Pagi di Puncak Awan Suci terasa lebih cerah dari biasanya, seolah langit ingin menghibur sekte kecil itu setelah badai pertempuran yang mengerikan. Kabut pagi yang lembut menyelimuti puncak, membawa aroma segar bunga liar yang mulai tumbuh kembali di antara reruntuhan. Namun, di balik keindahan itu, luka-luka pertempuran masih terlihat jelas—bangunan yang hancur, tanah yang hangus, dan wajah-wajah murid sekte yang penuh lelah tapi juga lega.
Wei Chen duduk di tepi lapangan latihan, tangannya memegang pedang kayu yang kini penuh goresan tapi juga memancarkan aura samar. Ia menatap ke arah kakak-kakaknya yang sedang bekerja sama dengan murid-murid Sekte Bunga Salju untuk memperbaiki sekte. Li Qing, meski lengannya masih dibalut perban, memimpin dengan tegas, mengarahkan murid-murid untuk memperbaiki gerbang utama. Zhao Yan dan Su Ling meracik ramuan penyembuh untuk yang terluka, sementara Feng Huo, Xiao Mei, Liang Shu, dan Gu Tao membantu membangun kembali aula utama.
Nyonya Bing Xue, yang masih berada di sekte untuk membantu pemulihan, mendekati Wei Chen dengan langkah anggun. Kipas saljunya tertutup, tapi auranya tetap memancarkan wibawa yang membuat udara di sekitarnya terasa dingin. "Wei Chen," panggilnya, suaranya lembut tapi penuh otoritas. "Bagaimana perasaanmu setelah menyatu dengan Relik Darah Abadi?"
Wei Chen menoleh, matanya penuh rasa hormat tapi juga sedikit cemas. "Aku… aku merasa lebih kuat, Nyonya," jawabnya jujur. "Tapi juga… aku merasa ada sesuatu di dalam diriku… seperti suara yang terus berbisik, mencoba menarikku ke arah yang gelap."
Nyonya Bing Xue mengangguk, wajahnya serius. "Itu adalah iblis batin yang dibangkitkan oleh relik. Relik Darah Abadi memang memberikan kekuatan luar biasa, tapi juga menggoda penggunanya dengan janji-janji palsu. Hati murnimu adalah tameng terbesarmu, tapi kau harus belajar mengendalikan relik ini dengan benar, atau kau akan kehilangan dirimu sendiri."
Wei Chen menunduk, tangannya mencengkeram pedang kayu lebih erat. "Aku mengerti, Nyonya. Aku… aku akan berlatih lebih keras. Aku tak mau menjadi beban lagi untuk kakak-kakakku."
Nyonya Bing Xue tersenyum tipis, lalu menatap ke arah langit. "Kau punya hati yang langka, Wei Chen. Itu sebabnya relik itu memilihmu. Tapi ingat, kekuatan sejati bukan hanya tentang qi atau teknik—ini tentang hati yang tak pernah goyah, bahkan di tengah godaan terbesar."
Setelah berkata demikian, Nyonya Bing Xue berjalan pergi, meninggalkan Wei Chen dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Ia menatap pedang kayunya, lalu ke arah kakak-kakaknya, hatinya dipenuhi tekad baru. "Aku harus lebih kuat… demi mereka," gumamnya.
Sore itu, setelah sebagian besar puing-puing dibersihkan, Tujuh Pedang Awan Suci berkumpul di tepi tebing untuk beristirahat. Mereka duduk melingkar, wajah mereka penuh luka tapi juga penuh kehangatan saat menatap Wei Chen, yang duduk di tengah mereka.
"Chenchen, kau benar-benar membuat kami kaget kemarin," kata Xiao Mei, kipas besarnya terbuka di tangannya, wajahnya penuh senyum. "Kau melawan Mo Tian… aku tak menyangka adik kecil kami bisa seberani itu!"
Feng Huo, yang biasanya dingin, mengangguk dengan ekspresi lembut. "Kau sudah melangkah jauh, Chenchen. Tapi jangan terlalu gegabah. Kau masih punya banyak yang harus dipelajari."
Zhao Yan tertawa kecil, tangannya menepuk pundak Wei Chen. "Kakak Ketiga benar, tapi aku bangga padamu, Chenchen. Kau tak lagi hanya adik kecil yang kami lindungi—kau mulai menjadi bagian dari kekuatan sekte ini."
Wei Chen tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, kakak-kakak… aku… aku tak akan bisa sejauh ini tanpa kalian. Aku berjanji, aku akan menjadi lebih kuat, supaya aku bisa melindungi kalian seperti kalian melindungiku."
Li Qing, yang duduk di samping Wei Chen, mengelus kepalanya dengan lembut. "Kau sudah melindungi kami, Chenchen.
Seranganmu pada Mo Tian kemarin… itu memberi kami kesempatan untuk bertahan. Kau sudah menjadi pahlawan kecil kami."
Momen kehangatan itu terasa seperti angin sejuk di tengah luka-luka yang masih terasa. Namun, di balik kebahagiaan itu, Wei Chen merasa ada sesuatu yang mengganggu. Bisikan dari Relik Darah Abadi masih terdengar samar di kepalanya, seperti suara yang menggoda, mencoba menariknya ke arah kegelapan. Ia menggenggam pedang kayunya lebih erat, berusaha mengabaikan suara itu.
Malam itu, setelah semua orang tertidur, Wei Chen menyelinap ke aula utama, di mana Relik Darah Abadi disimpan dalam kotak batu yang dilindungi formasi pelindung. Ia duduk bersila di depan kotak itu, menutup mata, dan mencoba bermeditasi untuk memahami kekuatan relik tersebut. Nyonya Bing Xue telah mengajarinya teknik dasar untuk menenangkan pikiran dan mengendalikan qi, dan ia berharap itu bisa membantunya.
Saat ia bermeditasi, ia merasakan aliran energi merah dari relik itu mencoba masuk ke dalam meridiannya, membawa bisikan yang lebih jelas. "Kau bisa menjadi yang terkuat… kau bisa membalas dendam… kau bisa menguasai dunia…" Suara itu penuh godaan, membuat jantung Wei Chen berdegup kencang.
Namun, di tengah godaan itu, ia teringat wajah kakak-kakaknya—senyum hangat Su Ling, tawa ceria Xiao Mei, tatapan tegas Li Qing. "Tidak… aku tak ingin kekuatan untuk dendam… aku ingin melindungi mereka…" gumamnya, suaranya penuh tekad. Dengan fokus penuh, ia mengalirkan qi murninya, yang berwarna putih, untuk melawan energi merah itu.
Tiba-tiba, sebuah kilau putih terang memenuhi aula, dan energi merah dari relik itu surut, seolah takluk pada hati murni Wei Chen. Ia membuka mata, napasnya tersengal, tapi wajahnya penuh kelegaan. "Aku… aku berhasil mengendalikannya… untuk saat ini," gumamnya.
Namun, di kejauhan, di markas Sekte Naga Darah, Mo Tian duduk di singgasana tulangnya, tubuhnya masih penuh luka dari pertempuran sebelumnya. Di depannya, sebuah cermin kuno memancarkan bayangan samar—bayangan Puncak Awan Suci, dan Wei Chen yang sedang bermeditasi di depan relik.
"Bocah itu… dia mulai mengendalikan relik," gumam Mo Tian, suaranya penuh dendam. "Tapi itu tak akan cukup untuk menghentikanku." Ia menoleh ke arah sosok misterius yang berdiri di sudut ruangan, tubuhnya diselimuti jubah hitam pekat, auranya bahkan lebih mengerikan daripada Mo Tian sendiri.
"Saudara Mo," kata sosok itu, suaranya dalam dan penuh hawa dingin. "Kau gagal mendapatkan relik itu dengan kekuatan.
Mungkin… kita harus gunakan cara lain. Bocah itu… dia punya hati murni, tapi hati murni juga bisa dihancurkan dengan cara yang tepat."
Mo Tian tersenyum licik, matanya menyala penuh rencana jahat. "Kau benar, Saudara Gu. Kita akan hancurkan hati murni itu… dan ketika dia jatuh ke dalam kegelapan, relik itu akan menjadi milik kita."