator berjubah merah darah—anggota Sekte Naga Darah—berkumpul di kejauhan, matanya penuh rencana jahat. Wei Chen bisa merasakan aura mereka, dan hatinya bergetar penuh kewaspadaan.

Di markas Sekte Naga Darah, Mo Tian dan Saudara Gu menatap cermin kuno, senyum licik menghiasi wajah mereka. "Bocah itu akan pergi ke Hutan Roh Kuno," kata Saudara Gu, suaranya penuh rencana jahat. "Kita akan kirim pasukan untuk menghadangnya di sana… dan kita akan pastikan dia tidak pernah kembali."

Mo Tian mengangguk, matanya menyala penuh kebencian. "Aku akan menghancurkan hati murni bocah itu," gumamnya, suaranya penuh dendam. "Dan Relik Darah Abadi akan menjadi milikku."

Di bawah langit berbintang yang mulai tertutup awan gelap, Wei Chen menatap ke kejauhan, tangannya mengepal erat. Hutan Roh Kuno menanti, dan ia tahu—perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling berbahaya dalam hidupnya. Tapi demi ibu dan ayahnya, demi kakak-kakaknya, dan demi hati murninya yang masih berjuang untuk bertahan, ia tidak akan mundur.

More Chapters