Tempat itu bukanlah desa. Tapi juga belum bisa disebut hutan. Di ujung dunia yang bahkan peta tak mencatatnya, di antara lembah yang tersembunyi oleh kabut abadi, para penyintas—Party Velhira—bernaung. Tak ada nama untuk tempat ini, hanya sunyi, pohon-pohon tinggi, dan angin dingin yang membawa aroma abu dari pertempuran kemarin.
Mereka tak lagi mengenakan pakaian kebesaran. Tak ada lambang, tak ada bendera, tak ada kemegahan. Yang tersisa hanya tubuh luka, jiwa koyak, dan diam yang panjang.
Kilyuna duduk di atas batu datar dekat api kecil. Matanya mengamati sekeliling, mengamati Vilma yang tengah menutup mata di bawah pohon besar, dan Kael yang masih tidur dengan jari-jari tangannya yang terikat perban.
"Sudah tiga minggu," gumam Kilyuna. "Tak ada satu pun pesan sihir. Tak ada elang pembawa berita. Tak ada pasukan pencari."
Vilma membuka matanya perlahan. "Menurutmu… kita dianggap mati?"
"Atau dibuang," jawabnya singkat. "Terserah mereka."
Tak ada yang membalas. Nira, satu-satunya penyembuh yang tersisa, tengah menumbuk herba dari tanaman liar. Matanya sayu, tak lagi memancarkan keceriaan yang dulu membuat mereka tersenyum. Pemimpin mereka, Velhira, kini hanya tinggal dalam kenangan pahit yang tak bisa mereka sebutkan tanpa rasa sesak.
"Kau akan pergi?" tanya Vilma tiba-tiba.
Kilyuna mengangkat alis. "Ke mana?"
"Kau bilang kau tak suka terikat pada siapapun," bisik Vilma. "Kalau memang begitu, tempat ini bukan untukmu."
Ia menatap api sebentar sebelum menjawab, "Aku pernah bilang aku ingin bebas. Tapi bukan berarti aku akan meninggalkan kalian. Aku… sudah terlalu jauh bersama kalian untuk kembali sendiri."
Vilma menunduk. "Terima kasih."
---
Malamnya, langit memerah, bukan karena api, melainkan aurora aneh dari reretakan dimensi di kejauhan. Kilyuna memandangnya dengan serius. Ia tahu sesuatu sedang berubah di luar sana. Dewan, yang pernah ia hindari, pasti sedang bergerak. Ia tahu karena tubuhnya—matanya—merespons retakan itu. Pertahanan Dimensi yang ada dalam dirinya seperti berdenyut, memperingatkan sesuatu.
"Aku tahu mereka akan mencariku suatu saat nanti…" katanya pada dirinya sendiri. "Tapi saat itu tiba… aku akan hadapi mereka sebagai aku yang sekarang."
Vilma mendekat. "Apa kau… takut?"
"Takut? Tidak," jawab Kilyuna pelan. "Tapi aku marah. Karena eksperimen itu… bukan cuma menyakitiku. Tapi mereka menganggap kami semua—kita semua—alat."
Vilma menatapnya, lalu bertanya, "Apa yang akan kau lakukan?"
"Melawan, tentu saja. Tapi bukan sekarang. Sekarang kita harus sembuh. Kau, aku, semuanya."
Ia berdiri dan menatap ke arah gunung tinggi di kejauhan.
"Tempat ini... mungkin bukan rumah, tapi cukup aman untuk jadi awal."
---
Di tengah sunyi, angin membawa kabar dari dunia, meski mereka belum tahu. Kota tempat mereka terakhir terlihat kini berada di bawah kendali penuh Kerajaan Rubelion. Tharn tak pernah mengakui kekalahan, dan Rimosa sang naga api... hanyalah dongeng di mata mereka.
Namun di tempat tersembunyi itu, api kecil masih menyala, diselubungi bayangan, namun tak padam. Karena harapan bukan hanya milik pahlawan, tapi juga milik mereka yang pernah kalah dan memutuskan untuk berdiri kembali.
---