Dua minggu telah berlalu sejak serangan Sekte Naga Darah, dan Puncak Awan Suci perlahan mulai kembali ke kehidupan normalnya.
Bangunan-bangunan yang hancur sudah diperbaiki, dan murid-murid yang selamat mulai melanjutkan latihan mereka, meski bayang-bayang ketakutan masih menghantui hati mereka. Di tengah semua itu, Wei Chen menjalani hari-harinya dengan penuh semangat, berlatih lebih keras dari sebelumnya di bawah bimbingan kakak-kakaknya.
Pagi itu, matahari baru saja muncul di ufuk timur, menyapa Puncak Awan Suci dengan sinar keemasan yang hangat. Wei Chen berdiri di tengah lapangan latihan, keringat membasahi wajahnya, tangannya memegang pedang kayu dengan lebih mantap dibandingkan hari-hari sebelumnya. Di depannya, Feng Huo, Kakak Ketiga, berdiri dengan seruling di tangan, matanya menatap Wei Chen dengan penuh perhatian.
"Coba lagi, Chenchen," kata Feng Huo, suaranya tegas tapi penuh dorongan. "Kau sudah mulai bisa merasakan qi-mu, tapi kau harus belajar mengarahkannya ke pedangmu. Bayangkan qi itu seperti angin yang mengalir melalui awan—lembut, tapi kuat."
Wei Chen mengangguk, menutup matanya, dan mengatur napasnya. Ia merasakan aliran hangat di dalam dadanya, qi-nya yang dulu liar kini mulai lebih terkendali berkat ramuan Penyegar Jiwa yang diberikan Su Ling. Dengan fokus penuh, ia mengalirkan qi itu ke tangannya, lalu ke pedang kayunya, dan mengayunkan pedang itu ke depan.
Sebuah hembusan angin kecil tercipta, membawa kilau samar berwarna putih yang melingkari pedang kayu itu. Itu adalah tanda pertama bahwa Wei Chen akhirnya berhasil mengeluarkan qi-nya! Meski masih lemah dan tak sebanding dengan teknik kakak-kakaknya, itu adalah langkah besar bagi pemuda yang baru memulai.
Feng Huo tersenyum tipis, sesuatu yang jarang ia lakukan. "Bagus, Chenchen. Kau mulai memahami dasar-dasarnya. Tapi jangan sombong—ini baru permulaan."
Wei Chen tersenyum lebar, wajahnya berseri-seri. "Terima kasih, Kakak Ketiga! Aku… aku tak menyangka bisa melakukannya!"
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan latihan, Xiao Mei, Kakak Keempat, tiba-tiba berlari ke lapangan dengan wajah penuh kecemasan. Kipas besarnya masih tergenggam erat, dan napasnya terengah-engah. "Kakak Ketiga! Chenchen! Ada masalah di Lembah Kabut di bawah puncak! Beberapa murid yang sedang mencari herbal diserang oleh binatang iblis!"
Feng Huo mengerutkan kening, tangannya mencengkeram seruling lebih erat. "Binatang iblis? Sejak kapan mereka berani mendekati wilayah kita? Chenchen, kau tetap di sini. Aku dan Xiao Mei akan menangani ini."
"Tapi, Kakak—" Wei Chen mencoba membantah, matanya penuh tekad. "Aku ingin ikut! Aku… aku ingin membantu. Aku tak mau hanya berdiam diri lagi."
Feng Huo dan Xiao Mei saling pandang, ragu. Namun, melihat kilau di mata Wei Chen, Feng Huo akhirnya menghela napas. "Baiklah. Tapi kau harus berjanji untuk tetap di belakang kami dan tidak bertindak gegabah. Mengerti?"
Wei Chen mengangguk cepat, hatinya dipenuhi campuran semangat dan ketakutan. Ini adalah pertama kalinya ia akan menghadapi bahaya langsung, dan meski ia tahu ia masih lemah, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa membantu.
Mereka bertiga segera meluncur ke Lembah Kabut, sebuah lembah kecil di bawah Puncak Awan Suci yang dikenal karena kabutnya yang tebal dan tanaman herbal langka yang tumbuh di sana. Saat mereka tiba, mereka melihat tiga murid sekte yang lebih muda meringkuk di balik batu besar, wajah mereka pucat ketakutan. Di depan mereka, seekor Serigala Kabut Raksasa menggeram, tubuhnya sebesar kerbau, matanya merah menyala, dan taringnya meneteskan air liur beracun.
"Xiao Mei, lindungi murid-murid itu!" perintah Feng Huo sambil melangkah maju. Ia meniup serulingnya, dan gelombang suara mematikan melesat ke arah serigala itu, membuat binatang iblis itu meringkik kesakitan.
Xiao Mei bergerak cepat, kipasnya menghasilkan angin puyuh yang membawa ketiga murid itu ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, Wei Chen berdiri di belakang, tangannya mencengkeram pedang kayu dengan erat. Ia ingin membantu, tapi ia tahu serangan kecilnya tak akan berarti apa-apa melawan binatang iblis sebesar itu.
Namun, tiba-tiba, serigala itu melompat ke arah Feng Huo dengan kecepatan yang mengejutkan, cakarnya mengarah ke dada Kakak Ketiga. Feng Huo berhasil menghindar, tapi serangan itu membuatnya kehilangan keseimbangan, dan serulingnya terjatuh ke tanah. Serigala itu menggeram lagi, bersiap untuk melancarkan serangan berikutnya.
"Kakak Ketiga!" teriak Wei Chen tanpa berpikir panjang. Dengan keberanian yang bahkan ia sendiri tak mengerti dari mana asalnya, ia berlari ke depan, pedang kayunya terangkat. Ia mengalirkan qi-nya seperti yang ia latih pagi tadi, dan dengan teriakan kecil, ia mengayunkan pedang itu ke arah serigala.
Kilau putih samar muncul lagi, kali ini sedikit lebih kuat, dan pedang kayu itu mengenai sisi tubuh serigala. Serangan itu tak cukup untuk melukai binatang iblis itu, tapi cukup untuk mengalihkan perhatiannya. Serigala itu menoleh ke arah Wei Chen, matanya penuh amarah, dan dengan satu lompatan, ia menerjang ke arah pemuda itu.
"Wei Chen!" Xiao Mei berteriak, wajahnya pucat. Ia bergerak cepat, tapi ia tahu ia tak akan cukup cepat untuk menghentikan serigala itu.
Namun, tepat sebelum cakar serigala itu mengenai Wei Chen, sebuah gelombang suara yang lebih kuat dari sebelumnya menghantam binatang itu, membuatnya terpental ke samping dan menabrak pohon besar.
Feng Huo, yang kini telah mengambil kembali serulingnya, berdiri dengan napas terengah, matanya penuh kemarahan. "Jangan sentuh adikku!" bentaknya, lalu meniup serulingnya lagi, mengakhiri nyawa serigala itu dengan gelombang suara terakhir.
Wei Chen jatuh terduduk, tubuhnya gemetar, pedang kayunya terlepas dari tangannya. Ia menatap serigala yang kini tak bernyawa, lalu ke arah Feng Huo dan Xiao Mei, matanya berkaca-kaca. "Aku… aku hampir mati…" gumamnya, suaranya penuh ketakutan.
Xiao Mei berlari mendekat, memeluk Wei Chen erat-erat. "Kau bodoh! Kenapa kau maju?! Kau bisa mati, tahu?!" suaranya bergetar, penuh campuran marah dan lega.
Feng Huo berjalan mendekat, wajahnya yang biasanya dingin kini penuh kelembutan. "Kau berani, Chenchen. Tapi kau juga gegabah. Lain kali, dengarkan kakakmu, mengerti?"
Wei Chen mengangguk, air matanya akhirnya jatuh. "Maaf, Kakak… aku hanya… aku hanya tak mau kalian terluka lagi karena aku…"
Feng Huo menghela napas, lalu mengelus kepala Wei Chen. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dan kau berhasil mengalihkan perhatian binatang itu. Itu langkah kecil, tapi itu membuktikan kau punya nyali."
Setelah memastikan murid-murid lainnya aman, mereka kembali ke Puncak Awan Suci. Malam itu, Wei Chen duduk di kamarnya, menatap pedang kayu yang kini penuh goresan. Ia teringat momen saat ia menghadapi serigala itu—rasa takut, tapi juga adrenalin yang membuat darahnya berdesir. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa menjadi kuat bukan hanya tentang melindungi kakak-kakaknya, tapi juga tentang menemukan keberanian di dalam dirinya sendiri.
Namun, di luar puncak, di tengah kegelapan malam, sosok mata-mata Sekte Naga Darah yang sama masih mengintai. Ia tersenyum licik, lalu menghilang ke dalam kabut, membawa kabar baru ke tuannya. "Bocah itu… dia mulai menunjukkan tanda-tanda. Mungkin dia memang kunci menuju Relik Darah Abadi."