Cherreads

Chapter 3 - BAB 3: TOPENG DAN RERUNTUHAN BAYANGAN

Malam belum benar-benar pekat ketika Kaori akhirnya sampai di rumahnya. Tapi pikirannya masih tertinggal di halte… di kalimat terakhir Reivan.

> "Karena mungkin… aku memang belum hidup."

Ucapan itu terus terngiang di telinganya, membuat Kaori tak bisa tidur.

Ia pun membuka buku catatannya—sebuah jurnal kecil yang hanya berisi satu nama di halaman pertamanya:

"Reivan Arkady ."

Kaori menatap halaman kosong berikutnya, lalu menulis:

> Hari ini dia menatap langit. Tapi matanya tidak melihat bintang, hanya kekosongan.

> Dia tidak menolak ketika aku bilang ingin membuatnya hidup. Tapi dia juga tidak menerimanya.

> Aku akan membuatnya bicara. Jujur. Suatu hari nanti.

---

Hari berikutnya, di sekolah…

"Pagi, Reivan."

"Pagi."

"Reivan, kamu sudah ngerjain PR fisika?"

"Sudah."

"Boleh lihat sebentar?"

"Tidak."

Dialog-dialog singkat itu menjadi rutinitas yang anehnya… dinantikan Kaori setiap pagi. Ia mulai terbiasa berjalan di samping Reivan saat menuju kelas. Bahkan Mizuki dan Althea pun tak lagi heran.

"Kamu makin lengket, ya, Kaori," goda Mizuki.

Kaori memerah. "B-bukan begitu!"

"Yah, kalau kamu nggak mau, aku aja deh." Mizuki mengedip ke Reivan.

Reivan hanya menatap kosong. "Aku alergi drama."

Althea terkikik. "Satu-satunya cowok yang bisa menolak Mizuki segamblang itu…"

Di dalam hati, Kaori tersenyum tipis. Tapi kemudian… ia sadar. Senyuman Reivan hari ini sedikit… berbeda. Bukan palsu. Tapi juga bukan jujur.

Seolah... ia sedang mencoba sesuatu yang baru.

---

Sore harinya, Kaori berada di perpustakaan lagi. Tapi bukan untuk membaca.

Ia menyusuri lorong belakang yang jarang dilewati siswa. Di sinilah ia melihat sesuatu yang tak biasa—kamera sekolah yang… mengarah ke tembok kosong?

"Kenapa kamera ini diarahkan ke dinding?" gumamnya.

Ia membuka ponselnya, mengakses aplikasi hacking ringan miliknya—hasil belajar dari pamannya yang mantan polisi. Bukan tingkat tinggi, tapi cukup untuk membuka jalur CCTV sekolah.

Ia menemukan cuplikan aneh.

Tanggal kemarin.

Pukul 17.04.

Cuplikan menunjukkan… lima sosok bertopeng memasuki ruang musik.

Namun… tidak ada rekaman setelah itu.

Lompat langsung ke pukul 17.38. Ruangan kosong.

Kaori menggigit bibirnya. "Ada yang menghapus data…"

Lalu ia memutarnya ulang.

Di detik terakhir sebelum video loncat, ada satu frame tak sempurna—seseorang berdiri di sudut pintu. Tak terlalu jelas, tapi posturnya… tak asing.

"…Reivan?"

---

Malamnya, Kaori duduk sendirian di kamarnya, menatap foto cetak dari rekaman itu. Ia tahu apa artinya.

Reivan sedang terlibat dalam sesuatu. Sesuatu yang tak bisa dia bagikan pada siapa pun.

Tapi… Kaori tidak takut.

Sebaliknya, hatinya bergetar karena satu hal: Dia ingin tahu segalanya tentang Reivan.

Dan mungkin—jika memang Reivan tidak pernah hidup sesungguhnya—Kaori ingin jadi alasan dia mulai merasakan kehidupan.

---

Sementara itu, di puncak gedung tinggi yang menghadap SMA Kurogane, seorang pria bertubuh tegap duduk sambil menghisap rokok elektrik.

"Kau yakin dia tidak menyadari kita mengawasi?"

Suara di sebelahnya menjawab, "Kita tidak sedang mengawasi, kita sedang memancing. Reivan Lucien bukan target biasa. Tapi seseorang… sedang terlalu dekat dengan rahasianya."

Rokoknya padam. Angin malam meniup jaketnya yang bergambar simbol burung hantu hitam—logo Specter Eidolon.

---

Pagi hari itu cerah. Terlalu cerah untuk seseorang seperti Mizuki, yang memanfaatkan cuaca bagus sebagai alasan sempurna untuk memamerkan pesonanya.

Ia berdiri di depan pintu kelas lebih awal dari biasanya, rambut diikat setengah dan seragamnya sedikit dimodifikasi agar terlihat lebih "menggoda"—tentu dalam batas yang tak melanggar aturan sekolah.

"Target terkunci," gumamnya sambil menatap Reivan yang baru muncul di koridor, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap rapi dengan caranya sendiri.

Mizuki langsung menyambutnya dengan senyum penuh niat.

"Pagi, Reivan~ Kau mimpiin aku semalam?"

Reivan menatapnya sebentar. "Tidak. Aku tidak bermimpi."

"…Oh? Kenapa?"

"Karena tidurku terlalu damai."

Mizuki mengedip. "Berarti aku bisa jadi alasan tidurmu jadi lebih... 'tidak damai'?"

Reivan berhenti. Tatapannya kosong, tapi kemudian ia mendekat sedikit, menatap tepat ke mata Mizuki, hanya berjarak beberapa sentimeter.

"…Kalau kau berdiri lebih dekat lagi, detak jantungmu bisa terdengar sampai ujung kelas."

Mizuki kaku.

"…K-kau yakin kau nggak punya pengalaman soal cinta?"

"Yakin." Reivan berjalan melewatinya begitu saja.

Mizuki menahan napas, pipinya memerah, dan detik berikutnya ia menyender ke dinding dengan tangan di dada.

"…Sial. Aku yang godain… kenapa aku yang deg-degan?"

Dari kejauhan, Kaori dan Althea menatap kejadian itu.

"…Satu lagi tumbang," ujar Althea santai.

Kaori menghela napas. "Dia benar-benar… nggak sadar atau pura-pura nggak sadar, sih…"

---

Bulan Malam Kembali bersinar.

Reivan berdiri di atap bangunan tua tak jauh dari distrik kota bagian timur. Ia mengenakan pakaian hitam lengkap, masker setengah wajah dengan pola serupa retakan obsidian. Di pinggangnya, hanya ada tali multifungsi, senter kecil, dan pisau lipat ringan.

Night Hunter kembali bekerja.

Ia mengamati gudang yang telah lama terbengkalai. Tapi hasil penyadapannya dari ponsel milik salah satu guru yang mencurigakan menunjukkan sinyal aneh berasal dari lokasi ini.

Dengan langkah tenang dan hampir tak bersuara, Reivan menyelinap ke dalam melalui jendela kecil di belakang.

Gelap.

Namun tak lama kemudian, ia melihatnya.

Di tengah gudang, tersembunyi di balik papan-papan tua, ada sebuah koper logam hitam. Di sampingnya, simbol burung hantu hitam terukir samar.

Specter Eidolon.

Reivan membuka koper itu dengan cepat, tangannya sigap menggunakan alat pembuka kunci digital kecil.

Klik.

Isinya: dokumen kertas dengan stempel merah tua, kartu identitas palsu, dan—yang paling menarik—sebuah foto buram seseorang sedang berjabat tangan dengan seorang pria paruh baya…

Ayah Reivan.

"…"

Wajah Reivan tak berubah. Tapi matanya menyipit. Tangannya mengepal.

"Specter Eidolon bukan hanya membunuh… mereka mengkhianati."

Ia menyimpan semua dokumen itu dalam kantong khusus dan kembali keluar dari tempat itu seolah tak pernah masuk.

Tapi dari kejauhan, seseorang sedang mengamati dari kamera tersembunyi.

"Night Hunter muncul. Dia bergerak. Kirim unit bayangan malam. Jangan biarkan dia mendekati file utama."

---

More Chapters