Keesokan harinya, suasana kelas 2-B lebih ramai dari biasanya. Para murid saling berbisik, terutama para murid perempuan yang tampak sangat antusias. Kaori, Althea, Mizuki, dan Kori duduk di bangku mereka masing-masing, penasaran dengan kegaduhan yang tidak biasa.
"Katanya guru baru itu ganteng banget," bisik Mizuki sambil memegang cermin kecil.
"Eh? Guru baru? Aku baru dengar sekarang," sahut Kaori datar.
"Kalau dia ganteng, aku mau duduk di barisan depan!" Althea menyeringai.
Saat itulah, pintu kelas terbuka perlahan.
Langkah anggun memasuki ruangan, sepatu hitam mengkilap menyentuh lantai seirama dengan napas yang tertahan. Laki-laki dengan jas guru rapi, kacamata tipis di hidung mancung, rambut hitam kebiruan yang disisir ke belakang sempurna. Senyum ramah menyapa semua murid.
"Selamat pagi. Nama saya Tatsuki Aoyama, guru pengganti untuk pelajaran 'Interaksi Sosial & Seni'. Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik."
Seisi kelas langsung ribut.
"GILAAAA GANTENGNYAAAA!"
"SUARANYA KAYA DRAMA DUB LUAR NEGERI!"
"SENYUMNYA… AAAAH!"
Namun, tidak dengan Reivan.
Ia hanya menatapnya. Sekilas. Lalu tersenyum.
Senyum palsu. Senyum profesional.
Dan di detik itu, Reivan tahu.
Itu dia. Salah satu dari lima bayangan. Pembunuh berdarah dingin yang dikirim Specter Eidolon.
Tatsuki menyapu pandangan ke seluruh kelas… lalu matanya bertemu dengan Reivan.
Satu detik. Dua detik.
Tatapan yang terasa seperti pisau beradu di udara. Begitu tajam hingga bisa membelah keheningan.
Namun tak seorang pun menyadari. Bahkan Kaori yang dikenal jenius pun hanya menduga Reivan sedang "tertarik" untuk pertama kalinya.
"Ini… aneh…" gumamnya. "Kenapa Reivan kelihatan terpesona?"
"Uwah, dunia mau kiamat!" sahut Althea.
Tatsuki tertawa ringan, melanjutkan pelajaran.
---
Sepanjang kelas, kejadian-kejadian aneh mulai terjadi.
Papan tulis hampir jatuh tepat ke arah Reivan saat ia berdiri.
Bangku yang diberi bubuk licin, membuatnya hampir terpeleset saat duduk.
Sebuah penggaris besi meluncur dari rak, mengarah ke kepala Reivan.
Tapi Reivan selalu… selamat.
Bukan karena keberuntungan. Tapi karena kalkulasi. Perhitungan presisi. Seperti dewa yang bermain di antara manusia.
Dan ia tetap tersenyum.
---
"Hari ini kita akan melakukan aktivitas praktikal," kata Tatsuki sambil menepuk tangan. "Kita akan memasak. Kelas ini akan terbagi menjadi beberapa tim. Aku ingin melihat bagaimana kalian bekerja sama."
"UWAAH! MASAK?!"
"Yay! Aku mau satu tim sama Reivan!" teriak Mizuki spontan.
"Eh?! Aku juga dong!" Kaori menyikutnya.
"Sudah ditentukan," ujar Tatsuki, dengan senyum lembut namun manipulatif. "Tim Reivan dengan Mizuki."
Mizuki langsung meledak kegirangan. Kaori ngambek. Althea cemberut. Kori hanya geleng-geleng melihatnya.
---
Di dapur kecil sekolah, semua murid sibuk memasak.
Reivan mengiris bawang, tangannya begitu luwes seperti ahli kuliner sejati.
Mizuki nyaris tidak fokus. "Hah… cara dia potong bawang… seksi banget…"
Namun, tiba-tiba—
Swish!
Pisau tajam meluncur cepat dari arah rak, terlempar "secara tidak sengaja" ke arah Mizuki.
Semuanya terjadi dalam satu detik.
Namun Reivan… bergerak seperti bayangan.
Ia menarik Mizuki ke belakang, memutar tubuhnya seperti sedang menari balet. Tubuhnya memutar elegan, dan dengan tangan kirinya, ia menangkap pisau di udara, ujungnya hanya beberapa senti dari leher Mizuki.
Tap.
Pisau mendarat ke atas meja.
Semua orang terdiam.
"WOOOOOAAAAAAAH!!!"
"KERENNNN!!!"
"REIVAN KAYAK AGEN RAHASIA!!!"
Mizuki, yang masih dalam dekapan Reivan, wajahnya merah seperti tomat.
Detak jantungnya tak terkendali. "A-a-aku—"
Namun Reivan hanya menoleh ke arah Tatsuki dan berkata dengan pelan… sangat pelan… dengan suara nyaris tak terdengar.
"Tell your master… if he sends another dog… I'll skin it."
Tatsuki membeku.
Tawa palsunya pecah di tengah kekakuan. "Haha… kebetulan pisau itu jatuh… maaf ya!"
Kaori mengernyit. "Tadi… pisau itu jatuhnya terlalu lurus…"
Kori, yang biasanya ceroboh dan santai, kini juga mulai memperhatikan. Ia tahu kalimat yang diucapkan Reivan barusan.
Itu bukan sembarang kalimat. Itu sandi ancaman dalam dunia spionase.
Ia menatap Tatsuki… lalu menatap Reivan yang masih tenang.
Seseorang sedang bermain api… dan Reivan bukan anak biasa.
---
Bab 5 – Sang Penari di Atas Jurang
Kiro duduk bersandar di kursinya sambil melirik sahabatnya, Reivan.
"Reivan… belakangan ini kamu makin aneh."
Bukan aneh seperti orang gila. Tapi… luar biasa.
Reivan terlalu tenang. Terlalu sempurna.
Ia tak pernah gugup. Bahkan dalam situasi genting. Bahkan… saat kemarin nyaris tertusuk pisau.
Kiro mulai mencatat setiap pergerakan sahabatnya. Ia tak pernah melihat siapa pun seperti Reivan. Bahkan di antara para jenius elit Akademi St. Elysion.
---
Hari itu, kelas berlangsung seperti biasa… hingga Tatsuki mengumumkan sesuatu.
"Hari ini, kita akan belajar kolaborasi dan ketergantungan tim. Tapi… dengan sedikit twist. Kalian akan bekerja berpasangan secara acak."
"Pasangan?!"
"Eh? Seriusan?!"
Layar hologram menampilkan nama-nama murid yang berpasangan. Semuanya acak… atau kelihatannya.
Dan yang mengejutkan:
Reivan dengan Kaori
Reivan dengan Mizuki
Reivan dengan Althea
"W-WAIT! Kok bisa tiga-tiganya bareng Reivan?!" teriak Kori dengan wajah panik.
"Wow, Reivan jackpot banget ya…" gumam Mizuki, blushing.
"Ah… kalau dia… aku rela…" Althea tersenyum sambil menyentuh pipi.
Kaori?
Ia hanya melirik Reivan. "Aku akan amati kau…" pikirnya.
Tapi yang mereka tak sadari… mereka bertiga adalah umpan.
---
Misi dimulai.
Mereka dikirim ke hutan mini dalam kompleks akademi untuk melakukan permainan simulasi bertahan hidup.
Sepanjang perjalanan, berbagai insiden terjadi:
Kaori nyaris terjebak di jaring racun tak terlihat… diselamatkan oleh Reivan yang menariknya ke pelukannya dengan mata tenang dan suara pelan, "Jangan bergerak."
Mizuki terperosok ke perangkap lubang berduri, tapi Reivan menangkap tangannya tepat waktu dan membisikkan, "Lain kali, perhatikan langkahmu… Mizuki."
Althea hampir terkena gas tidur dari daun misterius, namun Reivan menepuk pipinya dan menutup hidungnya dengan kain basah, lalu dengan tenang berkata, "Kau masih ingin melihatku, bukan?"
Ketiganya…
Jantung mereka seolah meledak.
Pipi merah. Nafas tak teratur. Detak yang tak karuan.
Mereka tak tahu… bahwa mereka hanya umpan dari guru mereka sendiri.
---
Sementara itu, Kiro… terus mengamati.
Dari balik semak, ia mencatat semua keanehan itu.
"Apa ini… Reivan itu murid atau aktor film spionase sih?"
Ia bahkan mencatat:
> "Reivan tahu perangkap lebih dulu dari siapa pun. Refleksnya mustahil. Bahkan tak tampak kaget. Dia menyelamatkan mereka seolah sudah tahu serangan bakal datang. Ini bukan kebetulan."
---
Sore harinya, latihan selesai. Semua kembali ke asrama. Tapi… tidak dengan Reivan.
Ia berjalan menyusuri lorong sepi. Langkah tenangnya seperti biasa.
Namun… dari belakang, seseorang muncul.
Tatsuki.
"Kau sendirian, Reivan?"
Reivan tersenyum tipis. "Iya, guru. Ada yang ingin dibicarakan?"
Tatsuki mengangguk… lalu, dengan cepat, melesat dan menjebak Reivan di pojok lorong, dua tangan di dinding seperti hendak mengintimidasi.
Namun Reivan tetap tenang.
Tatsuki berkata dengan nada ancaman pelan, "Kau tahu terlalu banyak."
Reivan menunduk sedikit, lalu menoleh, matanya berkilat.
Dan dalam sekejap—
TCHAK!
Pisau tipis dari saku Reivan meluncur—dan dalam sekejap, menempel di leher Tatsuki.
"Kau yang tak tahu apa-apa."
Senyum Reivan berubah dingin.
"Kode Alpha-Seven. Frasa: The Raven Feeds at Dusk."
Tubuh Tatsuki langsung membeku.
Wajahnya memucat. Mata melebar. Keringat dingin menetes.
Frasa itu…
Adalah kode hitam.
Ancaman langsung dari kelompok bayangan paling ditakuti di dunia bawah tanah—The Black Veil.
Bahkan mata-mata profesional tahu:
Siapa pun yang mengucapkan kode itu… bukan manusia biasa.
---
Namun, satu orang menyaksikan semua itu dari balik sudut lorong.
Kiro.
Mata Kiro tak berkedip.
"Dia… benar-benar bukan orang biasa…"
Ia menggenggam buku catatannya kuat-kuat. Hatinya kacau.
Ia tak tahu apakah harus kagum… atau takut.
Sementara itu, Kori yang kebetulan lewat melihat Reivan menatap Tatsuki dengan ekspresi gelap. Ia tak mendengar semuanya, tapi… ia bisa merasakan aura pembunuh yang menyelimuti Reivan saat itu.
"...Apa sebenarnya kau itu, Reivan…" gumamnya, dengan gemetar halus di ujung suaranya.