Arena turnamen kultivasi di Kota Langit Perak dipenuhi sorak sorai penonton yang membara, tapi suasana di tengah arena terasa mencekam. Wei Chen berdiri dengan pedang kayunya terhunus, matanya penuh tekad tapi juga ketakutan. Di depannya, Fang Wei berdiri dengan pedang hitamnya, auranya penuh kegelapan dan kebencian. Dua kultivator muda ini, satu dengan hati murni yang mulai goyah, dan satu yang telah tenggelam dalam kegelapan, berdiri berhadapan, siap untuk bertarung.
Penonton terdiam sejenak, menanti pertarungan yang akan menjadi salah satu yang paling sengit di babak kedua turnamen. Li Qing, Zhao Yan, dan Su Ling berdiri di pinggir arena, wajah mereka penuh kekhawatiran. "Chenchen, kau harus waspada," gumam Li Qing, tangannya mencengkeram gagang pedang peraknya. "Fang Wei bukan lawan sembarangan."
Zhao Yan mengangguk, tombak emasnya siap di tangan. "Aku percaya padamu, Chenchen," katanya, suaranya penuh semangat. "Tunjukkan bahwa kau berbeda darinya!"
Su Ling memegang tangannya sendiri, matanya penuh doa. "Chenchen… jangan biarkan kegelapan menguasaimu…" gumamnya, suaranya pelan tapi penuh harapan.
Wasit turnamen mengangkat tangan, suaranya menggema di seluruh arena. "Pertandingan babak kedua dimulai! Wei Chen dari Puncak Awan Suci melawan Fang Wei dari Sekte Bayangan Gelap!"
Fang Wei langsung bergerak, pedang hitamnya menciptakan gelombang energi gelap yang bergerak seperti asap—Tebasan Bayangan Kematian. Gelombang itu melesat ke arah Wei Chen dengan kecepatan tinggi, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Wei Chen melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan gesit, tapi gelombang itu menghantam sisi arena, menciptakan retakan besar di lantai batu.
"Kau cepat juga, anak kampung," kata Fang Wei, suaranya dingin dan penuh ejekan. "Tapi itu tidak akan cukup untuk menyelamatkanmu." Ia melangkah maju, pedangnya bergerak lagi, menciptakan puluhan bayangan hitam yang melesat ke arah Wei Chen dari segala arah.
Wei Chen mengangkat pedang kayunya, qi-nya mulai bergetar. Ia melancarkan Tebasan Awan Murni, gelombang energi putih bercampur merah yang membelah udara. Gelombang itu menghantam beberapa bayangan hitam, tapi sisanya tetap melesat ke arahnya. Dengan cepat, ia melompat ke belakang, tapi salah satu bayangan mengenai lengannya, meninggalkan luka dalam yang berdarah.
"Chenchen!" teriak Su Ling, matanya melebar penuh kekhawatiran.
Wei Chen mendarat dengan satu lutut di tanah, napasnya tersengal, darah menetes dari lengannya. Ia menatap Fang Wei, matanya penuh kemarahan tapi juga ketakutan. Fang Wei adalah cerminan dari apa yang ia takuti—seseorang yang telah kehilangan hati murninya, tenggelam dalam kegelapan tanpa belas kasihan.
"Kau lemah," kata Fang Wei, suaranya penuh kebencian. "Hati murnimu itu… itu cuma beban. Aku pernah seperti kau, tapi aku belajar—di dunia ini, hanya yang kuat yang bertahan. Dan kau… kau akan mati di sini." Ia melangkah maju, pedang hitamnya siap untuk memberikan serangan terakhir.
Namun, kata-kata Fang Wei justru membangkitkan sesuatu di dalam diri Wei Chen. Ia mengingat kata-kata Lan Xue: "Jangan biarkan dunia ini menghancurkan hati murnimu." Ia juga mengingat kakak-kakaknya, yang selalu percaya padanya. Dengan tangan gemetar, ia berdiri, pedang kayunya terangkat, matanya menyala penuh tekad.
"Aku… aku tidak akan jadi seperti kau!" teriak Wei Chen, suaranya penuh semangat. Qi-nya mulai bergetar hebat, tapi kali ini, ia mencoba mengendalikannya. Ia menutup mata sejenak, mengingat wajah kakak-kakaknya, dan hati murninya mulai menenangkan qi yang liar. Dengan fokus, ia melancarkan Tebasan Awan Murni yang lebih kuat dari sebelumnya, gelombang energi putih-merah yang membelah udara dengan kecepatan tinggi.
Fang Wei tidak sempat menghindar. Gelombang itu menghantam dadanya, merobek jubah hitamnya, dan membuatnya terpental ke belakang. Ia jatuh ke tanah dengan keras, darah mengalir dari mulutnya, tapi ia masih hidup. Matanya melebar penuh keterkejutan, lalu berubah menjadi kebencian yang lebih dalam.
"Kau… kau akan menyesal membiarkanku hidup…" gumam Fang Wei, suaranya penuh dendam, sebelum pingsan di tengah arena.
Penonton meledak dalam sorak sorai, kagum dengan kemenangan Wei Chen. Namun, Wei Chen tidak merasa seperti pemenang. Ia jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal, luka di lengannya masih berdarah. Ia menatap tubuh Fang Wei, hatinya dipenuhi konflik. Ia tidak membunuh Fang Wei, tapi ia tahu—keputusan itu mungkin akan kembali menghantuinya.
Li Qing, Zhao Yan, dan Su Ling segera berlari ke arahnya, wajah mereka penuh kelegaan. "Chenchen, kau menang!" seru Zhao Yan, suaranya penuh semangat. "Aku tahu kau bisa melakukannya!"
Su Ling memeluk Wei Chen dengan erat, matanya berkaca-kaca. "Kau luar biasa, Chenchen," katanya, suaranya penuh kehangatan. "Aku sangat bangga padamu."
Li Qing tersenyum kecil, tangannya memegang pundak Wei Chen. "Kau sudah belajar banyak hari ini, Chenchen," katanya, suaranya penuh kebanggaan. "Kau menunjukkan bahwa kau berbeda dari Fang Wei. Hati murnimu adalah kekuatan, bukan kelemahan."
Wei Chen tersenyum lelet, tapi hatinya masih berat. "Terima kasih, Kakak Sulung, Kakak Kedua, Kakak Ketujuh," katanya, suaranya pelan. "Tapi… aku masih takut. Aku takut aku akan kehilangan diriku sendiri…"
Setelah turnamen selesai untuk hari itu, Wei Chen dan kakak-kakaknya kembali ke penginapan sementara di Kota Langit Perak. Malam itu, Wei Chen duduk sendirian di kamarnya, menatap pedang kayunya dengan tatapan kosong. Tiba-tiba, Li Qing masuk, membawa sebuah kotak kayu kecil yang terlihat tua.
"Chenchen, ini dari Master Yun Xiao," kata Li Qing, suaranya lembut. "Dia memintaku memberikannya padamu setelah turnamen selesai. Katanya… ini ada hubungannya dengan masa lalumu."
Wei Chen mengambil kotak itu dengan tangan gemetar, hatinya berdegup kencang. Ia membukanya perlahan, dan di dalamnya, ia menemukan sebuah surat yang sudah menguning, ditulis dengan tulisan tangan yang indah. Ia membukanya, dan matanya melebar saat membaca kata-kata pertama.
"Anakku… aku Lin Xueying, ibumu, dan ayahmu Wei Tianlong. Kami adalah penjaga Relik Darah Abadi, tapi kami dibunuh oleh Sekte Naga Darah saat kau masih bayi. Kami menyembunyikanmu di tepi hutan dekat Puncak Awan Suci, berharap kau akan selamat. Jaga hati murnimu, meski dunia ini kejam… kami selalu mencintaimu."
Wei Chen menatap surat itu, air matanya mulai menetes tanpa ia sadari. "Ibu… Ayah…" gumamnya, suaranya penuh rasa sakit dan kerinduan. Untuk pertama kalinya, ia mengetahui asal-usulnya, dan kebencian terhadap Sekte Naga Darah mulai membakar hatinya. Ia mengepal tangan, matanya menyala penuh tekad.
"Sekte Naga Darah… aku akan membuat kalian membayar untuk ini," gumamnya, suaranya penuh dendam. Hati murninya masih ada, tapi di dalamnya, sebuah api baru telah menyala—api balas dendam yang akan membawanya lebih jauh ke dalam dunia kultivasi yang kejam.
Di markas Sekte Naga Darah, Mo Tian dan Saudara Gu menatap cermin kuno, senyum licik menghiasi wajah mereka. "Bocah itu mulai membenci kita," kata Saudara Gu, suaranya penuh rencana jahat. "Bagus… kebencian akan membuatnya jatuh lebih cepat."
Mo Tian mengangguk, matanya menyala penuh kebencian. "Di Hutan Roh Kuno, kita akan hancurkan dia sepenuhnya," gumamnya, suaranya penuh dendam. "Dan Relik Darah Abadi akan menjadi milikku."
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Wei Chen memegang surat ibunya erat-erat, hatinya dipenuhi tekad baru. Dunia kultivasi yang kejam terus mengujinya, tapi ia tahu—ia tidak akan menyerah, demi kakak-kakaknya, demi ibu dan ayahnya, dan demi hati murninya yang masih berjuang untuk bertahan.