Cherreads

Chapter 2 - BAB 2: DETAK YANG TAK PERNAH BERUBAH DAN JEJAK TANPA NAMA

Bab 2 – Detak yang Tak Pernah Berubah

Perpustakaan sore itu sepi. Cahaya matahari menyelinap dari sela jendela, menciptakan pola di atas lantai kayu. Hanya ada dua orang di sana.

Reivan duduk dengan sebuah buku tipis di tangannya—buku sains populer tentang logika kriminologi. Padahal isinya terlalu dangkal untuk ukuran otaknya. Tapi dia membacanya… demi menjaga peran.

"Sendirian lagi?" suara lembut muncul di depannya.

Reivan mendongak. Kaori Senzaki berdiri di sana, membawa dua gelas minuman dalam tangan. Dia agak gugup, tapi tatapannya serius.

"Aku bawa teh madu. Aku tahu kau nggak suka yang manis banget."

Reivan menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Terima kasih."

Kaori duduk di hadapannya. Ia memutar-mutar pena, seolah mencari momen.

"Aku cuma mau tanya satu hal. Mungkin aneh." Ia berhenti sejenak. "Waktu kau tertawa di kelas... kenapa pupil matamu tidak ikut mengecil?"

Reivan tidak terkejut. Ia sudah mencium rasa penasaran dari gadis ini sejak lama.

"Mungkin aku cuma tak bisa tertawa dengan jujur," jawabnya ringan.

Kaori menggigit bibirnya. "Aku... penasaran. Karena aku juga seperti itu. Tapi... entah kenapa, melihat kau diam-diam membaca buku tipis seperti ini... aku merasa kau kesepian."

Reivan menutup bukunya. "Mungkin kita sama, tapi dengan alasan yang berbeda."

Untuk pertama kalinya, Kaori melihat sesuatu yang tak bisa ia jelaskan di mata Reivan. Seperti… kesunyian yang tidak bisa disentuh.

---

Malam pun datang. Di tengah lorong sekolah yang gelap, lima bayangan menyelinap.

Lima mata-mata bayaran kelas-A. Mereka dikenal sebagai "Wraith Pack". Berasal dari berbagai negara, dan kali ini dikontrak oleh pihak misterius untuk satu target: Night Hunter.

"Target ada di dalam ruang penyimpanan lantai tiga. Jebakan sudah disiapkan," ujar salah satu dari mereka melalui ear-piece.

Namun, saat mereka membuka pintu ruangan itu… hanya ada papan tulis bertuliskan:

"Langkah kalian terlalu berat."

Tiba-tiba… BLAMM!

Benda mirip tabung gas meledak ringan, mengeluarkan asap putih menyilaukan. Dalam kabut itu, satu demi satu dari mereka dijatuhkan.

Snap!

Tali sepatu dikaitkan ke tiang baja.

Crash!

Wadah pel lantai dijadikan senjata tumpul.

Thump!

Tumpukan buku berat dihantamkan dari atas rak.

Mata-mata profesional itu… dipermalukan. Dengan alat seadanya. Tanpa suara.

Satu dari mereka sempat melihat bayangan sosok itu—Reivan, mengenakan jaket sekolah dan masker hitam seadanya. Ia tak bicara. Tatapannya dingin. Dan dengan satu gerakan cepat, dia membuat lawannya tak sadarkan diri.

Tak ada yang tahu.

Tak ada saksi.

Dan saat pagi datang… para mata-mata itu sudah tak ada. Entah dibawa ke mana. Yang tersisa hanya ruang penyimpanan yang rapi… dan Reivan yang duduk di kelas seperti biasa, tersenyum tenang sambil menyeruput susu kotak.

Kaori memperhatikannya diam-diam. Jantungnya berdetak cepat, tanpa alasan.

Dia bukan siswa biasa. Aku yakin… ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Tapi Reivan tak mempedulikan semua itu.

Ia hanya bergumam dalam hati, "Specter Eidolon… cepat atau lambat, aku akan menemukan kalian."

---

Hari ini adalah hari ujian fisik di SMA Kurogane. Siswa-siswi berbaris di lapangan, banyak yang mengeluh karena harus berlari pagi-pagi.

"Kukira SMA ini tidak menyiksa muridnya…" gerutu Mizuki sambil merapikan rambutnya. Ia mengenakan seragam olahraga ketat yang tak luput menarik perhatian beberapa cowok.

Sementara Althea hanya berdiri diam di pinggir lapangan, tangannya menyilangkan dada, menatap Reivan dari jauh.

"Dia bahkan belum berkeringat… padahal sudah dua putaran," gumamnya.

Ya, Reivan berlari di lintasan tanpa menunjukkan sedikit pun tanda lelah. Napasnya stabil, ekspresinya tenang.

"Eh, Kaori-san, kamu nggak ikut?" tanya Mizuki.

Kaori yang sedang mencatat sesuatu di buku kecilnya terkejut. "A-aku? Iya… nanti."

Mizuki mencibir. "Catatan lagi, catatan lagi. Jangan-jangan kamu sedang investigasi siapa cinta pertamamu, ya?"

Kaori merah padam. "B-bukan! Aku cuma… ingin tahu kenapa detak jantung Reivan tetap stabil bahkan setelah berlari sejauh itu…"

Mizuki dan Althea sama-sama menoleh padanya.

"…Kau menghitung detak jantungnya?" tanya Althea datar.

"Dari gerakan nadi di lehernya. Teknik dasar observasi," jawab Kaori cepat.

Mizuki dan Althea saling melirik.

"…Oke, dia lebih serius dari kita."

---

Sementara itu, di atap sekolah, seorang pria berdiri mengenakan headset kecil. Berjas putih, wajah tenang, tapi matanya menyipit tajam ke arah lapangan.

"Konfirmasi awal… anak itu memang bukan Anak biasa. Sensor thermal menunjukkan tak ada peningkatan suhu tubuh. Kita harus lapor."

Suara di headset menjawab, "Teruskan pengamatan. Jangan kontak langsung. Specter Eidolon tidak ingin kegagalan seperti 'Wraith Pack' terulang."

Pria itu mengangguk dan menghilang di balik pintu atap.

---

Sore harinya, Reivan berjalan sendirian di lorong perpustakaan lama. Di tangannya, ada secarik kertas yang ia temukan diselipkan di loker pagi tadi.

"Kau tahu siapa yang membunuh ayahmu. Kita bisa bertemu. Datang ke ruang penyimpanan musik pukul 17.00."

Mata Reivan sempat menyipit. Tapi ia tetap tenang dan berjalan santai ke lokasi.

Sesampainya di sana—ruangan gelap, hanya satu lampu menggantung redup.

Di tengah ruangan… tak ada siapa pun.

Kecuali sebuah boneka mainan yang tergantung dengan tali piano… dan rekaman suara yang berulang:

"Night Hunter… kami tahu kau mendengar. Ini baru awal."

Reivan menghela napas dan menendang kursi di sudut ruangan. Saat kursi itu jatuh, ia tersenyum tipis.

"Pesan kalian sampai. Tapi sayang sekali…"

"…aku selalu dua langkah lebih dulu."

---

Saat malam turun, Kaori menunggu di halte bus. Ia menoleh saat menyadari seseorang duduk di sebelahnya.

"Kaori."

Suara Reivan. Ia muncul tanpa suara, tanpa jejak.

"Reivan? Kenapa kau ada di sini?"

"Aku tahu kau mengikutiku."

Kaori terdiam. Tapi Reivan tidak marah, tidak juga tersenyum.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

Kaori menunduk. "…Aku ingin tahu… kenapa kau tidak pernah terlihat takut… tidak pernah terlihat hidup…"

Reivan menatap ke langit.

"…Karena mungkin… aku memang belum hidup."

Kaori terdiam. Tapi senyum lembut muncul di wajahnya.

"Kalau begitu… boleh aku jadi orang pertama yang membuatmu hidup?"

Reivan tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya—meski hanya sesaat—detak jantungnya nyaris berubah.

---

More Chapters