Cherreads

Chapter 7 - Bab 7: Jejak Relik di Puncak Terlarang

Langit di atas Pegunungan Seribu Awan mulai memerah, tanda matahari akan segera tenggelam.

Di Puncak Awan Suci, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Setelah kejadian di Lembah Kabut, Tujuh Pedang Awan Suci meningkatkan kewaspadaan mereka, menyadari bahwa ancaman tak hanya datang dari binatang iblis, tapi juga dari musuh yang lebih berbahaya—Sekte Naga Darah.

Sementara itu, Wei Chen terus berlatih dengan giat, didorong oleh keberanian kecil yang ia temukan saat menghadapi Serigala Kabut Raksasa.

Pagi itu, Li Qing mengumpulkan semua kakak-adik seperguruan di aula utama sekte. Wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan kekhawatiran. Di tangannya, ia memegang sebuah gulungan tua yang ditemukan oleh Liang Shu, Kakak Kelima, saat sedang mempelajari arsip kuno sekte.

"Semuanya, dengar," kata Li Qing, suaranya tegas. "Liang Shu menemukan sesuatu yang mungkin berhubungan dengan alasan Sekte Naga Darah menyerang kita. Gulungan ini menyebutkan tentang Relik Darah Abadi—artefak kuno yang konon disembunyikan di Puncak Terlarang, sebuah tempat terpencil di Pegunungan Seribu Awan."

Liang Shu, yang duduk di sudut dengan bukunya, menambahkan dengan suara datar, "Gulungan ini mengatakan bahwa Relik Darah Abadi memiliki kekuatan untuk meningkatkan kultivasi seseorang hingga ke tingkat dewa, tapi juga membawa kutukan. Siapa pun yang menggunakannya tanpa hati yang murni akan dirasuki oleh iblis batinnya, menjadi monster yang haus darah."

Wei Chen, yang duduk di antara Su Ling dan Xiao Mei, mendengarkan dengan mata membelalak. "Jadi… mereka menyerang kita karena mereka pikir kita tahu di mana relik itu?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Zhao Yan mengangguk, tombak emasnya bersandar di bahunya. "Kemungkinan besar. Puncak Awan Suci memang kecil, tapi kita terletak di dekat Puncak Terlarang. Mungkin mereka berpikir kita menyimpan petunjuk."

Feng Huo mendengus, serulingnya berputar di tangannya. "Jika mereka begitu menginginkan relik itu, kenapa kita tak menghancurkannya saja? Artefak seperti itu hanya akan membawa malapetaka."

"Tapi kita tak tahu di mana letak pastinya," sahut Xiao Mei, kipasnya terbuka lebar di tangannya. "Puncak Terlarang adalah tempat berbahaya, penuh dengan binatang iblis dan jebakan alami. Bahkan kultivator tingkat tinggi pun tak berani masuk sembarangan."

Li Qing menghela napas, lalu menatap semua kakak-adiknya. "Kita tak punya pilihan. Jika Sekte Naga Darah benar-benar mencari relik itu, mereka akan terus menyerang kita sampai mereka mendapatkannya—orang-orang di lembah akan menjadi korban. Kita harus menemukan relik itu lebih dulu, dan memutuskan apa yang harus dilakukan dengannya."

Setelah diskusi panjang, mereka memutuskan untuk membentuk tim kecil untuk menjelajahi Puncak Terlarang. Li Qing, Zhao Yan, dan Liang Shu akan memimpin ekspedisi, sementara Feng Huo, Xiao Mei, Gu Tao, dan Su Ling tetap di sekte untuk melindungi murid-murid lainnya. Wei Chen, yang awalnya ingin ikut, langsung ditegur oleh Feng Huo.

"Kau tetap di sini, Chenchen," kata Feng Huo dengan nada tegas. "Puncak Terlarang bukan tempat untukmu. Kau baru mulai berlatih—kau hanya akan jadi beban."

Wei Chen menunduk, tangannya mengepal di bawah meja. Ia tahu Feng Huo benar, tapi kata-kata itu tetap menyakitkan. "Aku mengerti, Kakak Ketiga…" jawabnya pelan, meski di dalam hatinya, ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia bisa lebih dari sekadar beban.

Malam sebelum keberangkatan, Wei Chen tak bisa tidur. Ia duduk di tepi tebing, memandang bulan purnama yang menerangi pegunungan. Su Ling, yang memperhatikan adiknya dari kejauhan, akhirnya mendekat dengan langkah lembut. "Kau tak bisa tidur, Chenchen?" tanyanya, suaranya penuh kehangatan.

Wei Chen menoleh, matanya penuh keraguan. "Kakak Ketujuh… aku tahu aku lemah, tapi aku benci perasaan ini—selalu dilindungi, selalu ditinggal. Aku ingin membantu, tapi Kakak Ketiga bilang aku hanya akan jadi beban…"

Su Ling tersenyum lembut, duduk di sampingnya. "Kakak Ketiga memang keras, tapi dia hanya khawatir padamu. Kami semua begitu. Tapi… jika kau benar-benar ingin membantu, kau harus lebih kuat. Gunakan waktu ini untuk berlatih lebih keras, supaya suatu hari kau bisa berdiri sejajar dengan kami."

Kata-kata Su Ling membakar semangat Wei Chen. Ia mengangguk dengan tekad baru. "Aku akan melakukannya, Kakak. Aku akan jadi lebih kuat, supaya aku bisa melindungi kalian semua!"

Keesokan paginya, Li Qing, Zhao Yan, dan Liang Shu berangkat menuju Puncak Terlarang, meninggalkan Wei Chen dan yang lainnya di sekte. Namun, tak lama setelah mereka pergi, sebuah ledakan tiba-tiba terdengar dari arah gerbang utama sekte. Feng Huo, yang sedang berpatroli, segera berlari ke arah sumber suara, diikuti oleh Xiao Mei, Gu Tao, dan Su Ling.

Di depan gerbang, sekelompok murid Sekte Naga Darah berdiri dengan senjata terhunus, dipimpin oleh seorang pria bertubuh kurus dengan jubah hitam yang penuh tato naga merah. Matanya menyipit penuh kebencian saat ia berbicara. "Aku adalah Fang Yi, Tetua Keenam Sekte Naga Darah. Serahkan petunjuk tentang Relik Darah Abadi, atau sekte kecil kalian ini akan kami bakar sampai habis!"

Feng Huo menggenggam serulingnya, matanya penuh amarah. "Kalian tak pernah belajar, ya? Puncak Awan Suci bukan tempat untuk kalian tunjukkan arogansi!"

Pertarungan pun tak terhindarkan. Feng Huo, Xiao Mei, Gu Tao, dan Su Ling bergerak cepat, melawan murid-murid Sekte Naga Darah dengan teknik mereka yang memukau. Namun, di tengah pertempuran, Fang Yi tiba-tiba melesat ke arah sekte, matanya tertuju pada Wei Chen yang sedang bersembunyi di balik pohon.

"Bocah itu… dia pasti kunci menuju relik!" gumam Fang Yi, tangannya mengeluarkan rantai berduri yang melesat ke arah Wei Chen.

Wei Chen, yang tak siap, hanya bisa menatap dengan mata membelalak saat rantai itu mendekat. Namun, tepat sebelum rantai itu mengenai, sebuah kipas besar menghalau serangan itu. Xiao Mei berdiri di depan Wei Chen, wajahnya penuh kemarahan. "Jangan sentuh adikku!" bentaknya, lalu mengirimkan angin puyuh penuh kelopak bunga tajam ke arah Fang Yi.

Namun, Fang Yi hanya tersenyum licik. "Kalian tak bisa melindungi bocah itu selamanya," katanya, lalu melambaikan tangan, memerintahkan anak buahnya untuk mundur. "Kami akan kembali… dan kali ini, kami akan membawa lebih banyak pasukan."

Setelah musuh pergi, Wei Chen jatuh terduduk, tubuhnya gemetar. Xiao Mei memeluknya erat, berusaha menenangkan. "Kau baik-baik saja, Chenchen. Kami di sini," bisiknya.

Tapi di dalam hati Wei Chen, ada sesuatu yang berubah. Ia menyadari bahwa selama ia tetap lemah, kakak-kakaknya akan terus berada dalam bahaya. Tekadnya untuk menjadi kuat kini membara lebih terang dari sebelumnya, seperti api yang tak bisa dipadamkan.

More Chapters