Kabut hitam pekat di Lembah Kematian terasa seperti tangan-tangan tak terlihat yang mencoba merenggut napas. Wei Chen, Li Qing, dan Zhao Yan berjalan perlahan menuruni lembah, langkah mereka hati-hati di atas tanah berbatu yang licin. Aura jahat yang memenuhi udara membuat bulu kuduk mereka berdiri, dan suara-suara aneh—seperti bisikan atau tawa samar—terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin mencekam.
Kuil tua yang mereka lihat dari tepi lembah kini berdiri di depan mereka, dikelilingi oleh patung-patung batu berbentuk prajurit kuno dengan wajah tanpa ekspresi. Bangunan itu terbuat dari batu hitam yang sudah retak-retak, ditumbuhi lumut merah yang tampak seperti darah kering. Di pintu masuk kuil, sebuah prasasti kuno terukir dengan tulisan yang sudah memudar, tapi masih bisa dibaca: "Hanya yang berhati murni boleh masuk… yang lain akan menemui kematian."
Li Qing mengerutkan kening, tangannya mencengkeram pedang perak lebih erat. "Hati murni… sepertinya ini memang tempat yang tepat untuk Chenchen," gumamnya, lalu menoleh ke arah Wei Chen. "Kau siap, Chenchen?"
Wei Chen mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. "Aku siap, Kakak Sulung," jawabnya, suaranya penuh tekad meski ada sedikit getar di dalamnya. Ia melangkah maju, tangannya menyentuh pintu kuil yang terbuat dari batu. Begitu jari-jarinya menyentuh permukaan pintu, sebuah kilau putih samar muncul dari tubuhnya, seolah hati murninya merespons prasasti itu. Pintu kuil berderit keras, lalu terbuka perlahan, mengungkapkan lorong gelap di dalamnya.
Zhao Yan tersenyum kecil, tombak emasnya bersandar di bahunya. "Lihat, Chenchen! Hati murnimu memang luar biasa," katanya, suaranya penuh kebanggaan. "Ayo masuk—tapi tetap waspada. Aku merasakan sesuatu yang tak beres di dalam."
Mereka bertiga melangkah masuk, lorong kuil itu gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya samar dari obor-obor tua yang entah bagaimana masih menyala di dinding. Udara di dalam terasa lebih berat, penuh dengan aura jahat yang membuat Wei Chen merasa seperti ada yang mengawasinya. Bisikan dari Relik Darah Abadi kembali terdengar di kepalanya, lebih jelas dari sebelumnya. "Kau tak akan selamat… serahkan dirimu padaku… aku bisa melindungimu…"
Wei Chen menggeleng, mencoba mengabaikan suara itu. "Aku tak akan menyerah," gumamnya, tangannya mencengkeram pedang kayu lebih erat.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di ruangan besar di tengah kuil. Di tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri, di atasnya terletak sebuah gulungan kuno yang memancarkan cahaya samar. Di sekitar altar, patung-patung kecil berbentuk iblis dengan mata merah menyala tampak seperti hidup, menatap mereka dengan penuh kebencian.
"Ini pasti petunjuk yang kita cari," kata Li Qing, melangkah mendekati altar. Tapi sebelum ia bisa menyentuh gulungan itu, patung-patung iblis tiba-tiba bergerak, mata mereka menyala lebih terang. Mereka melompat dari tempatnya, tubuh mereka yang kecil tapi cepat menyerang dengan cakar-cakar tajam.
"Waspada!" seru Zhao Yan, tombak emasnya berputar cepat, menciptakan angin puyuh emas yang menghalau beberapa patung iblis. Li Qing bergerak dengan presisi, pedang peraknya memotong patung-patung itu satu per satu, menciptakan kilau perak yang memukau di tengah kegelapan.
Wei Chen, yang awalnya terpaku, akhirnya melangkah maju, pedang kayunya menciptakan kilau putih bercampur merah. Ia mengayunkan pedangnya dalam Tebasan Awan Murni, mengenai salah satu patung iblis dan menghancurkannya. Tapi patung-patung itu terus berdatangan, seolah tak ada habisnya, dan aura jahat mereka mulai memengaruhi Wei Chen. Bisikan relik semakin keras, membuat kepalanya terasa pening.
"Chenchen, fokus!" teriak Li Qing, pedangnya menghabisi patung iblis yang nyaris mencakar Wei Chen. "Jangan dengarkan suara itu—ingat hati murnimu!"
Kata-kata Li Qing membawa Wei Chen kembali ke fokus. Ia menutup mata sejenak, mengingat wajah kakak-kakaknya—senyum hangat Su Ling, tawa ceria Xiao Mei, dan tatapan tegas Feng Huo. "Aku… aku tak akan menyerah!" serunya, lalu membuka mata, fokusnya kembali tajam. Dengan teriakan penuh tekad, ia mengalirkan qi-nya ke pedang kayu, menciptakan gelombang energi putih-merah yang lebih besar dari sebelumnya. Gelombang itu melesat, menghancurkan sisa patung-patung iblis dalam sekejap.
Setelah pertempuran selesai, Wei Chen jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. Li Qing dan Zhao Yan segera mendekat, tangan mereka menopangnya. "Kau hebat, Chenchen," kata Zhao Yan, suaranya penuh kebanggaan. "Kau berhasil melawan godaan itu."
Li Qing mengangguk, lalu melangkah ke altar, mengambil gulungan kuno itu dengan hati-hati. Ia membukanya perlahan, matanya menyipit saat membaca tulisan kuno di dalamnya. "Ini… petunjuk tentang Dunia Iblis," gumamnya, suaranya penuh kewaspadaan. "Dikatakan bahwa Dunia Iblis disegel oleh para dewa menggunakan tiga Batu Penyegel Suci… tapi segel itu melemah karena Relik Darah Abadi telah diaktifkan. Untuk menutup celah-celah itu secara permanen, kita harus menemukan ketiga batu itu."
Zhao Yan mengerutkan kening, tombaknya bersandar di bahunya. "Tiga Batu Penyegel Suci… di mana kita bisa menemukannya?"
Li Qing melanjutkan membaca, lalu menatap Wei Chen. "Gulungan ini menyebutkan bahwa batu pertama berada di Hutan Roh Kuno, di timur Benua Langit Tak Bertepi. Tapi… ada peringatan di sini: 'Hati murni akan diuji di setiap langkah… kegagalan berarti kematian.'"
Wei Chen menatap Li Qing, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar menantinya. Tapi dengan kakak-kakaknya di sisinya, ia merasa siap menghadapi apa pun.
Di kejauhan, di markas Sekte Naga Darah, Mo Tian dan Saudara Gu menatap cermin kuno, melihat bayangan Wei Chen dan kakak-kakaknya di Lembah Kematian. Mo Tian tersenyum licik, matanya menyala penuh rencana jahat. "Mereka menemukan petunjuk tentang Batu Penyegel Suci… bagus," katanya, suaranya penuh kebencian. "Kita akan biarkan mereka mengumpulkan batu-batu itu… dan ketika saatnya tiba, kita akan merebut semuanya."