Puncak Awan Suci kini menjadi medan perang yang mengerikan. Api berkobar di beberapa sudut sekte, asap hitam menyelimuti langit yang telah merah darah, dan suara benturan senjata serta teriakan pertempuran menggema di antara tebing-tebing Pegunungan Seribu Awan. Tujuh Pedang Awan Suci bertarung dengan seluruh jiwa mereka melawan ratusan murid Sekte Naga Darah, tapi kekuatan Mo Tian, Pemimpin Sekte Naga Darah, terlalu mengerikan untuk dihadapi sendirian.
Li Qing, Kakak Sulung, berdiri di depan Mo Tian, pedang peraknya bergetar akibat benturan dengan pedang merah darah milik musuhnya. Darah mengalir dari luka di lengannya, tapi matanya tetap penuh tekad. "Kau tak akan menyentuh adikku, Mo Tian!" teriaknya, lalu melancarkan teknik terkuatnya, Tebasan Awan Penghancur. Gelombang energi perak melesat ke arah Mo Tian, mengoyak udara dengan suara menderu.
Namun, Mo Tian hanya tersenyum dingin. Dengan gerakan tangan yang cepat, ia mengayunkan pedangnya, menciptakan gelombang energi merah yang menghancurkan serangan Li Qing seolah itu hanya angin sepoi-sepoi. "Kau kuat, Li Qing, tapi kau tak cukup untuk menghentikan langkahku menuju keabadian!" bentak Mo Tian, lalu melompat ke depan, pedangnya mengarah ke dada Li Qing.
Di saat yang sama, Wei Chen berdiri di tengah lapangan pertempuran, pedang kayunya menciptakan kilau putih samar saat ia mencoba melawan beberapa murid Sekte Naga Darah yang lebih lemah.
Meski serangannya masih sederhana, ia berhasil membuat musuh-musuhnya mundur, memberi ruang bagi murid-murid sekte yang lebih lemah untuk bersembunyi. Namun, melihat Li Qing terdesak oleh Mo Tian, jantung Wei Chen berdegup kencang.
"Kakak Sulung!" teriak Wei Chen, tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah Li Qing, pedang kayunya terangkat. Dengan segenap tenaga, ia mengalirkan qi-nya, yang kini lebih kuat setelah menyentuh Relik Darah Abadi. "Aku tak akan membiarkanmu menyakiti Kakak!" serunya, lalu mengayunkan pedangnya, mengirimkan gelombang energi putih yang kecil tapi tajam ke arah Mo Tian.
Serangan itu mengenai lengan Mo Tian, membuatnya terhenti sejenak. Ia menoleh ke arah Wei Chen, matanya menyipit penuh minat. "Bocah… jadi kau mulai menunjukkan taringmu," gumamnya, suaranya penuh kebencian tapi juga kagum. "Hati murni yang membara… kau memang kunci untuk relik itu."
Li Qing memanfaatkan momen itu untuk melompat mundur, menarik Wei Chen ke belakangnya. "Chenchen, apa yang kau lakukan?! Aku bilang kau harus bersembunyi!" bentaknya, tapi matanya penuh kebanggaan melihat keberanian adiknya.
"Aku tak mau bersembunyi lagi, Kakak Sulung! Aku… aku ingin bertarung bersamamu!" jawab Wei Chen, suaranya penuh tekad meski tubuhnya gemetar. "Aku tak mau kalian terluka karena melindungiku!"
Di sekitar mereka, pertempuran masih berlangsung sengit. Zhao Yan, meski kakinya terluka, terus bertarung dengan tombak emasnya, melindungi Su Ling yang sedang meracik racun untuk melemahkan musuh. Feng Huo dan Xiao Mei bekerja sama, gelombang suara dari seruling Feng Huo digabungkan dengan angin puyuh penuh kelopak bunga tajam dari kipas Xiao Mei, menghabisi puluhan musuh sekaligus. Gu Tao, dengan tinjunya yang kuat, menghancurkan musuh dengan pukulan telak, sementara Liang Shu melepaskan petir dari gulungan mantranya, menciptakan chaos di barisan musuh.
Namun, jumlah musuh terlalu banyak, dan kekuatan Mo Tian serta dua tetuanya, Xue Long dan Fang Yi, membuat Tujuh Pedang Awan Suci mulai terdesak. Satu per satu, kakak-kakak Wei Chen terluka lebih parah—darah mengalir dari luka di bahu Feng Huo, Xiao Mei terjatuh setelah serangan cambuk Xue Long mengenai punggungnya, dan Gu Tao mengerang kesakitan setelah rantai berduri Fang Yi melilit lengannya.
Wei Chen menatap kakak-kakaknya dengan mata berkaca-kaca, rasa bersalah dan amarah membakar hatinya. "Ini semua… karena aku…" gumamnya, tangannya mencengkeram pedang kayu lebih erat. Tiba-tiba, ia merasakan hawa panas di dadanya, seolah ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam. Ia teringat Relik Darah Abadi yang disembunyikan di aula utama, dan bisikan yang ia dengar saat menyentuhnya: "Hanya yang berhati murni…"
Tanpa memberi tahu kakak-kakaknya, Wei Chen berlari menuju aula utama, melewati musuh-musuh yang mencoba menghentikannya. Dengan qi-nya yang kini lebih kuat, ia berhasil menghindari serangan dan tiba di depan meja batu tempat relik itu disimpan. Cahaya merah dari bola kristal itu menyala lebih terang, seolah merespons kehadiran Wei Chen.
Dengan tangan gemetar, Wei Chen menyentuh relik itu sekali lagi. Kali ini, cahaya merah membungkus tubuhnya, dan ia merasakan gelombang energi yang luar biasa mengalir ke dalam meridiannya. Matanya membelalak saat ia melihat visinya lagi—pria tua berjubah putih dan naga raksasa itu kembali muncul. "Kau… yang dipilih…" bisik suara pria tua itu. "Gunakan kekuatan ini… untuk melindungi… tapi waspadalah… jangan biarkan iblis batinmu menguasai…"
Wei Chen terbangun dari visinya, tubuhnya kini memancarkan aura putih yang bercampur dengan kilau merah samar. Ia merasa qi-nya melonjak ke tingkat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, dan pedang kayunya kini memancarkan cahaya yang lebih terang. Dengan tekad baru, ia berlari kembali ke lapangan pertempuran, aura barunya membuat musuh-musuh kecil Sekte Naga Darah mundur ketakutan.
"Mo Tian!" teriak Wei Chen, suaranya menggema di tengah pertempuran. Ia melompat ke depan, berdiri di samping Li Qing, pedang kayunya terayun dengan kecepatan yang mengejutkan. Gelombang energi putih bercampur merah melesat, menghantam Mo Tian dan membuatnya terpental beberapa langkah ke belakang.
Mo Tian menatap Wei Chen dengan mata membelalak, untuk pertama kalinya ada sedikit ketakutan di wajahnya. "Kau… kau sudah menyatu dengan relik itu?!" bentaknya, suaranya penuh amarah. "Tak apa… aku akan membunuhmu dan mengambil relik itu dari tubuhmu!"
Namun, sebelum Mo Tian bisa menyerang lagi, sebuah suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari arah lembah. Sebuah kelompok kultivator dengan jubah biru dan putih muncul, dipimpin oleh seorang wanita cantik dengan kipas salju di tangannya. Itu adalah Sekte Bunga Salju, yang akhirnya tiba untuk membantu setelah Master Yun Xiao meminta bantuan mereka.
"Puncak Awan Suci, kami datang untuk membantu!" seru wanita itu, lalu mengayunkan kipasnya, mengirimkan badai salju yang membekukan puluhan murid Sekte Naga Darah dalam sekejap.
Dengan bantuan Sekte Bunga Salju, Tujuh Pedang Awan Suci mendapatkan napas baru. Wei Chen, dengan kekuatan barunya, berdiri di samping kakak-kakaknya, siap menghadapi Mo Tian dan pasukannya. Pertempuran ini belum selesai, tapi untuk pertama kalinya, Wei Chen merasa bahwa ia bukan lagi beban—ia adalah bagian dari kekuatan sekte yang ia cintai.