Cherreads

Chapter 17 - Bab 18: Api yang Tidak Padam

Pertarungan telah memasuki malam kedua. Hujan turun deras, namun tak mampu memadamkan api dari pertempuran yang terus membara. Party Velhira, kini tanpa pemimpinnya, terus bertahan dalam putaran tak berujung antara hidup dan mati. Tubuh mereka lelah, luka menganga di mana-mana, tapi kemarahan dan kesedihan atas kehilangan Velhira membuat mereka masih bisa berdiri.

Tharn Braggur, berdarah biru yang membawa dendam pribadi pada pemimpin mereka, berdiri angkuh meski sama-sama kelelahan. Dia tak lagi bertarung demi Kerajaan atau kekuasaan. Ia hanya ingin membuktikan bahwa Velhira dan kelompoknya tak pantas hidup. Namun, saat pemimpin itu tumbang, kebencian Tharn belum padam. Ia ingin menumpas semuanya.

Vilma bersembunyi di balik puing bangunan yang runtuh, tubuhnya gemetar bukan karena dingin, tapi karena rasa bersalah yang menyiksa. Ia tidak bisa menyelamatkan Velhira. Ia tidak bisa membantu yang lain. Matanya yang unik menyala samar di dalam gelap—tanda bahwa kekuatan yang diwarisinya dari darah naga masih terus memberontak dari dalam dirinya.

Di sisi lain, Kilyuna, kini terlihat berbeda. Wajahnya masih muda, tapi tatapannya sudah berubah—lebih tenang, lebih dalam, seolah beban yang selama ini dia sembunyikan mulai berubah menjadi kekuatan. Ia membantu Kael yang setengah pingsan sambil sesekali menahan serangan sihir dari pasukan Tharn.

"Vilma!" teriaknya saat melihat gadis itu terpaku. "Jangan diam di situ! Kalau kau mati, semua pengorbanan Velhira akan sia-sia!"

"Aku... aku tak tahu harus jadi apa... Aku bahkan tak bisa—" Vilma tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Suaranya tenggelam dalam raungan langit yang memekakkan telinga.

Namun tiba-tiba, udara di sekitar mereka berubah. Awan hitam menebal di langit, dan kilatan merah menyala di antara celahnya. Suara dentuman terdengar dari kejauhan, seperti sesuatu yang besar datang menembus dimensi dunia.

Langkah berat terdengar, dan dari balik kabut dan api, muncul sesosok makhluk yang tak asing bagi Vilma. Sisik hitam kemerahan, mata tajam dengan pupil melingkar seperti miliknya, dan aura yang menyapu seluruh medan perang dengan tekanan mencekam.

Rimosa, seekor naga api kuno, ayah kandung Vilma, akhirnya muncul.

Semua orang berhenti. Bahkan Tharn pun refleks mundur setapak, mencoba memahami makhluk besar yang berdiri di hadapannya. Namun bukan kekuatan Rimosa yang membuatnya gentar—melainkan perasaan bahwa makhluk ini bukan datang untuk menyerang... tapi melindungi.

"Anakku," gumam Rimosa dalam bahasa naga, tapi entah bagaimana Vilma bisa mengerti semuanya. "Kau belum siap menanggung dunia ini. Tapi aku bisa membuka jalan untukmu."

Vilma berdiri perlahan, tatapannya mulai kembali hidup. "Ayah…?"

Rimosa tidak menjawab. Ia hanya menatap Vilma penuh kasih, lalu mengangkat sayapnya yang besar, membentangkan perlindungan dari langit yang terbakar.

Pertarungan belum selesai, tapi Rimosa mulai menyerang. Dengan nafas api yang begitu panas hingga melengkungkan ruang, ia memaksa pasukan Tharn mundur. Namun, dia tahu tubuhnya sudah melemah akibat luka lama dan usia.

"Gunakan waktu ini. Lari."

Kilyuna menggertakkan gigi. "Kalau kita pergi, dia akan—"

"Aku tahu," kata Vilma, perlahan berbalik. "Tapi jika kita tinggal… semua ini sia-sia."

Kilyuna hanya menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Ayo, cepat!"

Party Velhira—atau apa yang tersisa darinya—mundur di bawah lindungan api sang naga. Kael membawa Nira, Kilyuna menahan air mata, dan Vilma menatap ayahnya untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya mereka semua lenyap di balik reruntuhan kota.

Di belakang mereka, Rimosa menahan serangan terakhir Tharn. Dalam ledakan api yang menyala ke langit malam, suara auman terakhir terdengar, lalu sunyi.

---

Di tempat persembunyian sementara mereka, keputusasaan menggantung di udara. Tak ada yang bicara. Tak ada yang menangis. Bahkan amukan pun tak keluar. Hanya keheningan dan rasa hampa.

Kilyuna duduk di samping api kecil, menatap langit.

"Aku benci ini," katanya pelan. "Tapi aku tahu… inilah harga dari mempercayai orang lain."

Vilma menatap tangan kosongnya. Tapi kali ini, tidak ada ketakutan. Hanya kesadaran.

"Aku akan tumbuh dari ini," gumamnya. "Jika aku ingin berubah dunia, aku tak bisa terus bersembunyi."

Dan untuk pertama kalinya, dalam waktu yang lama, Vilma merasa kekuatan di dalam dirinya tidak lagi mengancamnya... tapi menunggu dia menerimanya.

---

More Chapters