Pagi di Pegunungan Seribu Awan terasa sejuk, dengan kabut tipis yang menyelimuti puncak-puncak hijau. Wei Chen berdiri di depan gerbang Puncak Awan Suci, pedang kayunya terselip di pinggang, jubah biru mudanya berkibar ditiup angin. Di sampingnya, Li Qing, Zhao Yan, dan Su Ling bersiap untuk perjalanan menuju turnamen kultivasi di Kota Langit Perak, sebuah acara besar yang diadakan setiap lima tahun sekali oleh Sekte Pedang Langit. Turnamen ini bukan hanya ajang untuk mengukur kekuatan, tapi juga kesempatan untuk mencari informasi tentang Batu Penyegel Suci, karena banyak sekte besar dari seluruh Benua Langit Tak Bertepi akan hadir.
"Kita harus berhati-hati di turnamen ini," kata Li Qing, pedang peraknya berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Sekte Naga Darah pasti akan mengirim orang mereka. Dan dengan celah-celah Dunia Iblis yang mulai muncul, kita harus waspada terhadap ancaman lain."
Zhao Yan memutar tombak emasnya, senyum ceria menghiasi wajahnya. "Tenang saja, Kakak Sulung! Dengan kita berempat, turnamen ini akan jadi mudah. Lagipula, Chenchen perlu pengalaman, kan?" katanya, menepuk pundak Wei Chen dengan semangat.
Wei Chen tersenyum kecil, tapi ada sedikit ketegangan di matanya. "Aku… aku akan berusaha, Kakak Kedua," jawabnya, tangannya mencengkeram pedang kayu lebih erat. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang luka di dahinya—simbol awan samar yang disebut Su Ling sebagai tanda masa lalunya. Tapi ia menggeleng, mencoba fokus pada perjalanan di depan.
Su Ling, yang membawa vial racun kecil di pinggangnya, tersenyum lembut. "Jangan terlalu tegang, Chenchen. Kita akan selalu ada untukmu," katanya, suaranya penuh kehangatan.
Mereka berempat melangkah menuruni pegunungan, melewati hutan lebat yang mengelilingi Puncak Awan Suci. Udara terasa segar, dengan aroma tanah dan daun yang bercampur. Namun, saat mereka memasuki bagian hutan yang lebih dalam, tiba-tiba suara sayap yang berderap keras terdengar dari atas. Puluhan burung kecil dengan bulu hitam pekat dan mata merah menyala melesat ke arah mereka, menciptakan angin kencang yang membawa aura jahat.
"Waspada!" seru Li Qing, pedang peraknya terhunus dalam sekejap. "Itu Burung Penghisap Jiwa! Mereka khas Pegunungan Seribu Awan… suka menyerang kultivator lemah untuk mencuri qi!"
Zhao Yan bergerak cepat, tombak emasnya berputar, menciptakan angin puyuh emas yang menghalau beberapa burung. "Ayo, Chenchen! Tunjukkan apa yang kau bisa!" serunya, suaranya penuh semangat.
Wei Chen mengangguk, napasnya tersengal. Ia melangkah maju, pedang kayunya menciptakan kilau putih bercampur merah. Dengan fokus, ia melancarkan Tebasan Awan Murni, mengirimkan gelombang energi ke arah burung-burung itu. Gelombang itu menghantam beberapa burung, membuat mereka jatuh ke tanah, tapi tiba-tiba, qi di tubuh Wei Chen terasa bergetar hebat, seolah tak terkendali. Matanya melebar, tangannya gemetar, dan gelombang energi itu tiba-tiba membelok, nyaris mengenai Su Ling.
"Chenchen!" Su Ling melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan gesit. Ia menatap Wei Chen, matanya penuh kekhawatiran. "Kau… kau baik-baik saja?"
Wei Chen jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. "Aku… aku nggak tahu apa yang terjadi…" gumamnya, tangannya mencengkeram pedang kayu. Bisikan dari Relik Darah Abadi kembali terdengar di kepalanya, lebih jelas dari sebelumnya. "Kau lemah… serahkan dirimu padaku… aku bisa membuatmu kuat…"
Li Qing dan Zhao Yan segera menghabisi sisa burung-burung itu, lalu berlari ke arah Wei Chen. Li Qing berlutut di sampingnya, tangannya memegang pundak Wei Chen. "Chenchen, fokus! Jangan dengarkan suara itu," katanya, suaranya tegas tapi penuh perhatian.
Zhao Yan mengangguk, tombaknya bersandar di bahunya. "Qi-mu unik, Chenchen," katanya, suaranya lebih serius dari biasanya. "Semakin murni hatimu, semakin kuat qi-mu… tapi kalau kau marah atau takut, qi-mu akan jadi liar. Itu sebabnya kau harus belajar mengendalikannya, terutama sekarang, di Pemurnian Jiwa Tingkat 1. Kalau kau bisa mencapai Pemurnian Langit, kau akan lebih stabil."
Wei Chen menatap Zhao Yan, mencoba memahami. "Pemurnian Jiwa… Pemurnian Langit…" gumamnya, lalu mengangguk perlahan. "Aku… aku mengerti, Kakak Kedua. Aku akan berlatih lebih keras."
Li Qing membantu Wei Chen berdiri, matanya penuh perhatian. "Aku tahu kau bisa, Chenchen," katanya, suaranya lebih lembut. Ia menatap ke kejauhan, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih berat. "Aku… aku pernah kehilangan adik kandungku karena aku lemah. Dia dibunuh oleh kultivator jahat saat aku tak bisa melindunginya… makanya aku nggak mau kehilanganmu, Chenchen."
Wei Chen menatap Li Qing, matanya membelalak. "Kakak Sulung…" gumamnya, hatinya terasa berat. Ia bisa merasakan rasa sakit di balik kata-kata Li Qing, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa dunia kultivasi ini jauh lebih kejam dari yang ia bayangkan. "Aku… aku nggak akan membuatmu kehilangan lagi, Kakak Sulung," katanya, suaranya penuh tekad.
Li Qing tersenyum tipis, tangannya mengelus kepala Wei Chen. "Aku percaya padamu, Chenchen," katanya, lalu menoleh ke arah hutan. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Kota Langit Perak masih jauh."
Mereka melanjutkan perjalanan, tapi di hati Wei Chen, ada perasaan baru yang mulai tumbuh—perasaan bahwa dunia ini tak akan selalu memberinya kesempatan untuk tetap naif. Bisikan relik masih terdengar samar di kepalanya, tapi ia menggeleng, mencoba mengabaikannya. "Aku harus jadi lebih kuat… demi mereka," gumamnya, tangannya mengepal erat.
Di kejauhan, di markas Sekte Naga Darah, Mo Tian dan Saudara Gu kembali menatap cermin kuno, melihat bayangan Wei Chen dan kakak-kakaknya yang melanjutkan perjalanan. Mo Tian tersenyum licik, tangannya mengepal erat. "Turnamen kultivasi… tempat yang sempurna untuk memulai langkah berikutnya," katanya, suaranya penuh kebencian.
Saudara Gu mengangguk, matanya menyala penuh rencana jahat. "Kita akan kirim Mo Feng, putramu, untuk menghadapi bocah itu di turnamen," katanya, suaranya dingin. "Jika dia membunuh Mo Feng, itu akan jadi pemicu… pemicu untuk menghancurkan hati murninya."
Di bawah langit yang mulai mendung, Wei Chen melangkah dengan tekad baru, tapi tanpa ia sadari, dunia yang kejam sudah menanti untuk mengujinya lebih jauh dari sebelumnya.